Senin, 05 November 2012

Mimpi Swasembada Susu


Mimpi Swasembada Susu
Siti Nuryati ;  Alumnus Pascasarjana Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor
SUARA KARYA, 05 November 2012
 

Kementan, Kemenkes, dan Kemenpora telah mencanangkan Hari Susu Nusantara sejak 2009. Mimpi 'Indonesia sebagai Kolam Susu' pun dipasang untuk diraih di tahun 2012. Namun, apa mau dikata, mimpi ini tak jua terwujud di tahun ini. Nyatanya, pada tahun ini konsumsi susu di Indonesia masih saja rendah, tak banyak bergeser dari angka 7,7 liter per tahun per orang atau sekitar 15 tetes per hari per orang.
Masih rendahnya konsumsi minum susu di kalangan masyarakat Indonesia, salah satunya disebabkan harga susu yang cenderung tinggi, sehingga tak terjangkau orang, terutama dari kalangan ekonomi bawah. Mahalnya harga susu (dalam negeri) adalah imbas dari beragam problem persusuan nasional yang membelit, dari produksi hingga ke distribusi.
Sejak IMF menekan pemerintahan Orde Baru, maka diperlukan proteksi atas peternak sapi perah lokal, nasib peternak hancur. Kondisi persusuan nasional terpuruk dan pemerintah membiarkan itu terjadi. Padahal, di negara maju lain, perlindungan terhadap peternak tetap ada. Begitu "angin segar" dibuka IMF, para produsen susu multinasional menekan harga susu peternak hingga banyak peternak bangkrut. Peternak memilih menjual sapi mereka sehingga produksi susu merosot.
Saat ini produksi susu segar lokal kurang dari 1,2 juta liter atau hanya 25-30 persen memenuhi kebutuhan susu nasional, sebesar 70 persennya impor. Contoh riil, sejak tiga tahun terakhir, produksi susu segar di Jawa turun hingga 50 persen. Padahal, jika menggerakkan lagi usaha sapi perah lokal, kesejahteraan peternak bisa meningkat. Hal ini karena selisih harga susu segar lokal dengan susu segar di pasar dunia jauh. Susu segar petani Rp 3.000 per liter, sedangkan pasar dunia Rp 5.000. Selisih harga susu yang besar dapat menggairahkan usaha ternak sapi perah. Tentu jika pemerintah memberikan jaminan harga pasar yang stabil, dukungan permodalan, dan mendorong sistem usaha ternak sapi perah yang terintegrasi.
Jika dicermati, problem persusuan nasional selama ini memang masih terbelit beragam persoalan. Dari produksi hingga ke distribusi masih menyimpan banyak masalah. Dari sisi produksi, kemampuan produksi susu dalam negeri faktanya belum mencukupi kebutuhan nasional. Hal ini disebabkan oleh beragam faktor. Salah satunya adalah populasi sapi perah yang masih sangat kurang, yakni tak lebih dari 1 juta ekor.
Dari jumlah itu, 65 persen merupakan sapi betina dan hanya 45 persennya yang merupakan laktasi atau sapi dalam keadaan siap berproduksi. Dari jumlah itu pun, kemampuan laktasinya (kemampuan menghasilkan susu) rendah, yakni rata-rata hanya 10 liter per laktasi per hari sementara di negara lain telah mencapai 30 liter/laktasi/hari. Idealnya, produksi susu di dalam negeri bisa ditingkatkan hingga 20 liter/laktasi/hari.
Dengan kondisi tersebut, tak heran jika kemudian kita sangat tergantung pada susu impor. Dari kebutuhan susu nasional sebesar 1,5 miliar liter per tahun, sebanyak 67% (sekitar satu miliar liter) masih harus diimpor, karena peternak sapi perah kita hanya mampu menghasilkan sekitar 500 juta liter susu per tahun. Sehingga, sejumlah industrisusu olahan di dalam negeri masih mengimpornya untuk diolah menjadi susu bubuk, susu kental manis, yoghurt, mentega, keju, permen, dan lain-lain. Bahkan, jika konsumsi susunaik satu liter per kapita saja, Indonesia butuh tambahan 220 juta liter per tahun.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi susu dalam negeri, dengan mengembangkan peternakan sapi perah. Upaya peremajaan banyak sapi perah pun dibutuhkan. Indonesia minimal harus menambah populasi sapi perah sebanyak 350 ribu ekor, dengan asumsi satu ekor sapi menghasilkan 3.000 liter susu per tahun. Upaya pengembangan sapi perah ini selain mencukupi kebutuhan susu dalam negeri, juga dapat memangkas ketergantungan pada susu impor. Dalam jangka panjang, syukur-syukur diharapkan kita bisa menjadi negara produsen susu yang diperhitungkan dunia.
Faktor lainnya yang menyumbang rendahnya produksi susu dalam negeri adalah skala usaha peternakan sapi perah yang dikelola oleh rakyat relatif kecil. Belum lagi, persoalan-persoalan lain seperti keterbatasan pakan hijauan, ketidaktersediaan sumber bibit sapi perah, dukungan permodalan yang masih sangat minim, serta belum efisiennya pengelolaan koperasi susu.
Belum lagi, persoalan sifat genetik sapi yang menurun, di antaranya akibat perkawinan inbreeding sehingga produktivitas susu pun menurun sampai 20 persen. Tak hanya itu, banyaknya ras sapi perah yang dikawinkan dengan sapi potong dari ras simental ternyata mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan susu. Di lain pihak, rendahnya penanganan penyakit ternak sapi perah di beberapa daerah penghasil susu mengakibatkan banyaknya penyakit mastistis (jantung susu) dan penyakit brucelosis (keguguran). Tentunya ini mengganggu kemampuan sapi (daya perah) untuk memproduksi susu.
Selain itu kita pun dihadapkan pada rendahnya kualitas produksi susu yang dihasilkan peternak rakyat sebagai akibat sistem pemeliharaan yang belum sesuai standar sehingga berimbas pada rendahnya gairah peternak sapi perah lantaran harga susu peternak yang dihargai relatif murah. Bahkan di level distribusi pun, bisa dibilang tata niaga susu selama ini terkendala panjangnya rantai (jalur) distribusi sehingga jauh dari hitungan efisien.
Belum lagi, ketika harus dihadapkan dengan persaingan terhadap susu impor, tentu hal-hal di atas merupakan tantangan-tantangan yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi susu nasional. Kondisi ini menjadikan daya saing susu dalam negeri lebih rendah dibanding produk impor. Terlebih lagi, komoditas tersebut mendapatkan subsidi ekspor oleh negara masing-masing sehingga harganya lebih murah. Berbagai tantangan berlipat ini, menunggu berbagai solusi agar para peternak sapi perah dapat bangkit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar