Menghijaukan
Perekonomian
Andreas Lako ; Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika
Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 05 November 2012
’’Jangan
silau dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Percuma, kalau hasil itu
dicapai lewat cara-cara yang memiskinkan rakyat dan merusak alam. Pertumbuhan
itu bakal menjadi bumerang di kemudian hari...’’
Pikiran itu selalu muncul dalam benak
saya ketika mendengar atau membaca pemberitaan pertumbuhan ekonomi Indonesia,
dan juga Jateng, yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Terakhir, pikiran itu kembali mengemuka tatkala mendengar prediksi pemerintah
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa 6,8-7,2%.
Saya tidak tahu kenapa pikiran itu selalu
muncul , barangkali karena saya sering mengamati paradoks pertumbuhan
ekonomi. Saya melihat, untuk memacu pertumbuhan, pembangunan ekonomi sering
dilakukan lewat cara tidak manusiawi dan merusak lingkungan. Misalnya,
menggusur rakyat dan menghilangkan sumber penghidupan rakyat demi kepentingan
korporasi atau pemodal besar
Akibatnya, meski di satu sisi aktivitas dan
pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, di sisi lain jumlah rakyat miskin
bertambah. Kesenjangan kian melebar menyertai kepesatan pertumbuhan ekonomi.
Contoh lain, aktivitas ekonomi dilakukan dengan merusak dan serakah
mengeksploitasi sumber daya alam (SDA). Hal itu menimbulkan kerusakan
lingkungan dan kemeluasan bencana alam yang kian memiskinkan rakyat.
Beberapa fakta empiris menunjukkan sejumlah
daerah yang dulu kaya akan sumber daya alam dan dbanyak industri tambang/
manufaktur beroperasi sehingga daerah itu menjadi maju dan makmur, kini
berubah menjadi daerah miskin, kumuh, dan penyakitan akibat diisap dan
dirusak sejumlah ’’korporasi ulat’’.
Korporasi ulat itu kini beroperasi di
daerah lain dan berbuat yang sama. Sementara pemerintah membiarkan, bahkan
’’mendukung’’ perbuatan buruk mereka karena silau dengan kontribusi yang
diberikan perusahaan tersebut. Itu sebabnya selalu muncul ironi ketika
pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi tinggi, pada saat yang sama
kemiskinan dan kemelaratan kian banyak.
Ironi itu seharusnya menjadi alat
introspeksi bagi pemerintah untuk kembali menata pembangunan ekonomi saat
ini. Bila tak cepat mengoreksi, jangan bermimpi Indonesia 2025 yang
dicanangkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia-MP3EI
2011-2025, yaitu menjadi Indonesia baru yang mandiri, maju, adil dan
makmur, bisa terwujud. Bisa jadi, tahun 2025 negara kita menjadi negara
miskin akibat perilaku tamak pembangunan ekonomi.
Ke depan, kita perlu menghijaukan visi dan
tata kelola pembangunan ekonomi supaya Indonesia bisa menjadi negara maju
dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, berkeadilan, dan berkelanjutan. Mengapa
harus begitu?
Presiden sudah menyepakati dokumen The
Future We Want pada KTT Rio+21 di Rio de Janeiro pada Juni 2012, yang
menyepakati agenda aksi ekonomi hijau (green economy) guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan, namun hingga kini
pemerintah belum merumuskan Blueprint Ekonomi Hijau Indonesia (BEHI) sebagai
arahan strategis, taktikal, dan operasional.
Merusak
Alam
Pemerintah justru terlihat masih bingung
merumuskan BEHI dan menyiapkan agenda aksi. Empat pilar strategi pembangunan
yang diusung Presiden, yaitu pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-green,
belum merefleksikan pendekatan ekonomi hijau, bahkan saling mengorbankan.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun
terakhir pembangunan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro-growth).
Tapi bersamaan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, jumlah
pengangguran dan kemiskinan kian bertambah. Ketimpangan ekonomi kaya-miskin
kian lebar. Eskalasi kerusakan lingkungan dan dampak negatif makin
memprihatinkan.
Hal itu terjadi karena selama ini tata
kelola pembangunan ekonomi nasional masih menggunakan cara-cara konservatif.
Realitasnya, pencapaian pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan cara
mengeksploitasi rakyat dan sumber daya alam, serta merusak alam. Akibatnya,
krisis sosial dan lingkungan kian bertambah serius dan memprihatinkan.
Ada dua langkah penting yang perlu segera
dilakukan pemerintah untuk menghijaukan pertumbuhan ekonomi. Pertama;
menghijaukan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah (RPJP/ RPJM).
Dalam desain dua rencana itu, variabel pembangunan ekonomi seperti konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor harus dihijaukan.
Menghijaukan tata kelola pemerintahan dan pemimpin pemerintahan menjadi
prasyarat penting untuk menghijaukan ekonomi.
Kedua; menghijaukan sistem bisnis dan
korporasi. Kita perlu mendorong serta menghijaukan sistem dan tata kelola
bisnis karena dunia bisnis memegang peranan krusial. Dalam menyusun BEHI,
pemerintah harus memberikan arahan strategis sekaligus operasional tentang
tata kelola bisnis atau tata kelola korporasi hijau kepada dunia usaha.
Pemerintah juga perlu mendorong pelaku
usaha segera menyusun dan menerapkan tata kelola bisnis yang ramah
lingkungan. Selain itu, mendorong semua pihak agar berpartisipasi aktif
mewujudkan gerakan ekonomi hijau. Dengan partisipasi dari semua pihak maka
upaya menghijaukan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi bisa cepat terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar