CATATAN 2012
Dimana
Pertahanan Maritim?
Edna Pattisina ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2012
Dinamika maritim adalah perpaduan dari
kolaborasi dan kompetisi. Meski Indonesia tak termasuk yang bertikai di
kawasan Laut China Selatan, peningkatan suhu keamanan mau tidak mau
memengaruhi Indonesia sebagai negara yang berdaulat di 80 persen wilayah
maritim Asia Tenggara.
Namun, penguasaan fisik
dan geografis tidak serta-merta menguatkan posisi tawar Indonesia dalam
percaturan kekuatan di kawasan. Investasi China di pangkalan di Pulau Hainan
menunjukkan penguatan People’s
Liberation Army Navy yang signifikan. Dibanding negara-negara ASEAN yang
langsung bersentuhan dengan Laut China Selatan, kekuatan militer China memang
berada jauh di atas.
Masalahnya, jauh lebih
kompleks dari sekadar klaim wilayah dengan berbagai versi sejarah, pendekatan
hukum, dan bentuk fisik. Berbagai kepentingan negara bertemu di kawasan ini,
seperti sumber daya alam berupa ikan dan energi yang terkandung di dalamnya.
Belum lagi beberapa negara
besar yang memiliki kepentingan selain soal jalur dagang, tetapi juga energi
seperti Australia, Rusia, Korea, India, dan Jepang. Hal tersebut tidak
menutup kemungkinan pengerahan kekuatan militer dari negara-negara yang
memiliki kepentingan itu.
Transportasi barang
perdagangan membawa sekitar 5,4 triliun dollar AS setiap tahun melintasi Laut
China Selatan (http://malaysia.reserve.com), di antaranya 1,2 triliun dollar
AS adalah milik AS. Kedatangan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta ke
Pangkalan Cam Ranh Bay, Vietnam, Juni 2012, menunjukkan semakin masuknya AS
ke kawasan ini. Rivalitas AS dan China di kawasan bisa dilihat sebagai
perimbangan kekuatan di kawasan, bahkan di dunia setelah gugurnya Uni Soviet.
Kondisi obyektif saat ini
adalah belum selesainya masalah perbatasan dan klaim wilayah laut. Berbagai
konflik terbuka pun kerap muncul. Namun, dari segi diplomasi, muncul kemajuan
seperti kerja sama antara China dan ASEAN terutama dalam pembuatan penyusunan
code of conduct di kawasan. Belum tuntasnya masalah klaim tersebut
mengakibatkan penegakan hukum terutama di daerah-daerah perbatasan jadi tidak
jelas.
Di sisi lain, ancaman yang
sekarang muncul di laut tidak lagi berasal dari negara. Sebagai negara
maritim, masalah-masalah seperti perompakan, pencurian ikan, serta penggunaan
laut untuk penyelundupan senjata dan narkotika menjadi problem bersama.
Muncul kesadaran terkait maritime domain awareness yang merupakan kerja sama
mulai dari informasi hingga respons yang efektif terhadap masalah keamanan
yang kompleks. Hal ini secara nyata dialami Indonesia dalam operasi
pembebasan NV Sinar Kudus di Somalia yang mendapat bantuan informasi dari
Angkatan Laut Singapura yang tergabung dalam jaringan Mercure dan Sentrix.
Di sini, seharusnya
Indonesia bisa mengambil peran. Salah satu tantangan adalah konsep pertahanan
Indonesia yang sejak era Orde Baru lebih banyak ditekankan ke darat. Padahal,
dari segi geopolitik dan geostrategi, musuh datang dari laut atau udara.
Tantangan berikutnya adalah belum mulusnya koordinasi antara pemangku
kepentingan yang terkait dan masalah maritim.
Soal pengembangan kekuatan
maritim, artinya berbicara soal peningkatan kemampuan alat utama sistem
persenjataan (alutsista) dan gelar pasukan. Setelah terpuruk selama ini,
Indonesia mulai eksis dan diharapkan pada tahun 2024 sudah tercapai
perencanaan kekuatan pokok minimum senjata dan gelar pasukan. Tentunya semua
harus dilihat dalam persepsi Revolution
in Military Affairs (RMA) yang lebih menerapkan teknologi dalam dunia
militer
Pertanyaan pertama tentang
kebutuhan pokok minimum (minimum
essential force), apakah minimum sudah dianggap cukup? Saat ini kita
cukup berlega hati karena Panglima TNI Agus Suhartono yang dalam HUT TNI pada
5 Oktober lalu mengatakan, pemenuhan kebutuhan pokok minimum postur TNI telah
mencapai 28,7 persen. Ini berarti lebih cepat dari rencana karena seharusnya
angka 30 persen diperoleh pada tahun 2015. Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro menyatakan, ada percepatan dalam pemenuhan persenjataan. Namun,
kuantitas bukanlah parameter, apalagi dalam konteks RMA yang menetapkan
faktor kemampuan menjadi kunci.
Persenjataan udara harus
diisi dengan sistem pertahanan yang menimbulkan efek gentar, mulai dari sistem
informasi dan komando serta ujung tombak penjaga wilayah udara. Keunggulan
udara mutlak diperlukan karena memberikan jaminan bahwa kekuatan laut bisa
bergerak bebas. Untuk itu, persenjataan udara harus unggul dalam ketinggian,
kecepatan, dan jarak jangkau. Tujuannya, bisa menjamin pengendalian ruang
udara. Pertahanan udara tentu saja tidak sekadar tugas TNI AU, tetapi lebih
pada sistem pertahanan udara secara umum yang terintegrasi antara matra
darat, laut, udara yang termasuk dalam pertahanan titik, wilayah, hingga
nasional. Tahun 2012, pengadaan persenjataan TNI AU meliputi hibah 30 F-16,
pembelian 6 Sukhoi Su-30, 8 Super Tucano, 3 radar GCI, dan 18 pesawat Grob.
Sementara TNI AD membeli 37 meriam 155 mm Caesar dan 36 unit roket Astros II.
Untuk pertahanan laut,
jumlah kapal patroli yang layak menjadi hal yang mutlak. Ini belum termasuk
persenjataan strategis seperti kapal selam dan kapal tempur. Saat ini,
dibandingkan dengan postur pertahanan yang menyebutkan jumlah kapal perang
TNI AL sebanyak 257 buah, realitasnya baru ada sekitar 150 kapal. Itu pun
tidak semuanya operasional (Kompas, 5/6/2012). Pembelian peralatan TNI AL
yang menonjol pada tahun 2012 di antaranya 3 kapal selam diesel elektrik, 2
kapal perusak kawal rudal, 3 multirole
light frigate, dan kawal cepat rudal.
Pertahanan di darat,
sesuai rencana postur pertahanan, difokuskan di antaranya pada kemampuan
mobilitas dan gelar pasukan. Pertahanan darat adalah bentuk proyeksi dari
pertahanan laut di wilayah darat. Selain itu, direncanakan untuk membentuk
komando kewilayahan yang terintegrasi tiga matra. Selama tahun 2012, TNI AD
membeli 12 unit helikopter serang Fennec, 16 helikopter serbu Bell 412, dan
103 main battle tank Leopard yang difokuskan sebagai pembuat efek gentar
untuk kawasan.
Sayangnya, hingga kini
realisasi pertahanan dalam konsep negara maritim masih sebatas wacana.
Setidaknya hal itu tercermin dari pembagian pagu anggaran 2013. TNI AD
mendapat anggaran Rp 30 triliun, yaitu tiga kali lipat dari masing- masing
TNI AL dan TNI AU.
Hal itu memang lebih
terkait pada anggaran rutin yang di antaranya untuk gaji 360.000 personel TNI
AD dibandingkan dengan 75.000 personel TNI AL dan 38.000 personel TNI AU.
Namun, ke depan diharapkan pemahaman realitas Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang akan membawa pada paradigma pertahanan negara maritim yang
komprehensif dan proporsional antara laut, udara, dan darat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar