Gonjang-ganjing
di tubuh Partai Demokrat (PD) berada di titik didih. Sejak adanya rumor
pembelahan faksi pasca kongres II, partai ini terus bergolak. Gaduh pun
semakin menjadi kala Saiful Mujani
Research & Consultant (SMRC) mengeluarkan hasil sigi yang memprediksi
tingkat elektabilitas PD menukik tajam, yakni dari 20,8 persen hasil Pemilu
2009 menjadi hanya tinggal 8 persen pada survei SMRC pada Desember 2012.
Melihat kondisi ini, Ketua Dewan Pembina yang sekaligus juga Ketua Majelis
Tinggi PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gerah. Ia memandang, partai yang
ia besut satu dasa warsa silam ini perlu diselamatkan. Itu sebabnya, pada 8
Februari 2013 lalu, menantu Sarwo Edhie Wibowo ini mengeluarkan “delapan
jurus ampuh” sebagai usaha untuk mengeluarkan PD dari kemelut
berkepanjangan.
Secara garis besar, delapan jurus ini bisa dirangkum dalam tiga hal.
Pertama, upaya penyelamatan PD langsung akan dipimpin oleh Ketua Majelis
Tinggi PD, yakni SBY. Itu sebabnya, semua hirarki yang ada di tubuh partai
berlambang Mercy ini wajib bertanggung jawab langsung kepada Majelis
Tinggi.
Kedua, Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum, diminta untuk concern menghadapi
dugaan kasus korupsi yang sedang membelit dirinya. Ketiga, adanya kewajiban
bagi seluruh elemen PD untuk menandatangani pakta integritas. Jika menolak,
SBY mempersilakan yang bersangkutan untuk angkat kaki dari partai
berlambang bintang bersudut tiga ini. Pertanyaannya, ampuhkah jurus ini
untuk mengembalikan posisi Demokrat seperti saat pemilu 2009 yang memiliki
citra cukup baik di mata pemilih?
Bulan-bulanan Media
Sejatinya, prahara yang menimpa PD memang tak bisa dilepaskan dari posisi
Anas Urbaningrum yang sudah kadung “divonis media” tersangkut masalah
hukum. Sejak M Nazaruddin tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
pada April 2011 silam, Anas terus saja dikait-kaitkan dengan kasus korupsi
yang merundung mantan Bendahara Umum PD ini. Dalam berbagai kesempatan,
Nazaruddin selalu menuduh bahwa Anaslah yang menjadi dalang dari beberapa
kasus korupsi yang tengah menjerat dirinya.
Namun di sisi yang lain, KPK ternyata tak kunjung bisa membuktikan tuduhan
Nazaruddin. Hingga dua tahun dugaan kasus korupsi ini berjalan, lembaga
antirasuah tetap saja memposisikan Anas hanya sebatas saksi. Tak pelak,
selama kurun waktu itu pula, Anas selalu menjadi “bulan-bulanan” media
massa.
Pada saat yang bersamaan, rumor bahwa Anas Urbaningrum “bersitegang” dengan
SBY juga terus menyeruak ke hadapan publik. Dugaan perseteruan dua petinggi
PD ini kerap menjadi bahan menarik yang terus diulas tanpa henti, baik oleh
media massa maupun media jejaring sosial. Isu-isu panas ini masih ditambah
lagi dengan gunjingan surat kabar bahwa proses konsolidasi internal
Demokrat pasca kongres 2010 silam berlum juga tertata baik. Adanya kabar
“pembagian kubu” peninggalan kelompok-kelompok kongres, menyebabkan DPP PD
kerap bergemuruh.
Naasnya, dalam menghadapi berbagai “vonis media” ini, Anas Urbaningrum
justru terkesan membiarkan. Hanya sesekali saja ia muncul ke publik untuk
memberikan klarifikasi. Namun apa mau dikata, di tengah jarangnya Anas
memberikan klarifikasi, ketika ia muncul, pernyataan yang dikeluarkan malah
membuat media semakin bersemangat untuk menurunkan analisis tentang dirinya
dan Demokrat. Seperti kala Anas mengklarifikasi bahwa dirinya tak
tersangkut kasus Hambalang, ia mengeluarkan statement provokatif “satu rupiah pun Anas korupsi Hambalang,
gantung Anas di Monas”.
Tentu pernyataan seperti ini tak akan meredakan situasi. Sebaliknya,
pernyataan ini akan menimbulkan polemik lebih panjang di media massa karena
sangat bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Nazaruddin.
Sebagaimana diketahui, Nazaruddin kerap bisa merinci detail keterlibatan
Anas dalam kasus-kasus yang dituduhkannya, meski kebenarannya masih perlu
dipertanyakan dan dibuktikan.
Menguji Tuah SBY
Jika selama ini SBY juga lebih banyak diam terkait prahara yang menimpa
partainya, tak demikian halnya dengan beberapa waktu lalu. Kondisi yang ia
pandang sudah sangat mengkhawatirkan, memaksanya terjun langsung untuk melakukan
langkah penyelamatan. Tak tanggung-tanggung, SBY menggunakan power-nya di Partai Demokrat dengan
cara mengambil alih semua kewenangan melalui delapan jurus penyelamatan
seperti sudah disinggung di atas. Pertanyaannya, bisakah delapan jurus
tersebut menjadi pijakan rebound
PD untuk memperbaiki citranya kembali?
Hemat saya, langkah SBY dengan mengeluarkan delapan jurus ini bak pedang
bermata ganda. Di satu sisi, secara internal, saya yakin delapan jurus ini
bakal mampu “memaksa” penyatuan kembali faksi-faksi di tubuh Partai
Demokrat yang sempat berserakan. Karena “ancaman” SBY sangat jelas, bagi
mereka yang tak suka dan tak mau mengikuti langkah-langkah penyematan,
dipersilakan untuk hengkang dari partai ini.
Namun di sisi yang lain, delapan jurus ini juga seperti memperlihatkan
sosok SBY dalam versi yang lain. Dengan menggunakan pendekatan power dalam mengambil keputusan, SBY
terkesan sebagai pemimpin yang otoriter. Padahal selama ini, kebiasaan
suami Kristiani Herawati dalam mengambil kebijakan cenderung akomodatif
terhadap berbagai kepentingan.
Meski demikian, mungkin saja SBY sudah memiliki kalkulasi lain sehingga ia
harus menggunakan pendekatan power dalam menyelesaiakan silang-sengkarut
yang terjadi di Partai Demokrat. Merujuk pengalaman, SBY merupakan “the special one” yang selalu bisa
mengangkat Demokrat dari keterpurukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada
tahun 2003 dan 2008 silam.
Pada tahun 2003, upaya SBY mencalonkan diri sebagai presiden kala itu masih
dipandang sebelah mata oleh semua kalangan. Ia masih kalah moncer
dibandingkan Megawati Soekarnoputri. Namun pada awal 2004, SBY sudah bisa
menempatkan dirinya di atas Megawati yang kemudian mengantarkannya
memenangi pilpres, meski harus melalui dua putaran.
Pada 2008, SBY dan Demokrat juga pernah mengalami tingkat elektabilitas di
titik nadir sebagai dampak menaikkan harga BBM. Namun dalam tempo waktu
tiga bulan, SBY sudah berhasil melakukan recovery dengan tingkat elektabilits di
atas 70 persen berdasarkan hasil survei Indo Barometer ketika itu. Bahkan
menjelang Pemilu 2009, tingkat elektabilitas SBY bisa menembus angka 80
persen sehingga berhasil mengantarkan dirinya dan Partai Demokrat memenangi
Pileg dan Pilpres tahun itu.
Saat ini, kondisi serupa juga terjadi lagi. Posisi Demokrat berada di ujung
tanduk. SBY juga sudah mengambil langkah penyelamatan berupa delapan jurus
di atas. Yang menarik kita tunggu adalah apakah jurus ini betul-betul bisa
membawa Partai Demokrat kembali pada posisi semula? Masihkah tangan SBY
bertuah untuk Demokrat yang selalu berhasil ia selamatkan. Jawabannya tentu
kita harus menunggu hasil Pileg 2014 nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar