Jumat, 16 November 2012

Di Balik Pemberian Gelar Pahlawan Nasional


Di Balik Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Yanwar Pribadi ;  Dosen Jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dan kandidat doktor Universitas Leiden
MEDIA INDONESIA, 09 November 2012



MUNGKIN banyak pembaca Media Indonesia (7/11) tercengang ketika membaca berita tentang pemberian gelar pahlawan kepada Proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Beberapa pertanyaan muncul dari hal tersebut. Mengapa penganugerahan gelar bagi kedua founding fathers ini baru terjadi setelah lebih dari enam puluh tujuh tahun proklamasi kemerdekaan RI? Apakah ini merupakan pertanda bahwa gerakan de-soekarno-isasi mulai meredup? Bagaimana dampak penganugerahan gelar ini bagi kepentingan nasional?

Pada masa Orde Lama, pemerintahan Soekarno terlihat lebih tertarik dalam membangun dan menunjukkan kemandirian Indonesia—sebagai negara yang belum lama merdeka— kepada dunia luar, selain disibukkan gerakan separatis dan pemberontakan atas nama Islam. Selain itu, menurut Kees van Dijk, Indonesianis senior dari Universitas Leiden, politik dalam negeri pada masa demokrasi terpimpin diwarnai ketegangan antara TNI Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketegangan sosial di dalam negeri memuncak di bawah pengaruh propaganda PKI yang memprovokasi demonstrasi massa dan kampanye-kampanye politik yang sebagian ditujukan terhadap TNI-AD, dan sebagian ditujukan kepada kaum muslim.

Kebijakan politik luar negeri terlihat berkaca kepada kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dalam negeri, yakni kebijakan-kebijakan pemerintah sulit diprediksi dan bersifat radikal. Salah satu indikasinya adalah ketika Indonesia terlihat mencari-cari konfrontasi dengan Barat, yakni pemerintah memutuskan untuk menjalin hubungan yang erat dengan RRC.

Hal-hal tersebut di atas yang membuat sibuk pemerintahan Soekarno-Hatta dalam menganugerahkan gelar kepahlawanan kepada para pahlawan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme, selain tentunya ketidaklaziman pemberian gelar kepahlawanan kepada diri sendiri, membuat para proklamator tersebut tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Sementara itu, salah satu ciri utama yang melegitimasi pemerintahan Soeharto dengan Orde Baru-nya adalah penghancuran aliran ultraradikal yang mengusung ide-ide revolusioner yang diasosiasikan dengan Soekarno dan PKI. Di bawah Orde Baru, dominasi politik negara menjadi sangat luar biasa. Soeharto dan para pendukungnya, terutama angkatan bersenjata, membatasi partisipasi politik dan menggalang kekuatan mereka.

Orde Baru kemudian menjadi rezim berbasis militer dengan orientasi pembangunan yang ditandai kontrol negara terhadap politik. Untuk membatasi ruang gerak pendukungpendukung Soekarno dan Orde Lama, gerakan de-soekarnoisasi menjadi sangat lazim pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, walaupun pemerintahan orde baru mampu bertahan hingga tiga puluh dua tahun, tidak pernah ada upaya pemerintah pada waktu itu untuk menganugerahi gelar pahlawan nasional bagi kedua proklamator tersebut.

Ketika tiga pemerintahan di era reformasi—atau periode pasca-Orde Baru yang terdengar lebih netral—menggantikan pemerintahan Soeharto, tidak ada satu pun dari pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, atau Megawati Soekarnoputri yang menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Tampaknya ada keengganan politik yang kuat yang membuat pemerintahan-pemerintahan sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak menganugerahi gelar ini kepada proklamator RI.

Meredupnya Gerakan

Mungkin sebagian pihak menduga bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta menandai mulai meredupnya gerakan de-Soekarno-isasi yang begitu kuat ditiupkan oleh pemerintah orde baru. Namun, apakah keadaannya seperti itu? Jawabannya tidaklah sederhana. Di satu sisi, dengan adanya kecenderungan bangsa Indonesia yang gemar melupakan masa lalu, gerakan de-Soekarno-isasi mungkin mulai meredup karena pendukung utama gerakan tersebut, Soeharto, sudah tidak ada.

Selain itu, pendukung-pendukung presiden kedua RI tersebut yang masih berkecimpung di dunia politik nampaknya tidak terlalu tertarik untuk mempertahankan ide-ide menegasikan Soekarno dan pandangan-pandangan politiknya. Di sisi lain, tampaknya Soekarno yang sering diasosiasikan dengan PKI lewat ajaran Nasakom-nya (Nasionalis, Agama, Komunis) membuat sejumlah kalangan Muslim dan organisasi-organisasi Islam tertentu tidak bisa melupakan kedekatan Soekarno dengan PKI dan ajaran komunisme.

Oleh karena itu, bagi mereka, Soekarno masih dirasa sebagai tokoh yang sering merugikan ormas-ormas Islam dan kaum Muslim pada umumnya lewat kebijakan-kebijakan politiknya yang dianggap kekiri-kirian dan dekat dengan ajaran komunisme. Akibatnya, dalam sudut pandang ini, selama Soekarno masih dianggap dekat dengan ajaran komunisme, gerakan de-Soekarno-isasi nampaknya belum mulai meredup.

Dampak penganugerahan gelar ini bagi kepentingan nasional bukan tidak ada. Dalam kondisi bangsa yang cenderung bergerak ke arah disintegrasi nasional, terkikisnya nilai-nilai budaya kebersamaan yang dibangun di atas landasan saling menghargai dan saling memercayai, tampaknya menjadi semakin terlihat jelas. Dalam kondisi tersebut, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta dirasakan seperti sebuah oase di padang pasir. Terlepas dari sepak terjang politik kedua Bapak Bangsa tersebut di masa orde lama, terutama Soekarno yang sering diasosiasikan dengan ajaran komunisme, keduanya adalah founding fathers yang bersama tokoh-tokoh lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Keduanya berani berjuang melawan penjajahan demi mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Selain itu, keduanya pun adalah tokoh-tokoh kemanusiaan yang berjuang untuk kepentingan bersama.

Orientasi kebangsaan mereka begitu besar sehingga walaupun terlihat hampir tidak masuk akal, mereka mampu menyatukan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, dan terutama kepentingan banyak pihak yang ada di awal masa kemerdekaan.

Oleh karena itu, dengan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada keduanya, kita berharap bahwa pertama, distorsi tentang peran keduanya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan dan peran keduanya sebagai presiden dan wakil presiden pertama RI menjadi berkurang sehingga pemahaman yang lebih lengkap tentang perjuangan keduanya dapat kita peroleh.

Kedua, kita juga berharap bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya semakin menghargai pahlawan-pahlawan bangsa karena itu adalah salah satu pertanda kebesaran bangsa. Bangsa ini masih butuh pahlawan, dan dengan menghargai pahlawan-pahlawannya di masa lalu, bangsa ini akan menjadi bangsa besar yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar