Pada pekan ini, 25-27 Maret, berlangsung putaran diskusi keempat High Level Panel on Eminent Persons on
Post-2015 Development Agenda, di Nusa Dua, Bali.
Panel yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada
Mei 2012 ini dipimpin secara kolektif oleh Perdana Menteri Inggris David
Cameron, Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono.
Agenda utama panel adalah menyusun usulan agenda skenario
pembangunan pasca-Millennium Development Goals, terutama untuk isu
penanggulangan kemiskinan.
Agenda Pembangunan
Isu pembangunan pasca-2015 memang tidak hanya dirumuskan oleh
panel, tetapi masih ada skenario lain yang dirancang sebagai kelanjutan
dari Rio+20 Summit dengan memperdalam isu pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Agenda ini dimotori oleh negara-negara di kawasan Amerika Latin yang
mengedepankan isu pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan krisis
ekologi.
Berbeda dengan Millennium
Development Goal, sebuah skenario global penanggulangan kemiskinan
yang bersifat top down, proses
yang sedang dijalankan melalui High
Level Panel on Eminent Person on Post-2015 Development Agenda relatif inklusif dan partisipatif.
Dalam tiga putaran diskusi sebelumnya, keterlibatan pemangku
kepentingan (stakeholder) pembangunan, baik organisasi masyarakat madani
(civil society organizations/CSO)
maupun sektor swasta, menjadi prasyarat penting berlangsungnya putaran
diskusi. Selain itu, juga berlangsung konsultasi nasional, regional, dan
konsultasi tematik yang diorganisasikan oleh Co-chair dan UN Agency.
Semua proses ini menjadi bahan-bahan yang didiskusikan oleh panel.
Pada putaran diskusi di Nusa Dua, Bali, pekan ini, juga berlangsung
CSO’s Outreach for High Level Panel
on Eminent Person on Post-2015 Development Agenda pada 25 Maret 2013.
Forum diikuti 250 CSO dari 31 negara yang menyampaikan isu-isu krusial
pembangunan, yaitu ketimpangan, kelompok-kelompok marginal yang
terlupakan, serta mempertajam pandangan masyarakat sipil mengenai isu
utama yang akan dibahas panel pekan ini, yaitu Global Partnership.
Meski demikian, dari sisi substansi masih terlihat polarisasi
pandangan mengenai isu-isu prioritas yang hendak diperjuangkan sejumlah
pihak. Negara-negara miskin (terutama Afrika) masih mengedepankan isu
kemiskinan mendalam (extreme
poverty) dan menuntut tanggung jawab negara-negara maju untuk
mengalokasikan bantuan internasional.
Inilah lagu lama yang diputar kembali, dan dalam kenyataannya
tanggung jawab negara-negara maju, seperti yang ditargetkan dalam MDG8,
tak pernah tercapai. Komitmen mengalokasi 0,7 persen GNP gagal total,
seluruh negara anggota G-8 dan mayoritas DAC OECD (yang dianggap
presentasi negara-negara maju) tak ada yang memenuhi. Hanya negara-negara
Skandinavia yang mematuhi komitmen.
Isu Ketimpangan
Isu yang menguat agar dibahas di panel ini adalah isu ketimpangan (inequality) dan inklusi sosial.
Dalam konteks Indonesia, isu ini sangat relevan dikedepankan Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai agenda negara-negara berpendapatan
menengah.
Selama ini Pemerintah Indonesia selalu mengklaim kinerja
perekonomian Indonesia stabil dengan angka pertumbuhan ekonomi selalu 6
persen. Klaim ini juga dikuatkan dengan penilaian lembaga pemeringkat
ekonomi internasional yang selalu positif. Namun, dalam realitasnya,
pembangunan di Indonesia menghasilkan ketimpangan dan menghasilkan
kelompok-kelompok terpinggirkan. Indeks kesenjangan (indeks gini) makin
meningkat, ini memperlihatkan bahwa pembangunan punya potensi pemiskinan.
Gambaran kemajuan ekonomi Indonesia yang diperlihatkan melalui
angka pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas 6 persen juga layak
dipertanyakan jika melihat tingkat upah buruh yang masih sangat tidak
memadai.
Sepanjang tahun 2012 hingga sekarang, gejolak buruh menuntut upah
menjadi bukti bahwa angka pertumbuhan ekonomi tak punya arti signifikan.
Ironisnya, angka pertumbuhan ekonomi ini berbanding lurus dengan
perluasan laju deforestasi, eksploitasi sumber daya alam dan mineral yang
mengakibatkan konflik antara korporasi dan rakyat.
Dalam perspektif jender, kesenjangan juga masih terlihat dan makin
membuat perempuan terdiskriminasi. Di bidang pendidikan, walau laporan
MDGs Indonesia memperlihatkan keberhasilan akses pendidikan bagi
perempuan di tingkat dasar, akses perempuan pada pendidikan makin rendah
pada tingkat pendidikan menengah ke atas.
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan feminisasi buruh
migran yang tunaperlindungan adalah realitas yang tak masuk laporan MDGs.
Oleh karena itu, sangat penting bagi Presiden SBY, dengan posisi
strategis sebagai co-chair High
Level Panel on Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda,
benar-benar memperjuangkan kepentingan mayoritas warga dunia yang miskin
dan terpinggirkan. Negara berkembang tak boleh tunduk pada kepentingan
negara maju yang terbukti gagal memenuhi komitmen mendukung
penanggulangan kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar