Hijrah Akbar
dari Korupsi
Abd. Rasyid As’ad ; Hakim Pengadilan Agama Mojokerto,
Pengajar
STAI Zainul Hasan
|
JAWA
POS, 15 November 2012
HARI ini umat Islam memperingati 1 Muharam 1434 Hijriyah sebagai awal
tahun baru Islam. Dalam peringatan tahun baru Islam kali ini, suasana bangsa
kita sedang gitat-giatnya memberantas korupsi yang dimotori oleh KPK. Karena
itu, sangat relevan kita memaknai hijrah dengan berpaling dari perilaku
koruptif.
Hijrah bermakna berpaling dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang baik, dari kondisi yang baik menuju kondisi yang lebih baik. Bukan lagi hijrah dalam pengertian fisik, yaitu berpindah dari daerah "bahaya" ke daerah yang "aman". Kini lebih relevan hijrah batin, yakni meninggalkan segala perilaku yang buruk ("bahaya") menuju perilaku yang baik ("aman"). Karena banyak melakukan penyimpangan atas amanah rakyat, sebagian pejabat dan elite politik wajib berhijrah menuju amanah. Perilaku korup jelas menghambat kehadiran kesejahteraan publik. Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar. Korupsi ini bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga "orang-orang terhormat" di lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Bahkan, di antara pelaku korupsi itu, ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini fakta paradoksal sekaligus ironi. Negara patrimonial menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik, sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan para klien dengan posisi yang tidak setara. Mereka harus bersedia mengabdi dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya ekonomi-politik itu. Praktik seperti inilah yang selama ini berlangsung di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Di sini terbangun segi-tiga-ketergantungan (juga "saling sandera") antara oknum anggota DPR, birokrasi, dan pengusaha. Anggota DPR selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha, yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau aneka kontrak, pengusaha kerap harus bersedia memberikan all in serviceskepada anggota DPR dan birokrat. Demikian halnya birokrat, harus melakukan hal yang sama, memberikan pelayanan "prima" kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kasus Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faisal, Nazaruddin, Anggelina Sondakh, dan banyak lagi yang lain harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa patronase ini. Korupsi di negeri ini sudah sampai pada tarap apa yang disebut oleh Robert Klitgaard (2001) sebagai "budaya korupsi". Bukan semua orang Indonesia melakukan korupsi, tetapi kita melihat keengganan masyarakat melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, politisi, dan oknum aparat hukum yang melakukan praktik korupsi. Artinya, di dalam masyarakat kita terjadi sikap yang permisif (tidak mau peduli terhadap urusan lain), termasuk dalam masalah korupsi. Andaipun melihat atau mengetahui praktik korupsi secara kasat mata, seseorang tidak berdaya mengatasinya. Namun, sikap warga masyarakat yang demikian tidak boleh begitu saja disalahkan. Sikap "diam" menunjukkan betapa warga masyarakat tidak berdaya melakukan "perlawanan" terhadap kelicikan para koruptor. Mereka berlindung di balik baju kekuasaan dan kadang melakukan serangan balasan yang keji. Kurang kuatnya kemauan politik (political will) pemerintah dan DPR selama ini untuk memberantas korupsi, seperti membuat regulasi berupa undang-undang tentang pembuktian terbaik untuk kasus korpsi, tidak hanya mengingkari tuntutan reformasi, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahkan, justru DPR menjadi sarang koruptor. Banyak anggota dewan yang terlibat tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK. Bahkan, ada anggota DPR yang kedengaran lantang menyuarakan pemberatasan korupsi, malah sekarang justru menjadi tahanan KPK karena diduga terlibat kasus korupsi (Waode Nurhayati). Waode bagai maling teriak maling. Memprihatinkan, karena DPR yang salah satu fungsinya mengawasi eksekutif dalam melaksanakan tugas pemerintahan, justru anggota DPR yang melakukan praktik korupsi. Persoalan korupsi sesungguhnya masalah moral sekaligus mental. Dalam batasan tertentu, korupsi telah menjadi salah satu "keahlian" tersendiri bagi sebagian pejabat dan elite politik di negeri ini. Meskipun mereka mudah bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, publik dapat menilai bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam birokrasi. Tanpa mengurangi mereka yang beranggapan bahwa sistem yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya korupsi, faktanya, sistem tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak diikuti dengan kesungguhan moral dan kekuatan mental para pemimpin dan para elite lain untuk menjadikan keadilan dan kesejahteraan sebagai pintu masuk bagi kemajuan dan perubahan sosial. Momentum hijrah sejatinya dapat mendorong setiap pejabat publik untuk menjadikannya sebagai cermin, terutama dalam rangka mengedepankan kesederhanaan dan kesungguhan untuk memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya. Kesederhanaan seorang pemimpin seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW akan menimbulkan kepercayaan (trust) dari publik. Manusia mulia ini sama miskin dan sederhananya sebelum jadi rasul hingga saat beliau wafat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap elite politik disebabkan mereka yang menjadi pejabat pada umumnya hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka tidak malu jika dikalkulasi dengan gaji yang mereka terima setiap bulan tidak mungkin akan bisa hidup semewah itu. Apabila sistem pembuktian terbalik yang digunakan sebagai cara pemberantasan korupsi, sebagian besar pejabat publik dan politisi di negeri ini akan terjerat kasus korupsi. Keberhasilan KPK mengungkap secara tuntas kasus korupsi yang sangat merugikan negara akan menjadi kado yang amat indah bahwa bangsa ini benar-benar sedang hijrah akbar dari perilaku koruptif. Selamat Tahun Baru 1434 Hijriyah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar