Terobosan KPU
Sehatkan Demokrasi
Ansel Alaman ; Pengajar Unika Atma Jaya
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Januari 2013
SEKALIPUN ditolak, di tentang, bahkan dicaci
maki sejumlah partai politik (parpol) yang tidak lolos verifikasi faktual,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan percaya diri memutuskan hanya 10 partai
yang menjadi kontestan Pemilu 2014 (Media Indonesia, 8/1). Walau terasa berat
bahkan dipandang diskriminatif oleh partai yang gagal, demi sehatnya
demokrasi dan demi peningkatan kesejahteraan rakyat, kita patut memberi
apresiasi kepada KPU.
Apalagi jika partai-partai tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Legislatif, baik syarat persebaran kepengurusan, persentase keterwakilan
perempuan, maupun jumlah anggota seperseribu jumlah penduduk yang dibuktikan
dengan kartu tanda anggota (KTA).
Konsistensi itu diharapkan dapat menekan
sindrom-sindrom politik pencari rente kekuasaan dan harta seperti disebutkan
Thomas Hobbes sebagai perilaku `kemunafikan' dan `kesombongan' politisi (David Runciman, Political Hypocrisy, 2010).
Belajar dari Sejarah
Eksperimen demokrasi berbasis partai di
Indonesia telah melewati tiga pendulum, yang terbentang mulai atomized party-system (terkenal dengan
ikatan etnik, sektarianisme, primordialisme kuat) sampai two-party bahkan di saat bersamaan ada hegemonic system. Pendulum pertama, euforia demokrasi atas
elitisme politik.
Pemilu pertama 1955 digelar saat euforia demokrasi karena
bertahun-tahun mengalami kemelut demokrasi parlementer yang elitis (Herbert Feith dan Lance Castles, 1988).
Dambaan jiwa demokrasi rakyat tecermin pada pemilu yang atomized party-system
atau setidaknya polarized pluralism (sadar perbedaan dan siap berkoalisi),
yang diikuti 172 kontestan.
Hasilnya (Feith,
1971), didominasi empat partai besar selain banyak partai gurem, yakni
PNI (22,3 % atau 57 kursi), Masyumi (20,9% atau 57 kursi), Nahdlatul Ulama
(18,4% atau 45 kursi), dan PKI (15,4% atau 39 kursi). Akan tetapi,
pascapemilu terjadi sikut-sikutan merebut kue kekuasaan dan ekonomi, menyulut
kemelut berkepanjangan. Hal itu membuat Presiden Soekarno pada 1956 mengancam
`menguburkan partai-partai'. Namun, ancaman retoris itu tidak terjadi.
Kekacauan tampaknya terus terjadi dan mendorong Presiden Soekarno pada 1960
membubarkan Masyumi melalui Keppres No 200/1960. Tinggal 10 partai, di
antaranya PNI, Nahdlatul Ulama, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, P
Murba, dan IPKI, yang mengM ikuti Pemilu 1971.
Pendulum kedua, pembatasan partai di bawah
kekuasaan otoriter. Pemilu 1971 masih diikuti 10 kontestan (parpol). Namun,
sesudahnya diterapkan kebijakan fusi (peleburan) partai-partai menjadi 2
parpol (PPP dan PDI) dan 1 Golongan Karya (Golkar). Fusi itu bukan
penyederhanaan hasil kesepakatan politik, melainkan kepentingan rezim
otoriter. Lima pemilu masa Orde Baru (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) hanya
sebagai political movement rezim
untuk sekadar dijadikan tameng menangkis tuduhan negara Barat bahwa Soeharto
menang karena menindas kebebasan politik rakyat.
Pendulum ketiga, euforia demokratisasi. Dari
akumulasi gerakan kaum reaksioner ter hadap kebijakan deparpolisasi Orde
Baru, lahirlah reformasi di bawah rezim kebebasan politik. Pemilu 1999
diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 ada 24 parpol, dan Pemilu 2009 diikuti 38
parpol nasional serta 6 partai lokal di Aceh.
Hasilnya? Alih-alih mengukuhkan
presidensialisme, nyatanya justru muncul politik `berkaki banyak' seperti
Kabi net Indonesia Bersatu (KIB) I dan II serta sekretariat gabungan (setgab)
di parlemen, yang nyaris kembali ke parlementerisme politik 1950-an. Jeratan
keburukan moral politisi di pusat dan daerah hasil Pemilu Multipartai 2009
menyadarkan kita akan keharusan penyederhanaan jumlah parpol Pemilu 2014.
Kualitas Demokrasi
Pleno KPU (7/1) menetapkan hanya 10 dari 38
parpol untuk kontestan Pemilu 2014. Kesepuluh partai itu terdiri dari
sembilan partai lama yang sekarang ada di parlemen pusat dan Partai NasDem
sebagai partai baru. Banyak pihak mengapresiasi keberanian KPU sehingga
Pemilu 2014 menjadi sederhana, hemat biaya, mudah dipahami rakyat seperti
model surat suara dan calon sedikit mudah dikenal rekam jejaknya (Media
Indonesia, 8/1). Pemilu menjadi berkualitas. Penetapan KPU itu ditentang 18
parpol yang tidak lolos dan diadukan ke Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.
Makin Merajalela
Persoalannya, pendulum apa yang menjadi
mindset pengurus parpol baik yang lolos maupun tidak? Kita semakin khawatir
motivasi uang, kekuasaan, dan harta terus mendominasi pilihan politik politisi
ke depan, seperti diduga Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung dalam promosi
doktor di Universitas Padjadjaran Bandung (Editorial MI, 12/1). Sudah menjadi `rahasia umum' motivasi
menyimpang itu dan semakin mengancam kesucian politik, ditambah merajalelanya
ko rupsi, `selingkuh' bisnis dan politik, broker proyek, otak sektarianisme,
rasisme, dan penolakan pluralisme.
Namun, kita tidak boleh sekadar menyalahkan
individu, tetapi juga perilaku kolektif dan budaya politik, sebab setiap
politikus ialah produk dari budaya politik masyarakat. Masyarakat kita
terkapling-kapling dalam pembelahan sosial (social cleavage) yang berwujud budaya, suku, etnik/ras, agama,
asal/tempat tinggal, bahasa daerah, pengalaman sejarah, latar ekonomi, dan
golongan. Seharusnya kaderisasi dan pendidikan politik Indonesia berorientasi
realitas budaya Indonesia kontemporer, selain kualitas `pasar politik'.
Kualitas pasar politik seperti pemilu
tergantung beberapa faktor baik input (perundangan, sistem pemilu, dan
peraturan KPU), proses (tahapan penyelenggaraan dan penyadaran pemilih),
maupun keluaran yakni terpilihnya sejumlah kader berkualitas sehingga
memperoleh kursi di DPR atau DPRD. Cita-cita demokratisasi partai terwujud
jika tidak ada lagi penyakit `kutu loncat', ketika orang seenaknya berpindah
partai termasuk untuk vote-getter
dan langsung menjadi pengurus pusat, sebuah perilaku politik feodal,
oligarkis, dan mempertontonkan kegagalan kaderisasi partai.
Dengan alternatif pemikiran
tersebut, kita mendukung sepenuhnya keputusan KPU dan berharap nurani MK
tidak mudah mengabulkan permohonan yang membatalkan keputusan KPU. Dengan
demikian, pendulum keempat dengan penyederhanaan kontestan Pemilu 2014
sebagai moderate pluralism system
tidak sekadar menghemat biaya, tetapi terutama membangun kualitas demokrasi
agar berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Pendulum itu
menghasilkan sekitar 5 sampai 7 partai. Diharapkan, kualitas organisasi dan
kader makin terpacu, perilaku dan motivasi politik makin dimurnikan. Namun,
itu bukanlah `jalan tol' politik. Kita tetap membutuhkan negarawan yang siap
berkorban. Politisi harus terus menuranikan kritik Freeman Clarke, “A politician thinks of the next election,
but a statesman thinks of the next generation.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar