Seriuskah
Melawan Korupsi?
Moh Rozaq Asyhari ; Wasekjen Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia
|
REPUBLIKA,
17 Januari 2013
Pemberantasan tindak
pidana korupsi seharusnya dapat memberikan efek jera. Bila vonis pengadilan
tipikor disambut dengan senyum dan sujud syukur oleh terpidana, seperti
beberapa waktu yang lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem
pembarantasan korupsi di negeri ini?
Korupsi telah
menghancurkan sendi-sendi perekonomian dan demokrasi bangsa. Pengadilan
tindak pidana korupsi (tipikor) dibentuk sebagai upaya meng awal
pemberantasan korupsi pada tahap peradilan. Sedangkan, pada hukum materiil,
diundangkan UU No 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Era Reformasi yang
memberikan dukungan sangat kuat secara sosiologis dan politis terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi. Besarnya dukungan publik ini terlihat
saat terjadi kasus cicak-buaya, koin untuk gedung KPK, ataupun ketika salah
satu penyidik KPK hendak ditangkap polisi, secara spontan publik melakukan
pembelaan.
Besarnya investasi
publik untuk meng advokasi dan menyelamatkan KPK sepertinya belum sebanding
lurus dengan kinerja yang diharapkan. Sebagai lembaga yang menjadi trigger
mechanism dalam pemberantasan korupsi, KPK sepertinya belum bisa memuaskan
espektasi masyarakat yang berniat membuat jera dan memiskinkan para koruptor.
Pada kasus Wa Ode
Nurhayati, KPK sepertinya tidak main-main. Beberapa pasal berat didakwakan
kepadanya. Selain itu, Wa Ode juga dijerat dengan pasal tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Namun, berbeda dengan Naza- ruddin. Meskipun sempat
menjadi buron dan membeli saham Garuda, Nazar tidak dikenakan UU TPPU.
Pada
kasus Angelina Sondakh, KPK terlihat ragu, sehingga tidak berani mengenakan
pasal berlapis. Penyidik menyuguhkan dakwaan alternatif, yang berarti
menyerahkan kepada hakim pasal manakah yang dirasa sesuai.
Yang juga menjadi
pertanyaan, mengapa penyidik mengenakan pasal- pasal pencucian uang hanya
kepada Wa Ode Nurhayati? Pada setiap kasus korupsi JPU seharusnya bisa
memanfaatkan jerat pasal pencucian uang untuk mengembalikan kerugian negara.
Sebab dalam praktik, uang hasil korupsi sering dilarikan dengan modus
pencucian uang.
Pada tahap penuntutan,
sepertinya Wa Ode adalah terdakwa yang dituntut paling tinggi dibandingkan
dengan yang lain, yaitu 14 tahun penjara dengan denda satu milyar. Sedangkan,
Angie-sapaan Angelina Sondakh-ini dituntut hukuman 12 tahun penjara ditambah
denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti sesuai dengan yang diterima
dari Permai Group, yaitu Rp 32 miliar.
Adapun Nazaruddin dituntut dengan pidana selama tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Bila dikatakan oleh
juru bicara (jubir) KPK bahwa Angie dituntut tinggi lantaran berbelit dan
tidak kooperatif, lantas bagaimana dengan Nazaruddin dan Wa Ode. Apakah Wa
Ode lebih tidak kooperatif dibandingkan dengan Angie sehingga dituntut lebih
tinggi, yaitu 14 tahun? Lantas, apakah dapat dikatakan pula bahwa Nazar lebih
kooperatif sehingga hanya dituntut tujuh tahun penjara? Padahal, ia sempat
melarikan diri ke Singapura dan menjadi buron hingga ke Kolumbia.
Penyidik juga hanya
menuntut berdasarkan pasal pencucian uang kepada terdakwa Wa Ode, sedangkan
pada terdakwa yang lain tidak. Padahal, jaksa meyakini bahwa untuk pengurusan
Wisma Atlet, Nazaruddin dikatakan telah mengeluarkan uang sebesar Rp 16,770
miliar untuk kepentingan Banggar DPR RI. Demikian pula pada kasus lain, Jaksa
meyakini bahwa Angie menerima suap sebesar Rp 12,580 miliar dan 2,350 juta dolar
AS terkait proses penganggaran di Kemendiknas dan Kemenpora.
Tentunya, hal ini akan
membuat publik bertanya, berdasarkan parameter apa tuntutan itu dibuat.
Apakah didasarkan pada sikap terdakwa yang kooperatif dan tidak atau
didasarkan pada jumlah nilai kerugian negara yang ditimbulkan? Selain itu, apa pula yang menjadi parameter dari jaksa penuntut umum (JPU)?
Pada perkara Wa Ode,
Nazaruddin, maupun Angie, hakim memberikan pertimbangan memberatkan yang
serupa. Pada umumnya, majelis menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah
merusak sistem perencanaan anggaran yang membuat korupsi terjadi secara
simultan, merusak citra DPR RI, berbelit-belit, dan tidak menunjukkan sikap
bersalah.
Yang kemudian
mengundang tanya adalah pertimbangan meringankan terhadap Angie. Menurut
majelis, perannya sebagai pembicara dalam sidang umum PBB, pembicara di
Harvard University, duta batik Indonesia, duta gemar membaca, duta untuk
kelestarian hewan langka, duta orang utan, dan duta pelestarian Keraton Surakarta
merupakan faktor meringankan.
Apakah bukan
sebaliknya, sebagai tokoh publik seharusnya terdakwa memberikan contoh yang
baik dalam upaya pemberantasan korupsi. Terdapat pula aspek lain yang
dilupakan oleh majelis, yaitu terdakwa adalah salah satu bintang iklan
antikorupsi. Bukankah hal ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan yang
memberatkan?
Hal lain yang
membingungkan adalah Angie dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp
12,580 miliar dan 2,350 juta dolar AS, namun majelis tidak memutuskan untuk
mengembalikan atau melakukan penyitaan. Menurut majelis, uang tersebut tidak
perlu dikembalikan kepada negara karena uang yang diterima terdakwa berasal
dari Permai Grup, bukan uang negara.
Majelis sepertinya
mengesampingkan fakta bahwa korporasi kerapkali membuat sistem ijon, yakni
mereka mengeluarkan anggaran terlebih dahulu untuk mendapatkan proyek. Dalam
istilah pembukuan Permai Group, hal ini biasanya disebut dengan biaya proyek.
Logikanya, sebenarnya uang suap juga uang negara. Majelis juga
mementahkan pasal 12 yang dituntut oleh JPU berkaitan dengan jabatan Angie
sebagai anggota Banggar. Menurut hakim, pasal tersebut tidak tepat
dikenakan kepada Angie karena terdakwa tidak mengambil keputusan sendiri.
Bila logika hukum ini yang dipergunakan, seharusnya tidak ada satu anggota
DPR pun yang bisa dikenai pasal itu.
Memberantas korupsi tak
sekadar kampanye dengan membentangkan spanduk besar, memberikan seragam
tahanan khusus, atau menahan tersangka di Rutan Guntur. Ini merupakan sebuah
upaya untuk mencegah agar orang takut untuk melakukannya, memberikan efek
jera, memiskinkan koruptor, dan yang terpenting lagi adalah mengembalikan
keuangan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar