Peta Garam
Nasional
Eriawan Rismana ; Peneliti Madya di PTFM-BPPT Jakarta
|
REPUBLIKA,
17 Januari 2013
Mungkinkah Indonesia
berswasembada dan surplus garam? Pertanyaan yang sangat wajar--karena kita
sebagai negara ma ritim dengan luas panjang pesisir pantai terpanjang di
dunia, tetapi masih selalu impor garam setiap tahunnya. Tak tanggung-tanggung
nilai impor garam kita (khususnya didominasi oleh garam industri) pada 2011
telah mencapai nilai 100 juta dolar AS (sekitar Rp 900 miliar).
Pada 2012, data BPS menunjukkan
selama periode Januari,--Oktober, kita masih mengimpor garam sebanyak 1,97
juta ton dengan menghabiskan devisa negara senilai 96 juta dolar AS (sekitar
Rp 870 miliar). Insya Allah pertanyaan tersebut sudah terjawab, setidaknya
untuk garam konsumsi, yaitu dengan pernyataan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan, bahwa produksi garam konsumsi nasional 2012 mencapai 2,8 ton atau
surplus sekitar 1,4 juta ton.
Berdasarkan jenisnya, garam
dibagi dalam dua kelompok besar, yakni garam konsumsi dan garam industri.
Sedangkan bila didasarkan pada kandungan NaCl, garam dibagi dalam empat
kelompok, yakni menjadi garam pengawetan ikan, garam konsumsi, garam
industri, serta garam farmasi (untuk keperluan infus, shampo, dan cairan
dialisat).
Saat ini berdasarkan perhitungan
suplai-kebutuhan total kebutuhan garam Indonesia adalah 3-3,2 juta, yakni
dengan perincian untuk garam konsumsi, pengawetan ikan, dan sebagainya
sekitar 1,2-1,4 juta ton dan garam industri 1,8 juta ton. Pada 2004-2012,
volume impor garam setiap tahunnya meningkat.
Suplai garam konsumsi dalam negeri--dalam kondisi cuaca normal, kemarau
sekitar 4,5-5 bulan/tahun--sebenarnya sudah bisa terpenuhi oleh produksi
dalam negeri, dari pe tani garam dan PT Garam, yakni 1,2 juta ton. Bahkan,
menurut data KKP, dengan adanya program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
(Pugar) pada 2011 dan 2012 dengan dukungan dana per tahun sekitar Rp 100
miliar, pada 2012 produksi garam konsumsi nasional sudah mencapai sekitar 2,8
juta ton.
Bila melihat kebutuhan garam
konsumsi, pada 2011 sebesar 1,4 juta ton, minimal hingga akhir 2012 kita
sudah surplus 1,4 juta ton garam konsumsi.
Lalu, apakah dengan sisa 1,4 Juta ton kita sudah dianggap berswasembada garam
konsumsi dan tidak perlu impor garam tersebut pada 2013?
Asumsi kita sudah berswasembada
dan surplus garam konsumsi pada 2012, dapat dibenarkan bila data yang
disampaikan KKP sudah divalidasi dan diterima semua pihak berkompeten. Sedangkan
tidak perlunya impor garam konsumsi pada 2013, mungkin bisa diterima bila asumsi
bahwa kebutuhan Semester II 2012 dan Semester I 2013 hanya memerlukan 1,4
juta ton. Sehingga kita akan mempunyai stok garam pada 2013 sebanyak
1,5,--1,6 juta ton.
Artinya, sebenarnya untuk garam
komsumsi tanpa program Pugar sudah dapat berswasembada. Sebenarnya, swa-sembada
garam konsumsi dalam kondisi cuaca normal sudah kita capai dari beberapa
tahun yang lalu. Sedangkan kebutuhan garam industri hampir keseluruhannya
harus diimpor, terutama dari Cina, Jerman, dan Australia mengingat belum ada produsen
di dalam negeri. Artinya, untuk swasembada garam industri diperlukan usaha
yang keras dari semua pihak.
Permasalahannya adalah pertama,
bagaimana kita akan mempertahankan swasembada dan surplus garam konsumsi
tersebut pada tahun-tahun mendatang, terutama bila cuaca tidak mendukung? Dan
kedua, bagaimana kita dapat berswasembada garam industri yang dicanangkan
dapat dicapai mulai 2014? Apa yang harus dilakukan?
Beberapa langkah yang harus
atau dapat dilakukan pemerintah dan pihak terkait untuk menjawab dua pertanyaan
besar di atas serta menuju swasembada garam (konsumsi dan industri) adalah
pertama dalam kondisi cuaca mendukung, swasembada garam konsumsi berpeluang
dipertahankan dengan meningkatkan produktivitas lahan, serta kualitas garam
dari lahan yang tersedia. Untuk peningkatan kapasitas produksi dan
kualitas garam nasional, Indonesia mempunyai potensi lahan yang bisa
dikembangkan untuk perluasan ladang pegaraman, di sentra pegaraman nasional.
Kedua, swasembada garam
industri harus dilakukan dengan memperluas la han penggaraman dan peningkatan
kualitas garam yang disertai dengan pengembangan dan penguasaan teknologi
produksi garam industri secara on farm
yang baik. Swasembada garam industri juga dapat dilakukan dengan cara produksi
garam industri secara off farm. Produksi
garam industri secara off farm
dapat dilakukan melalui pengembangan atau alih teknologi produksi garam
industri disertai penyediaan bahan baku garam yang murah dan kontinu.
Yang terakhir, kebijakan dan penguasaan
iptek untuk produksi garam nasional hendaknya disertai dengan kebijakan tata
niaga garam serta pengawasannya. Selain itu, diperlukan peninjauan kembali kebijakan
pemberlakuan pajak impor untuk menekan laju impor garam industri yang lebih
murah harganya.
Produksi garam di Indonesia
sangat bergantung pada cuaca. Oleh karena itu, swasembada dan surplus garam
harus dilakukan utamanya dengan menggenjot luas lahan serta teknologi.
Sehingga kelebihan produksi garam itulah yang dapat dijadikan stok garam nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar