Kemunculan
surat perintah penyidikan (sprindik) terkait status Ketua Umum DPP Partai
Demokrat Anas Urbaningrum mengundang banyak pertanyaan publik.
Apalagi
pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak langsung membantah dan
membenarkan isi sprindik itu. Sontak masyarakat bertanya-tanya: Apakah
sprindik itu memang benar milik KPK? Jika benar, lantas siapa yang
membocorkannya?
Itu
karena bocornya draf sprindik tersebut tak boleh dianggap sepele karena
menyangkut marwah sebuah lembaga yang selama ini sangat dipercaya
masyarakat. Apalagi, bocornya “dapur KPK” itu juga telah menyeret
nama Istana Kepresidenan. Istana—dalam hal ini Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY)—dituding memiliki kaitan dengan bocornya draf sprindik.
Hal
tersebut karena sebelumnya, SBY yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai
Demokrat saat jumpa pers di Cikeas pernah mengungkapkan agar Anas
Urbaningrum fokus terlebih dahulu terhadap masalah
hukum. Seolah-olah asumsi yang muncul, SBY sudah tahu status Anas.
Pada
titik inilah tudingan sekaligus suara miring ikhwal keterlibatan pendiri
partai segitiga biru itu bermunculan sehingga suasana menjadi kian keruh.
Mendengar kabar itu, SBY merasa tidak nyaman dan
memerintahkan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha untuk
mengklarifikasi tudingan tersebut.
Kejanggalan
Harus
diakui, bocornya spirindik yang menggegerkan jagat media hari-hari ini
mengundang sejumlah kejanggalan. Contoh kasat mata
ialah tentang ketidakkompakan pemimpin KPK. Pemimpin KPK Abraham
Samad, misalnya, pernah membenarkan sudah ada sprindik terkait status Anas
dan sudah ditandatangani dua pemimpin KPK.
Tapi
tak berselang lama, Abraham meralat ucapannya itu. Bahkan salah
satu pemimpin KPK, Adnan Pandu Praja, yang sebelumnya memparaf
draf tersebut selang sehari tiba-tiba mencabutnya dengan
alasan belum adagelar perkara.
Memang
harus diakui, dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi, KPK merupakan
lembaga yang menerapkan asas kepastian hukum. Itulah sebabnya KPK sangat
hati-hati ketika hendak memutus orang menjadi tersangka.
Artinya,
jika salah sedikit saja memutus status seseorang, kredibilitas KPK
taruhannya. Namun kehatian-hatian itu tentu saja harus disertai dengan
kecepatan dan kekompakan. Itu karena dalam kasus Anas Urbaningrum ini, KPK
terkesan lamban. Ketidakkompakan pun terlihat di sana sini.
Beberapa pemimpin KPK,
misalnya, ada yang bilang bahwa nilai mobil Toyota Harrier yang diterima
Anas dari kontraktor Hambalang kurang dari Rp 1 miliar. Ia berdalih KPK
hanya mengusut kasus-kasus besar di atas Rp 1 miliar sesuai dengan amanat
dan cita-cita dibentuknya lembaga KPK.
Sementara pemimpin lain
berdalih bahwa lambatnya penanganan kasus Anas ini karena penyidik KPK
masih mengejar bukti keterlibatan Anas dalam kasus yang lebih besar.
Kesimpangsiuran penanganan kasus Anas ini menandakan bahwa soliditas
para pemimpin KPK masih dipertanyakan.
Padahal,
sebagai lembaga yang menganut sistem kolektif-kolegial, KPK seharusnya
kompak. Terjadinya tarik-menarik di
antara pemimpin KPK—apalagi disertai bocornya sprindik itu—bisa
memunculkan anggapan bahwa lembaga antirasuah tersebut masih tersadera
kepentingan politik.
Jangan Tersandera
Karena
itu, sebelum terlambat KPK harus bergerak cepat dalam melakukan
investigasi internal atas bocornya sprindik yang menggegerkan itu.
Jika diperlukan, KPK mengundang orang-orang eksternal untuk ikut mengusut
dalang pembocoran sprindik.
Yang
mengkhawatirkan jika memang sprindik tersebut asli dan dibocorkan oleh
oknum KPK, ini bisa menjadi preseden buruk
ikhwal kredibilitas lembaga yang selama ini amat dikagumi
masyarakat karena mampu membui para koruptor kelas kakap tanpa pandang bulu
itu. Lebih menyedihkan lagi, tudingan bahwa KPK bisa dimainkan oleh
kepentingan politik tertentu, bisa jadi, dibenarkan masyarakat. Ini
jelas sangat berbahaya!
Itu
karena sebagai lembaga luar biasa (superbody) yang diberi mandat penting di negeri
ini, KPK tak boleh tersandera oleh kepentingan apa pun. KPK merupakan
lembaga yang berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti
kepolisian dan kejaksaan yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah. KPK
adalah lembaga yang independen sekaligus bebas dari pengaruh mana pun.
Saking
istimewanya, dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi, KPK memiliki
cara-cara yang istimewa pula seperti melakukan koordinasi, supervisi,
monitoring, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan. Bahkan dalam diri KPK melekat kewenangan penyadapan, penahanan,
dan tidak boleh menghentikan kasus seperti mengeluarkan surat penghentian
perkara (SP3).
Selain
itu, KPK juga lembaga yang menganut asas keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas. Dalam menjalankan tugasnya, KPK
dituntut teliti dan nihil dari penafsiran beragam, mampu beroperasi secara
transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.
KPK
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
tindak pidana korupsi. Artinya, KPK dibentuk bukan untuk gagal, apalagi
menjadi lembaga yang melempem karena bisa disetir orang-orang tertentu.
Tindakan
KPK harus jelas dan benderang, bukan dalam ranah abu-abu. Dengan kata lain,
KPK mesti berjalan di atas kaki keadilan. Ini penting karena
keadilan—seperti diungkapkan filsuf Yunani Socrates (470-399 SM)—merupakan
nilai tertinggi dalam masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar