Prahara
tidak berkesudahan di tubuh Partai Demokrat akhirnya mendorong Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua majelis tinggi untuk mengambil alih
sementara kepemimpinan partai.
Keputusan
pengambialihan itu tertuang dalam delapan solusi langkah penyelamatan
partai. Delapan solusi langkah penyelamatan partai itu dihasilkan melalui
rapat majelis tinggi di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat
(8/2) lalu.
Delapan
solusi langkah penyelamatan partai itu adalah: (1) Ketua Majelis Tinggi
partai bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab untuk memimpin
penyelamatan dan konsolidasi partai; (2) Segala keputusan, kebijakan, dan
tindakan partai ditentukan dan dijalankan Majelis Tinggi partai.
Ketua
Majelis Tinggi partai mengambil keputusan dan arahan yang penting dan
strategis; (3) Elemen utama partai, terutama Fraksi Partai Demokrat di DPR
beserta DPD dan DPC Partai Demokrat, berada dalam kendali dan bertanggung
jawab langsung pada Majelis Partai, sesuai hierarki dan konstitusi partai;
(4) Majelis Tinggi melakukan penataan dan penertiban partai untuk
meningkatkan kredibilitas dan integritas partai; (5) Putusan Majelis Tinggi
mutlak dijalankan; (6) Penataan dan konsolidasi partai yang dipimpin
Majelis Tinggi berakhir setelah nama baik partai pulih dan normal; (7)
Sementara langkah penyelamatan diambil Ketua Majelis Tinggi, Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum diberikan kesempatan untuk memfokuskan
diri menghadapi masalah dugaan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Partai
Demokrat siap memberikan bantuan hukum, dan (8) Partai Demokrat untuk saat
ini melupakan dulu agenda Pemilu 2014 dan mengutamakan penataan,
penertiban, dan pembersihan partai dari unsur negatif.
Sejak
beberapa pekan belakangan memang kian kencang terdengar suara-suara
sejumlah elite Partai Demokrat yang meminta SBY untuk turun tangan
memulihkan elektabilitas dan citra partai. Selama ini figur SBY dan Partai
Demokrat ibarat dua sisi koin mata uang yang tidak terpisahkan. Popularitas
dan ketokohan SBY menjadi semacam mesin pendulang suara menjanjikan bagi
Partai Demokrat. Kolaborasi ini telah menempatkan SBY sebagai ikon bagi
Partai Demokrat.
Karena
itu, kini di saat tingkat elektabilitas Partai Demokrat anjlok SBY pun
diminta turun tangan. Sebagaimana diketahui bersama beberapa waktu lalu
Saiful Mujani Research and Consulting merilis hasil survei terbaru mengenai
tingkat elektabilitas terkini partai-partai peserta pemilu tahun 2014.
Dalam hasil survei itu terungkap tingkat elektabilitas Partai Demokrat
terus merosot hingga mencapai angka 8,3 persen.
Anas
pun kemudian dituding sebagai sebab utama dari penurunan elektabilitas
partai tersebut mengingat nama mantan ketua umum PB HMI ini sering kali
dikaitkan dengan kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang dan
pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.
Keputusan
Presiden SBY untuk melakukan pengambilalihan sementara kepemimpinan partai
segera menuai polemik di muka publik. Bahkan, sejumlah pihak menuding
keputusan SBY untuk mengambil alih kepemimpinan Anas Urbaningrum merupakan
cerminan sikap otoriter sekaligus inkonstitusional karena menyalahi
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai serta tidak menghormati
mekanisme prosedural.
Selain
itu, SBY dituding lebih sibuk mengurusi partai ketimbang menjalankan fungsi
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Apalagi dalam sejumlah
kesempatan SBY mengingatkan para menteri anggota kabinet
berlatar belakang partai dan kepala-kepala daerah untuk mengutamakan
tugas-tugas pemerintahan daripada kegiatan-kegiatan politik di partai.
Pedang Bermata Dua
Dengan
berpijak pada realitas historis peran SBY sebagai penggagas dan pendiri
Partai Demokrat, maka tindakan untuk melakukan pengambilalihan kepemimpinan
partai di masa krisis seperti saat ini sesungguhnya merupakan hal wajar dan
dapat dimaklumi.
Secara
proporsional tindakan itu dapat dimaknai sebagai bentuk kepedulian seorang
SBY terhadap masa depan partai yang telah ia dirikan dan mengantarkannya ke
kursi kepresidenan selama dua periode berturut-turut.
Lebih
dari itu berlarut-larutnya konflik internal Partai Demokrat bukan tidak
mungkin akan membawa dampak buruk bagi keberlangsungan pemerintahan
SBY-Boediono. Hal itu lantaran Partai Demokrat merupakan basis politik
utama penopang pemerintahan SBY-Boediono.
Di
samping itu, konflik internal berkepanjangan di tubuh Partai Demokrat juga
tidak produktif bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Tidak
jarang konflik internal berkepanjangan di sebuah partai berujung pada
perpecahan dan fragmentasi politik yang ditandai dengan pemisahan diri
sekelompok elite dari partai terdahulu untuk kemudian mendirikan partai
baru. Fragmentasi politik merupakan “musuh besar” konsolidasi demokrasi
karena ia memiliki kontribusi cukup besar dalam melambatkan proses
tersebut.
Meskipun
demikian, langkah SBY untuk mengambil alih sementara kepemimpinan Partai
Demokrat dari genggaman Anas Urbaningrum bukan berarti tanpa risiko politik
sama sekali. Langkah berani itu ibarat pedang bermata dua dapat
menguntungkan sekaligus merugikan.
Kondisi
elektabilitas Partai Demokrat di akhir 2013 nanti akan menjadi acuan bagi
hal tersebut. Sebagaimana diketahui bersama Partai Demokrat menargetkan
pada akhir 2013 atau empat bulan menjelang pelaksanaan pemilu legislatif
2014 tingkat elektabilitas partai telah pulih dan beranjak naik dari angka
8,3 persen.
Jika
kelak tingkat elektabilitas Partai Demokrat beranjak naik dari angka 8,3
persen, publik akan melihat langkah SBY untuk mengambil alih sementara
kepemimpinan partai sebagai langkah politik cerdas dan penuh perhitungan
matang. Lebih dari itu SBY pun akan menuai pujian dan dukungan luas
kader-kader akar rumput partai karena dinilai mampu menjadi jangkar
penyelamat partai dari kehancuran.
Di
saat bersamaan nama Anas Urbaningrum akan tenggelam dan dikenang sebagai
tokoh muda tercepat yang “gugur” di pentas politik Indonesia. Apalagi jika
kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menetapkan mantan
anggota Komisi Pemilihan Umum ini sebagai tersangka kasus korupsi
pembangunan pusat olahraga Hambalang.
Akan
tetapi, jika kelak di akhir 2013 tingkat elektabilitas Partai Demokrat
tidak kunjung beranjak naik dari angka 8,3 persen atau justru semakin
merosot tajam, tudingan sejumlah pihak bahwa SBY bersikap otoriter dan dan
inkonstitusional saat memutuskan mengambil alih sementara kepemimpinan
partai mendapatkan justifikasi.
Alih-alih
dikenang sebagai penyelamat partai dari kehancuran, publik dan kader-kader
akar rumput akan melihat SBY sebagai sosok diktator baru di tengah
gelombang besar demokrasi Indonesia. Citra SBY selama ini sebagai “sang
demokrat” dan penggagas reformasi Tentara Nasional Indonesia akan hilang
seketika.
Inilah
pertaruhan politik terbesar SBY di penghujung karier politik. Bukan hal
mudah bagi SBY untuk memulihkan kembali citra dan elektabilitas Partai
Demokrat sebagaimana pada pemilu legislatif tahun 2009. Apalagi kini SBY
sudah tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan
presiden tahun 2014 sehingga ekspektasi publik pun diperkirakan tidak akan
sebesar dulu lagi.
Akhirnya,
waktu akan membuktikan apakah pilihan untuk menjadikan (kembali) figur SBY
sebagai barang jualan menjelang pemilu legislatif 2014 merupakan pilihan
bijak, cerdas, dan strategis bagi penyelamatan partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar