Sabtu, 17 November 2012

Menimbang Gelar H


Menimbang Gelar H
Setijo Purwanto ;   Psikolog
REPUBLIKA, 09 November 2012

Ritual ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima bagi kaum Muslimin yang berlangsung di dua kota suci, Makkah dan Madinah, telah usai dijalani. Gelombang keberangkatan dua juta lebih jamaah dari seluruh dunia yang sejak beberapa minggu terakhir mengalir memusat ke Tanah Suci, kini setahap demi setahap bertolak untuk ke tanah air masing-masing. 
Menjadi catatan khusus, jamaah haji asal Indonesia yang pulang-selain membawa aneka oleh-oleh-juga membawa gelar yang tersimbolisasikan dengan huruf `H' (singkatan dari haji) yang diterakan di depan namanya. Fenomena peneraan gelar ini, kalau kita cermati dari sisi perilaku manusia (human behavior), menampilkan satu fenomena menarik. Karena, dalam sejarah pertumbuhan komunitas Islam dalam skala global, gelar haji tak dikenal dalam kultur mayoritas komunitas dunia Muslim di muka bumi ini. Fenomena ini adalah fenomena lokal-kultural ma- syarakat di nusantara atau bahkan Jawa. 
Dalam mayoritas masyarakat Islam di belahan dunia lain, gejala ini tidak menonjol. Di jazirah Arab sendiri, hal ini kurang dikenal. Demikian juga di belahan dunia lain yang memiliki ko- munitas Muslim, gejala ini tidak ditemui.
Secara historis pun, dalam masyarakat Islam era klasik, hal ini tidak begitu dikenal. Masyarakat Muslim dari Arab, Persia, India, Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah, Amerika, dan Eropa (di dua benua terakhir ini, Islam tercatat sebagai agama yang bertumbuh paling pesat), pun tak banyak dikenal menghidupkan tradisi ini. 
Di masyarakat Mesir, salah satu pusat sains dan pengetahuan Islam, para syekh atau grand-syekh pun-yang adalah tokoh dan ulama besar-tak pernah menaruh gelar haji di depan namanya meski mereka telah menunaikan ibadah haji, bahkan lebih dari satu kali. Dalam masyarakat Persia atau Iran, yang lebih dikenal dengan corak Islam bermazhab Syiah pun, tradisi ini tidak berkembang.
Ayatullah-ayatullah dan cendekiawan Persia yang terkemuka tidak pernah mencantumkan gelar haji di depan namanya. 
Melihat gejala ini, tampaknya tradisi peneraan gelar `H' atau haji untuk Muslim yang berziarah haji, sejatinya tidak memiliki basis syariat yang kuat.
Pemberian gelar ini lebih kuat justru direcoki oleh anasir-anasir kebudayaan, terutama Jawa dan Melayu. Masyarakat Jawa dikenal sangat mengagung-agungkan status. 
Masyarakat Jawa, secara sosio-antropologis memang dikenal sangat `tergila-gila' dan `obsesif' dengan status atau pangkat. Hal ini berbeda dengan- taruhlah-masyarakat Eropa yang lebih obsesif dengan prestasi dan kerja. Atau, masyarakat Cina yang dikenal sangat obsesif dan berambisi dengan kepemilikan finansial.
Dalam hal ini, kultur pemberian gelar haji autentik hanya tumbuh di masyarakat Jawa dan atau Melayu Nusantara. Dengan demikian, kultur ini sejatinya harus dipahami sebagai buah akulturasi antara Islam dan kebudayaan dan tradisi lokal. Meski tanpa basis syariat yang kuat, pemberian gelar ini begitu dirawat dan dijaga sebagai tradisi.
Tiga `Tipe' Haji
Secara garis besar, tradisi pemberian gelar `H' atau haji bagi peziarah haji asal Indonesia memunculkan tiga jenis respons perilaku dalam tubuh umat Islam di Tanah Air. Pertama, seseorang akan merasa enggan (reluctant) menunaikan ibadah haji-meski ia sudah mampu-karena merasa akan terbebani dengan gelar `H' itu sepulang dari pelaksanaan haji. Tipe pertama ini merasa atau menilai diri bahwa ia kurang atau belum pantas menerima gelar itu. Tipe pertama ini bisa menjadi pertanda dari ketinggian religiusitas meskipun bisa juga justru menjadi dalih bagi orang yang `malas' atau `enggan' melaksanakan haji dengan alasan yang tidak dibenarkan secara syariat.
Kedua, perilaku yang muncul karena adanya tradisi pemberian gelar ini adalah orang yang bersikap netral. Orang bertipe ini akan bersikap menerima gelar itu bila disematkan pada namanya, namun bila tidak disematkan pun, ia merasa tidak apa-apa. Tipe ini adalah orang yang lebih mengutamakan esensi dan tidak mempersoalkan simbol-simbol formal. Dalam pergaulan sosial, mereka tidak mempersoalkan apakah mereka diidentifikasikan sebagai seorang `haji'
atau bukan. 
Sementara, perilaku ketiga adalah perilaku yang obsesif-kompulsif dengan gelar `haji'. Tipe ketiga ini sangat mendambakan, bahkan tergila-gila dengan gelar ini. Tipe ketiga ini akan merasa kecewa atau marah bila identitas haji tidak diterakan di depan namanya. Tipe ketiga ini lebih mengedepankan kepemilikan gelar ini sebagai pendongkrak status sosial.
Gelar `haji' dipandang oleh jenis Muslim tipe ketiga ini sebagai simbol status di masyarakat. Tipe ketiga ini cenderung mengesampingkan nilai-nilai esensial religius dan semata mengedepankan gelar atau status untuk kepentingan nonrohani. Gelar haji tak jarang dijadikan alat legitimasi, misalnya, dalam proses pencalonan seseorang yang masuk dalam bursa pemilihan daerah atau pemilihan legislatif. 
Perilaku tipe ketiga ini dalam taraf tertentu selain mengedepankan nilai-nilai narsisisme, juga mengabaikan hakikat nilai keagamaan yang sejatinya bersifat privat dan spiritual. Tipe ketiga ini lebih sering menampakkan perilaku yang merupakan negasi dari nilai-nilai spiritual dari haji itu sendiri.
Kini, 200-an ribu jamaah haji Tanah Air sedang bertolak menuju kampung halaman. Bangsa Indonesia dan umat Islam Tanah Air berharap, sepulang dari menjalani ritual-ritual haji, mereka menimbang-nimbang gelar baru yang tersemat di depan nama, selain harus berubah secara mental dan melejitkan derajat ruhaniah atau derajat spiritualnya. Dan, ketinggian derajat ini tak semata-semata karena diterakannya huruf `H' di depan nama pelaku ibadah haji. Sisi yang lebih esensial adalah derajat baru ini terbukti mampu memberikan pengaruh positif bagi sesama manusia, menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatallil'alamiin), bukan justru menjadi olok-olok sesama manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar