Sabtu, 17 November 2012

Muasal Gelar H


Muasal Gelar H
Mahrus Ali ;   Pengurus LTN PBNU dan Rabitah Haji Indonesia
REPUBLIKA, 16 November 2012


Pada tulisan Saudara Setiyo Purwanto (Psikolog) pada harian Republika, Jumat (9/11) dengan judul "Menimbang Gelar H", saya mendapati kesan peyoratif dan cenderung kurang bersimpati atas pem berian gelar "haji" kepada kaum Muslimin yang selesai menunaikan ibadah rukun Islam kelima. Dengan alasan tidak ada syariatnya, di negara seperti Mesir, Iran, dan negara-negara Muslim besar lain, gelar haji juga tidak disematkan kepada mereka yang berkali-kali menunaikan ibadah haji. 
Bahkan, Saudara Setiyo menyebut pemberian gelar haji ini terkait dengan recokan anasir kebudayaan masyarakat Jawa atau Melayu yang tergila-gila dan obsesif dengan status atau pangkat.

Jika kita berpikir sinkronis pada hari ini maka tulisan tersebut mengandung beberapa kebenaran. Namun, sesungguhnya gelar haji yang telanjur tersematkan secara otomatis bagi semua yang sudah menjalankan rukun Islam pamungkas tersebut tidaklah bertengger serta-merta. 

Bagi masyarakat Muslim pada abad-abad awal kedatangan Islam di nusantara, dapat melihat Ka'bah dan menjejakkan kaki di Kota Makkah merupakan sebuah capaian puncak yang tidak sembarang orang dapat melaksanakan. Sebuah penelitian mendalam sejarah perjalanan haji nusantara dilakukan Prof Abdul Majid (2008) dan ditemukan dalam dokumen-dokumen resmi di KTLV Leiden tentang gambaran haji sekitar abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Untuk pertama kali penguasa kolonial Belanda mengenalkan kapal api sebagai angkutan haji dan perjalanan ke Jeddah memakan waktu dua bulan. 

Menurut catatan Majid, hingga akhir abad ke-18, perjalanan haji dari nusantara belum terorganisasi karena dilakukan secara individu bagi yang mampu membeli tiket perjalanan. Pada abad ke-19, mulai ada upaya institusionalisasi penyelenggaraan perjalanan haji dan pada periode inilah terjadi kenaikan jumlah jamaah karena angkutan sudah modern dan waktu tempuh relatif makin singkat. 

Di sisi lain, tingkat penghormatan masyarakat kepada haji yang demikian tinggi dan terpelihara bertahun-tahun lambat laun diracuni kepentingan kapitalis yang mengeruk keuntungan finansial dari membeludaknya jumlah jama'ah. Agen-agen kapitalis mengembuskan kesadaran palsu bahwa haji adalah gelar suci yang terhormat. 
Akibatnya, banyak yang berangkat secara membabi buta, menjual apa saja.

Besarnya animo umat yang ingin berangkat haji pada saat bersamaan memunculkan praktik monopoli dan penipuan di mana-mana, dari atas hingga ke bawah, dari yang resmi sampai tidak resmi. Firma Herklot milik seorang Indo- Belanda bernama JGM Herklots dan Firma Al-Segaff dipimpin Sayid Mohamad Bin Achmad al-Segaff, seorang Indo-Arab berbasis di Singapura memegang peran penting pada masa itu. 

Herklots dalam usahanya menjalankan penipuan secara terang-terangan kepada para jamaah dengan pelayanan perjalanan yang sangat memprihatinkan. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. 
Herklots bergerak sebagai agen tunggal dan dalam penentuan harga memonopoli sesuka hati serta pungutan liar yang sangat memberatkan jamaah.

Di antara jamaah juga ada sampai kehabisan bekal ketika baru sampai Singapura. "Jamaah yang tidak meneruskan perjalanan ke Makkah karena kehabisan uang hanya sampai di Singapura saja, lalu kembali ke kampung halaman masing-masing. Ada istilah khusus bagi mereka yang hanya sampai Singapura, yakni dengan menyandang gelar haji Singapura." (Majid, 2008 halaman 96). 

Kasus ini adalah salah satu contoh kesadaran palsu yang telah merasuki pola pikir masyarakat, gelar haji begitu penting, bahkan jauh lebih penting dari pada ritual haji itu sendiri dan niat untuk menunaikan rukun Islam kelima. Kesadaran palsu itu pernah ditulis dalam surat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda atas laporannya dalam beberapa kali penyamaran yang ia lakoni sebagai jamaah haji di tengah-tengah masyarakat Muslim nusantara. 

Modernisasi pengangkutan jamaah betapa pun buruknya pelayanannya tetap memicu para calon haji dari pelosok-pelosok. Orang-orang awam yang memiliki ratusan hewan ternak atau tuan-tuan tanah biasanya rela melepas hartanya begitu saja demi mendapatkan kesempatan berangkat haji karena haji mendatangkan status baru. 

Terlihat jelas juga bahwa haji telah menaikkan kelas sosial tersendiri dalam masyarakat nusantara. Dalam penelusuran literatur, saya dapati bahwa sebutan haji ini memang hanya banyak ditemui di negeri yang jauh dari Makkah, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Terlebih, saat ini orang-orang Arab memanggil setiap jamaah selama musim haji dengan panggilan `haji'. Maka, dengan cara melihat keseluruhan perkara ini secara diakronis, kita menjadi paham mengapa di sebagian masyarakat kita gelar "H" tetap bertengger dan dianggap perlu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar