BDF dan
Demokrasi Indonesia
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota Advisory Board,
International IDEA, Stockholm dan BDF
|
KOMPAS,
06 November 2012
Bahwa Indonesia dalam dasawarsa terakhir
sering disebut sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, setelah
India dan AS, tidak dipersoalkan warga Indonesia sendiri ataupun masyarakat
internasional. Namun, kenyataan demokrasi Indonesia setelah 13 tahun berlaku
belum terkonsolidasi sepenuhnya tak serta-merta mengurangi tanggung jawab dan
peran Indonesia memajukan demokrasi secara global.
Meski masih menghadapi berbagai masalah dalam
demokrasinya, Indonesia tetap berada dalam posisi lebih baik untuk lebih memainkan
peran ke arah pertumbuhan dan penguatan demokrasi tingkat regional ASEAN atau
Asia Pasifik, bahkan di tingkat internasional lebih luas.
Aktualisasi peran itu tak lain merupakan
amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia juga ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia
Tenggara dan satu-satunya di kawasan
ini yang menjadi anggota G-20, Indonesia
memiliki bobot dan daya tekan memainkan peran lebih besar dalam pertumbuhan
dan konsolidasi demokrasi di berbagai kawasan dunia. Masalahnya kemudian,
sejauh mana Indonesia telah menggunakan pengaruh itu; dan langkah yang dapat
dilakukan lebih jauh untuk berdiri di depan barisan kekuatan internasional
mendorong transisi dan konsolidasi demokrasi baik ke dalam maupun ke luar.
Bali Democracy Forum
Sejauh menyangkut pertumbuhan demokrasi,
Indonesia jelas memiliki pretensi dan keinginan kuat untuk memainkan peran
lebih besar pada tingkat internasional. Hasrat ini diwujudkan sejak 2008
ketika Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali diselenggarakan di Bali.
Sejak itu BDF menjadi agenda tahunan Pemerintah Indonesia sampai
penyelenggaraan yang kelima kalinya pada 8-9 November 2012.
Jelas BDF menarik kian banyak peserta. Pada
BDF I hadir empat kepala negara/pemerintahan, 32 negara peserta dari kawasan
Asia Pasifik, 8 negara Eropa dan Amerika, serta lembaga internasional sebagai
observer. Lalu pada BDF II 2009 masing-masing empat kepala negara/pemerintahan,
35 negara peserta, 13 negara/lembaga internasional pengamat; BDF III 2010,
empat kepala negara/pemerintahan, 44 negara peserta, 27 negara/lembaga internasional
pengamat; BDF IV 2011, 9 kepala negara/pemerintahan, 40 negara peserta, dan
45 negara/lembaga internasional pengamat; serta BDF V 2012, 11 kepala
negara/pemerintahan, 50 negara peserta, dan 13 negara/lembaga internasional
pengamat.
Mengapa BDF bisa bertahan dan menjadi
agenda tahunan banyak negara? Salah satu faktor adalah pendekatan inklusif BDF
yang cukup unik: bahwa Indonesia tidak membatasi keikutsertaan dalam forum
pada negara-negara yang benar-benar telah legitimate sebagai demokrasi,
tetapi juga negara-negara yang pada dasarnya merupakan negara otoritarianisme
militer atau sipil, totalitarianisme, monarki absolut, teokrasi, atau sistem
satu partai tunggal. Dengan pendekatan inklusif, yang agaknya khas Indonesia,
para peserta tidak dieksklusi dan merasa nyaman mengikuti percakapan tentang
demokrasi dan tukar-menukar pengalaman mengenai praktik terbaik dalam
demokrasi.
Pendekatan inklusif BDF baik langsung
maupun tidak mengisyaratkan pengakuan Indonesia: sesungguhnya tidak ada satu
model tunggal dan bentuk ideal demokrasi. Memang setiap negara demokrasi
niscaya harus mengadopsi prinsip pokok demokrasi, tetapi setiap negara
demokrasi juga memiliki kekhasannya yang tidak bisa begitu saja dapat
diberlakukan—apalagi dipaksakan—kepada negara-negara lain.
Karena itu,
demokrasi mestinya muncul dari dalam (from within), bukan dipaksakan dari
luar (from without).
Lebih jauh, percakapan dalam BDF tidak
terbatas pada demokrasi per se. Ini dapat terlihat dari pokok pembicaraan:
”Membangun dan Mengonsolidasikan Demokrasi: Agenda Strategis Asia” (BDF I);
”Mempromosikan Sinergi antara Demokrasi dan Pembangunan di Asia: Prospek
Kerja Sama Regional” (BDF II); ”Demokrasi dan Promosi Perdamaian dan
Stabilitas” (BDF III); ”Memperkuat Partisipasi di Dunia yang Tengah Berubah”
(BDF IV); dan ”Memajukan Prinsip-prinsip Demokrasi pada Setting
Internasional” (BDF V).
Memperkuat ”leverage” RI
Pembicaraan tentang demokrasi dalam
kaitannya dengan berbagai tema tadi kelihatan menjanjikan. Namun, juga jelas,
percakapan dalam BDF tidak instan dapat membuat demokrasi bisa terkonsolidasi
di sejumlah negara Asia Pasifik. Bahkan, hingga kini transisi banyak
negara—seperti di dunia Arab—berlangsung alot, pedih, dan lama sehingga masa
depan demokrasi pun belum menentu.
Di tengah perkembangan belum menggembirakan
itu, Indonesia sepatutnya trus memberikan inspirasi bagi penguatan demokrasi.
Indonesia juga dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara
yang sedang transisi menuju demokrasi melalui berbagai program semacam
pertukaran pengalaman (bukan menggurui), bantuan teknis kelembagaan dan
lain-lain yang dilaksanakan Indonesia dalam membangun demokrasi.
Namun, agar Indonesia dapat lebih efektif
memainkan peran seperti itu, yang diperlukan bukan hanya diplomasi luar
negeri lebih aktif, melainkan juga pembenahan demokrasi Indonesia sendiri.
Hanya dengan demokrasi yang bernas, Indonesia dapat memiliki leverage lebih
kuat lagi dalam membantu transisi lebih lancar di kawasan Asia Tenggara
semacam Myanmar dan juga di dunia Arab.
Karena itu, penguatan dan konsolidasi
demokrasi Indonesia sangat mendesak dilakukan. Konsolidasi itu mesti
diarahkan tak hanya pada pembenahan lembaga politik semacam parpol, parlemen
yang kredibel dan akuntabel, pemerintahan yang menegakkan good governance,
tetapi juga pada upaya keras dan sungguh-sungguh agar demokrasi dapat
mewujudkan janji-janjinya untuk kesejahteraan warga melalui pembangunan.
Jika demokrasi Indonesia gagal atau
terseok-seok memperbaiki kehidupan bangsa pada berbagai seginya, bisa dipastikan
kian banyak warga dan kelompok kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Jika
ini terjadi, Indonesia dapat terjerumus ke dalam kesulitan demi kesulitan.
Demokrasi memang memiliki batas dan
kelemahan tertentu, termasuk di Indonesia. Namun, bagi negara-bangsa Indonesia,
demokrasi tetap menjadi pilihan sis- tem politik lebih baik dibandingkan
dengan sistem politik lain semacam teokrasi (dawlah Islamiyah atau khilafah
Islamiyah), atau diktatorisme, atau otoritarianisme apakah sipil maupun
militer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar