Penyalahgunaan
Wewenang di Era Otonomi Daerah
Frans H Winarta ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan;
Anggota Governing Board Komisi
Hukum Nasional
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2012
SESUAI dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat 2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
pemerintah daerah berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pemban tuan. Otonomi daerah (otda) ialah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Fenomena otda telah membuka jalan bagi para investor untuk
memperluas bisnis mereka di Indonesia. Desentralisasi kekuasaan telah
menimbulkan inisiatif daerah dalam pengelolaan keuangan, pelayanan publik,
kekuasaan, dan pemilihan langsung kepala daerah. Hal itu membawa dampak
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat menjadi berkurang. Sisi positif
lain dari otda ialah investor dapat lebih mudah berkoordinasi dengan pemerin
tah daerah mengenai bisnis yang akan dijalankan. Namun dalam pelaksanaannya
tidak selalu berjalan mulus karena das
sollen sering kali berlainan dengan das sein.
Meningkatnya jumlah tindak pidana korupsi yang dilakukan
pejabat daerah semenjak pemberlakuan otda di 1999 perlu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah pusat. Akibat belum optimalnya mekanisme
pengawasan, kepala daerah muncul seperti raja-raja kecil (landlord) yang kerap menyalahgunakan
kekuasaan dan wewenang tanpa batas. Lihat saja statistik yang dikeluarkan
Kementerian Dalam Negeri. Sekitar 1.091 pejabat daerah telah terlibat kasus
hukum untuk periode 2010-2011. Lebih parah lagi, banyak pejabat mantan
terpidana kasus korupsi masih mendapatkan promosi jabatan.
Tidak Kondusif
Ketidakberdayaan
pemerintah pusat bisa dilihat, antara lain, pada kasus anarki yang terjadi di
Buol, Sulawesi Tengah, pada September 2010 dan Mei 2012. Di kedua kasus
tersebut, pemerintah pusat gagal mengawasi pemerintah daerah cq bupati yang
sengaja membuat keadaan menjadi tidak kondusif dan memanfaatkan kondisi tersebut
untuk memeras para investor di daerah yang dipimpinnya. Akibatnya investor
harus membayar sejumlah pajak tidak resmi (illegal tax) kepada pejabat
setempat agar situasi kembali kondusif. Di situlah
dampak negatif otda mulai
memengaruhi perekonomian dengan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Pemberian uang kepada pejabat negara seringkali diartikan
penegak hukum sebagai gratifikasi atau penyuapan. Tindakan investor tersebut
rentan dikriminalisasi. Padahal, tidak sedikit ada kemungkinan bahwa
sesungguhnya pejabat negaralah yang mengambil inisiatif dan melakukan tindak
pidana pemerasan.
Perlu dipahami, terdapat perbedaan konstruksi antara suap
dan pemerasan. Dengan menga cu ke Pasal 5 dan Pasal 12 (e) UU No 31 Tahun
1999 tentang Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), dapat dilihat bahwa suap terjadi
dalam konteks memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Adapun pemerasan terjadi apabila pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Sistem yang ada membuat pajak
tidak resmi menjadi bagian dari komponen administrasi Indonesia. Yang lebih
parah lagi, raja-raja kecil di daerah justru memunculkan pemahaman, untuk
melancarkan suatu urusan, ada harga yang harus dibayar.
Dalam negara hukum (rechsstaat),
harus terdapat kepastian hukum dan penegakan hukum yang konsisten. Keluhan
umum para investor ialah ketidakpastian hukum, seperti peraturan
perundang-undangan sering bertentangan antara satu dan yang lainnya, putusan
pengadilan tidak konsisten dan tidak bisa diprediksi (unpredictable), pada kasus yang sama terdapat perbedaan putusan
pengadilan, dan jual-beli putusan pengadilan.
Ketidakpastian hukum menjadi momok baru bagi investor dan
mengurangi daya saing Indonesia di tingkat internasional. Salah satu
indikator yang bisa dilihat ialah global competitive index yang dikeluarkan World Economic Forum. Pada 2010,
Indonesia di peringkat ke-44, menurun menjadi peringkat ke-46 di 2011 dan
mengalami penurunan rangking lagi menjadi peringkat ke-50 di 2012.
Antisipasi Penyimpangan
Penurunan rangking
tersebut tidak bisa diabaikan karena berpotensi membuat Indonesia makin tidak
menarik di mata investor. Perlu ditekankan tentang
perbedaan antara penanaman
modal asing langsung (foreign direct investor) dan mereka yang melakukan
‘investasi inte rim’ melalui instrumen pasar uang.
Pemerintah pusat harus memberi
perhatian serius terkait jumlah kepada daerah yang bermasalah, karena hal
tersebut meningkatkan risiko berbisnis bagi investor. Beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan yang dilakukan pejabat
daerah, antara lain harus ada pemilahan yang jelas dalam hal pengawasan.
Pengawasan dari aspek teknis kepemerintahan dan tindak pidana yang terkait
dengan tanggung jawab sebagai pejabat daerah.
PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menegaskan, terkait dengan
aspek teknis kepemerintahan, presiden secara top-down mempunyai aparatur di
bawahnya dari menteri, gubernur, sampai dengan bupati yang dapat secara
gradual melakukan pengawasan. Selain itu, Pasal 27 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan ke pala daerah mempunyai
kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada pemerintah pusat dan membe ri kan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Lebih lanjut, untuk keadaan tertentu, ketentuan dalam
Pasal 30 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
sebagai berikut, ‘Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh
presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap’.
Mengenai aspek pengawasan terhadap tindak pidana yang terkait
dengan tanggung jawab sebagai pejabat daerah, akan jauh lebih efektif apabila
hal itu dimonitor dan ditangani lem baga bersangkutan. Dengan demikian,
apabila ada ke pala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dan tindak pidana tersebut berkaitan
dengan tanggung jawabnya, DPRD dan presiden tidak segan untuk memberhentikan
kepala daerah tersebut.
Pemerintah pusat dan daerah harus menegakkan wibawa dan
mampu menutup peluang bagi pejabat daerah untuk melakukan korupsi di era
otonomi daerah yang tidak hanya merugikan negara, tapi juga merugikan
investor. Bukan soal kekuasaan yang merusak moral seseorang, melainkan
ketakutannya sendiri. Seperti yang disampaikan Aung San Suu Kyi, tokoh
demokrasi dan hak-hak asasi manusia dari Myanmar, “It is not power that corrupts but fear. Fear of losing power
corrupts those who wield it and fear of the scourge of power corrupts those
who are subject to it.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar