Jalan Dakwah
Muhammadiyah
Faozan Amar ; Dosen Studi Islam UHAMKA
|
REPUBLIKA,
17 November 2012
Bulan November 2012
ini terasa istimewa bagi Muhammadiyah. Tanggal 18 November tahun ini,
Muhammadiyah tepat berusia satu abad, yakni sejak didirikan 1912 M oleh KH
Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Walaupun, jika mengacu pada kalender Hijriah,
pada 08 Dzulhijjah yang lalu, Muhammadiyah telah berusia 103 tahun, sejak
didirikan 1330 H.
Muhammadiyah merupakan
gerakan dakwah Islam yang bersumber dari Al- quran dan sunah. Maksud geraknya
ialah dakwah Islam dan amar makruf nahi
mungkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang multikulural, terdiri atas berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan, lantas bagaimana Muhammadiyah mengimplementasikan dakwah multikural?
Masyarakat
multikultural Beberapa pakar mendefinisikan masyarakat multikultural dengan
perspektif yang berbeda-beda, tetapi substansi sama. Azyumardi Azra (2007)
mendefinisikannya sebagai suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat, serta kebiasaan.
Dalam konteks
Indonesia, multikulturalisme merupakan sebuah keniscayaan.
Hal ini bisa ditelusuri dari sejarah dan realitas empiris yang ada di dalamnya. Dengan demikian, berdasarkan sejarah dan realitas tersebut, multikultural yang ada di Indonesia merupakan keniscayaan dan menjadi rahmat Allah Yang Mahakuasa. Namun, jika kita tidak mampu un- tuk mengelolanya secara baik dan benar, bukan tidak mungkin akan menjadi laknat yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai organisasi
sosial keagamaan yang lahir sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah
berkewajiban untuk mengawal multikultural itu dan menjadi- kannya sebagai
modal sosial dan kekuatan dalam membangun bangsa.
Dalam landasan teologis multikultural perspektif Muhammadiyah, dijelaskan bahwa pertama, Hakikat agama ada lah inti (Din al-Fitrah), bentuk (norma-norma syariah), dan ungkapan atau manifestasi dalam bentuk amal saleh (Syamsul Anwar, 2005). Kedua, hanya hukum Allah yang sebenar-benarnya, satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk dapat membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (bermasyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki di dunia dan di akhirat (Muqaddimah AD Muhammadiyah). Ketiga, manusia diciptakan dalam kultur yang beragam (QS al-Hujurat:13)
Sebagai implementasi
dari pemahaman teologis multikultural tersebut maka sidang tanwir, yang
merupakan permusyawaratan tertinggi kedua setelah muktamar, di Denpasar
(2001) dan Makassar (2003), merekomendasikan agar Muhammadiyah mengembangkan
dakwah kultural. Yaitu, merupakan upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam
seluruh dimensi kehidupan dengan memahami potensi dan kecenderungan manusia
sebagai makhluk budaya yang meliputi ide-ide, adat istiadat, kebiasaan,
nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol, dan hal-hal fisik yang memiliki
makna tertentu dan hidup subur dalam kehidupan masyarakat.
Keputusan sidang
Tanwir tersebut bukanlah merupakan hal yang tiba-tiba. Apalagi karena
emosional dan sensasional. Tetapi, dengan melihat sejarah dan realitas
multikulturalisme yang ada di Muhammadiyah itu sendiri. Dalam lintasan sejarah,
kita dapat melihat tentang penerimaan KH Ahmad Dahlan terhadap orang
non-Muhammadiyah dan non-Muslim sebagai murid dan tenaga pengajar dalam
lembaga pendi dikan Muhammadiyah serta adanya tenaga dokter di rumah sakit
PKO Muhammadiyah.
Kemudian, dalam
pergulatan kebangsaan melalui sidang BPUPKI, yakni pencoretan tujuh kata pada
Piagam Jakarta oleh Ki Bagus Hadikusuma, yang merupakan Ketua PP Muhammadiyah
ketika itu, dan mengubah sila pertama Pancasila menjadi; Ketuhanan Yang Maha
Esa, demi untuk tegak dan utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan dalam
realitas objektif, dapat terlihat banyak siswa dan mahasiswa dalam lembaga
pendidikan Muhammadiyah yang berasal dari kalangan non-Muslim dari berbagai
suku dan etnis serta ada yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara,
Turki, dan Afrika. Bahkan, di Universitas Muhammadiyah Kupang, 60 persen
mahasiswanya adalah non-Muslim. Karyawan dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah
juga ada yang berasal dari non-Muhammadiyah bahkan non-Muslim.
Lembaga pendidikan
Muhammadiyah memberikan mata kuliah agama sesuai agama yang dipeluk oleh
siswa dan mahasiswa, dan menyediakan tenaga pengajarnya. Selain itu,
Muhammadiyah mengirim tim penanggulangan bencana ke kantong non-Muslim
seperti di Papua Barat dan Gunung Lokon Sulut.
Revitalisasi dan pementasan kesenian tradisional juga dilakukan oleh Muhammadiyah. Berikutnya, pengembangan seni wayang yang dimodifikasi, seperti dalang perempuan yang menggunakan jilbab, memulai dengan basmallah dan mengakhiri sebelum Subuh. Ada pula penyambutan tamu dengan mengumandangkan gending kebo giro, dan sebagainya.
Kesemuanya itu
dimaksudkan untuk mencapai tujuan Muhammadiyah yakni menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya (Bab III Pasal AD Muhammadiyah). Karena dakwah
Muhammadiyah yang multikultural itulah, yang menjadi salah satu faktor mengapa
Muhammadiyah bisa eksis sampai satu abad. Selamat
milad Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar