Destabilisasi
Demokrasi
Max Regus ; Peneliti doktoral The International Institute of
Social Studies
Universitas Erasmus Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Januari 2013
SATU contoh kasus korupsi paling menyita perhatian publik
Indonesia--berhubungan dengan keterlibatan banyak kader partai politik
(parpol) berkuasa di Indonesia--diulas dengan judul Vonis Angie dalam Editorial Media Indonesia (11/1). Memang sangat
pendek! Namun, menyimpan banyak makna. Putusan hakim telah begitu rupa
`memperpendek' tuntutan jaksa terhadap Angie. Hakim hanya mengiakan 30% waktu hukuman yang diminta jaksa. Tidak termasuk
besaran uang yang harus dikembalikan Angie.
Siapa yang mesti dipersalahkan dalam soal ini? Banyak
jawaban yang bertebaran di ruang tutur masyarakat. Hingga saat ini, yang
paling menonjol ialah rasa gembira seorang Angie, menerima hukuman itu. Entahkah
preposisi itu akan jadi kebenaran--semakin besar korupsi semakin ringan
hukuman?
Sebagai warga negara, Angie dan banyak pejabat publik yang
sedang melewati jalan yang sama tentu punya hak menerima putusan keadilan
itu. Yang jadi soal, sejauh mana putusan itu menjawab dua kebutuhan ini.
Pertama, rasa keadilan publik. Kedua, pelajaran untuk masa depan Indonesia
yang melahirkan rasa jera untuk melakukannya. Yang terlihat jelas cuma
kesenjangan yang makin lebar antara harapan publik pada politik dan kenyataan
yang mengurung arena kekuasaan.
Deorganisasi
Indonesia pasca-1998 menjadi salah satu tema kajian
penting dalam ranah ilmu sosial di kawasan Asia/Asia Tenggara. Dalam analisis
mereka, banyak peneliti sosial membandingkan pergeseran perubahan sosial politik
Indonesia dengan dua saudaranya di Asia Tenggara; Thailand dan Filipina.
Filipina 1986 persis sama dengan Indonesia 1998. Sama-sama melakukan
perlawanan masif terhadap rezim totaliter. Thailand mengalami krisis ekonomi
seperti Indonesia.
Dua sesi penting dijadikan pijakan analisis. Sesi
transisional dan sesi konsolidasi. Keduanya dihubungkan dengan n
demokratisasi pascakris politik dan ekonomi. Dua sis saudara kita, untuk dua
sesi itu, dianggap lebih berhasil mengorganisasikan banyak aspek mendasar menuju
demokrasi. Mampu menjembatani masa transisional dan iktikad konsolidasi
demokrasi dengan baik. Di situ, kiprah elemen-elemen civil society, yang terlibat aktif dalam penumbangan rezim
totaliter, tetap menjaga momentum demokrasi. Mereka tidak mudah meninggalkan
koridor perjuangan untuk selekas mungkin menempuh jalan politik dan
kekuasaan.
Untuk Indonesia, cerita macam itu agak berbeda. Di sini,
rentang masa transisional dan konsolidasi demokrasi telah menjadi sumber
rezeki ekonomi politik untuk para penguasa. Rezim demokrasi transisional
datang dari banyak sumber. Bisa dirujuk pada kelompok penguasa Orde Baru. Kekuatan
ekonomi yang luput dari hantaman krisis ekonomi dua dekade lalu. Kelompok itu
kelihatannya mampu membaca dan menangkap angin perubahan politik dengan
membeli sebagian besar kursi politik dalam gerbong kereta reformasi. Banyak
tokoh gerakan sosial, akademisi, dan aktivis demokrasi juga terjaring ke
dalam kekuatan politik wajah baru, mungkin dengan niat yang usang!
Dengan sketsa politik kekuasaan semacam itu, sulit untuk
menemukan kemauan dan kemampuan mengatur jalan demokrasi dengan benar. Malahan,
organisasi demokratisasi yang lahir dari intuisi kemartiran para mahasiswa
pejuang belasan tahun lalu dihancurkan kembali oleh banyak tangan politik
yang sedang terjerembap ke dalam gula madu kekuasaan. Itulah yang menyebabkan
demokrasi terjerembap pada konsolidasi prosedural semata. Mereka
memorak-porandakan isu-isu kunci demokrasi. Sebaliknya, isu utama yang muncul
hanya kompetisi politik. Perebutan kekuasaan. Dinamika demokrasi--dalam analisis Ariel Heryanto dan Vedi Hadiz
(2006)--di awalnya berpola pada civil
society based movement--dalam perjalanannya terperangkap dalam fenomena
kasar seperti yang terpampang dalam kisah hukum Angie.
Deformasi
Demokrasi transisional mengandaikan kredibilitas hukum. Bukan
hanya memperbanyak institusi hukum. Atau menambah jumlah institusi yang meng
urus masalah hukum. Untuk urusan menderetkan institusi baru, Indonesia tidak
perlu diragukan lagi. Bahkan, kalau mau ditambahkan, setiap isu krusial
selalu diikuti pembentukan tim kerja baru. Hukum tidak hanya bersentuhan
dengan lembaga. Tidak hanya badan atau birokrasi hukum.
Lalu apa yang dibutuhkan? Jawaban sudah jelas benderang
dari banyak kejadian putusan perkara korupsi. Yang mengecewakan masyarakat.
Yang mengganggu kesadaran rakyat. Yang melukai prinsip keadilan publik. Yang
membunuh rintisan perang melawan kejahatan korupsi. Hukum bergantung pada
tangan mereka yang memegang palu putusan! Mereka yang memakai jubah agung di
ruang pengadilan.
Yang mendengar tuntutan, menyimak pembelaan, memikirkan
keadilan, mengumumkan putusan, dan menghunjam palu atas meja kehakiman. Jika
jaksa melayangkan tuntutan hukuman penjara 14 tahun untuk seorang
koruptor--dan itu dianggap cukup pantas--lalu hakim hanya memberi hukuman
empat tahun--bagaimana publik katakan tentang soal ini?
Reformasi hukum bukan hanya menunjuk kepada sekian banyak
kata hukum dan regulasi yang dihasilkan dalam kurun waktu transisikonsolidasi
demokrasi ini. Yang paling mendasar sebetulnya ialah bagaimana hukum
menunjukkan kewibawaan. Salah satunya memberi hukuman yang pantas sesuai
dengan rasa keadilan publik.
Kegagalan reformasi hukum pascarezim Orde
Baru--seperti yang ditulis Tim Lindsey (2000)--di masa kini mungkin sedang
terlihat dalam perilaku kekuasaan kehakiman. Hukum sering kali terlihat
berlaku ramah pada kedudukan dan status kekuasaan. Perilaku semacam itu yang
telah menghancurkan formasi penegakan hukum di Indonesia. Terutama pada apa
yang kita butuhkan sekarang ini, melawan perilaku korup kekuasaan. Kiprah
hitam para penegak hukum memang bisa tumbuh dalam atmosfer demokrasi yang
terkungkung korupsi masif. Ini cerita populer dari banyak negara yang gagal
mengawal transisi demokrasi. Mirip sekali dengan gejala yang menghiasi peta
peradilan dan hiruk pikuk politik kekuasaan di negeri kita. Yang terjadi
ialah deformasi hukum yang tercetak dalam banyak putusan pengadilan yang
menistakan perasaan orang kebanyakan.
Dejeksi
Dugaan kotor bisa berkembang di area ini. Barangkali
sedang ada proses sesat untuk membunuh keyakinan dan optimisme publik. Di
hadapan putusan hukum yang menarik reaksi publik, bukankah kesigapan KPK,
terlihat akan menjadi sia-sia. Rasa kesiasiaan akan menjadi semakin besar.
Itu akan menjadi titik paling kritis.
Jaringan kekuasaan kehakiman yang mengurus proses hukum
Angie sedang memproduksikan tuturan keadilan hukum dalam bentuk tamparan
untuk nurani publik. Mereka menyemprotkan spirit murahan (dejeksi) dalam ruang demokratisasi.
Mereka yang memiliki akses ke dalam gerbong
demokrasi transisional, menikmati kedudukan politik, menyelewengkan
kekuasaan, dan kini menunjukkan wajah sumringah
di hadapan hukum yang memberlakukan diskon hukuman kepada mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar