Membingungkan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2012
ADA buku memikat berjudul Ratu Adil, sebuah
memoar seorang skizofren. Buku yang dibagikan ketika acara Kick Andy membahas
topik skizofrenia, dengan menghadirkan sejumlah mantan penderita gangguan
jiwa itu, isinya relevan untuk kolom ini karena bisa dianalogikan dengan
situasi sekarang. Seperti yang dialami seorang skizofren, masyarakat
hampir-hampir tidak tahu lagi yang disebut kebenaran. Situasinya
membingungkan.
Skizofren dalam halusinasinya juga mulai curiga pada kenyataan
yang benar. Bukankah itu beranalog dengan yang kita rasakan saat ini? Mengapa situasinya terkesan demikian? Ada
kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang membuat kita bingung. Kita
bertanya-tanya bagaimana kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya yang terakhir
kasus Dahlan Iskan versus DPR mengenai kemungkinan beberapa pemerasan
terhadap BUMN. Ungkapan berhari-hari yang menghebohkan dunia politik tentang
masalah itu tiba-tiba pada saat-saat terakhir menguap, seakan-akan tidak
pernah terjadi. Dari janji akan menyebut 10 pemeras, pada hari H-nya hanya
dua yang disebut, itu pun tidak jelas. Masyarakat yang terus-menerus
mengikuti proses menuju pengungkapan pada akhirnya termangumangu, merasa
kecolongan atau dibohongi. Seorang penonton Bedah Editorial MI di Metro TV
minggu ini mengindikasikan akhirnya Dahlan Iskan-lah yang nantinya dianggap
mengada-ada.
Hilang Nalar dan Kejujuran
Setelah mengikuti ramainya pemberitaan hari
demi hari tentang menyalahgunaan wewenang (termasuk yang disebut Dahlan
Iskan) dan betapa mudahnya menyelamatkan yang dianggap bersalah dari jeratan
hukum pidana, tentu tidak berlebihan bila kita merasa dipecundangi. Semua
yang diajarkan lewat pendidikan formal maupun nonformal baik oleh orangtua
maupun masyarakat seperti tidak berarti. Tidak ada nalar dan tidak ada yang
jujur. Persoalannya gampang dilupakan, lalu menguap ringan.
Lembaga-lembaga politik dalam suatu
masyarakat, termasuk organisasi-organisasinya yang secara kolektif kita sebut
pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjalankan fungsi-fungsi
penting untuk masyarakat umum. Pemerintahlah yang menetapkan fokus atau sasaran
bagi tuntutan-tuntutan masyarakatnya, termasuk tuntutan ekonomi. Orde politik
itu sendiri mencerminkan kultur masyarakat secara umum.
Kemampuan kita melihat isu-isu politik secara
dini, dan menanggapinya secara efektif, bergantung pada kedewasaan kita dalam
sikap dan perilaku politik. Yang menentukan ialah konsep-konsep, baik yang
kita miliki selama ini maupun yang kita dambakan atau kita citacitakan untuk
masa depan; apakah bersifat konservatif, liberal, atau radikal.
Dalam perspektif yang bersifat konservatif
(yang di kita gayanya feodalistis dan paternalistis), pemerintahan menjadi
sarana memelihara tertib sosial untuk mengintegrasikan berbagai sistem sosial
agar utuh dan serasi. Pelaku-pelaku penting terdiri dari kalangan elite yang
memiliki kekuasaan paling besar dan sumber-sumber lain untuk memegang tampuk
pimpinan; termasuk di antaranya kebijaksanaan, pengalaman dan integritas
moral. Sangat ironis bila justru di kalangan mereka terdapat unsurunsur yang
kongkalikong merongrong kepentingan bersama; sedangkan masyarakat sungguh
percaya akan niat luhur mereka dan menerima serta menghormati mereka
sepenuhnya.
Semua Menjadi
Komoditas
Tiba-tiba semua menjadi komoditas. Jabatan dan
wewenang menjadi komoditas. Ikut dengar menjadi komoditas. Kita curiga,
mungkin perkembangan ini akibat limpahan semangat dagang, dimungkinkan
orientasi bisnis dan pasar. Semua berakar dari proses transisi ke modernisasi
yang berorientasi pada rasionalisme, individualisme, dan materialisme.
Faktanya dunia telah ditaklukkan materialisme.
Setengah sadar, negarawan-negarawan dan masyarakat-masyarakat demokratis
menyaksikan materialisme telah menyusup ke mana-mana. Telah menyusupi bidang
pendidikan, industri, pemerintahan; dan telah memengaruhi kehidupan keluarga,
kerabat, dan pribadi.
Materialisme secara terorganisasi bergerak
maju secara kolosal untuk menancapkan kekuasaan, sekaligus mengganggu
keserasian sosial. Ini menjadi dilema kita. Namun, tidak ada jalan pintas
karena untuk mengatasinya kita harus mengubah sikap dan sifat manusia.
Berbagai pakta, konferensi, dan rencana tidak akan mampu menggarap inti
persoalan selama kita tidak mampu mengubah sikap manusia.
“Di bumi terdapat cukup pangan untuk memenuhi
kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan semua
orang.“ Kata-kata itu pernah diucapkan Frank Buchman (1979-1961), pelopor
grup yang mendapat dukungan Universitas Oxford, yang kemudian dikenal dengan
nama Moral Rearmament. Disebut demikian karena Buchman berkeyakinan bahwa
problem umat manusia akan bisa teratasi bila masyarakatnya menjalani
kebangkitan moral dan spiritual. Buchman seorang idealis.
Ada kaitan antara idealisme,
kemerdekaan, demokrasi, dan ideologi. Ideologi bisa memberi penyelesaian masa
kini untuk problem-problem yang ditemui sejak masa lampau sampai masa depan.
Kemerdekaan tanpa ideologi akan mudah diabaikan. Sebaliknya kemerdekaan
dengan ideologi--untuk bangsa ini ideologi Pancasila yang dirumuskan founding
fathers--akan mampu membebaskan kita dari masalah-masalah di hadapan kita sehingga
masa depan bisa diharapkan datang dengan membawa ketenteraman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar