Terorisme
dalam Perspektif Sejarah Global
Heri Priyatmoko ; Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2012
BERITA teranyar dari Poso ialah penyergapan
terduga teroris oleh polisi yang diwarnai dengan aksi saling serang. Terduga
teroris memakai bom rakitan dari pipa dan melemparkannya kepada petugas
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri yang berupaya menangkap
mereka. “Posisi kami kill or to be killed,“ kata juru bicara Kepolisian
Daerah Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Soemarno.
Polisi sebelumnya menangkap tiga orang yang
diduga jaringan teroris di berbagai wilayah, seperti Poso, Surakarta, NTT,
Medan, Sumsel, dan Kalimantan (Koran Tempo, 4/11). Belum lama ini aparat
kepolisian juga membongkar jaringan teroris dari kelompok Harakah Sunni untuk
Masyarakat Indonesia (Hasmi). Amir kelompok tersebut ialah Abu Hanifa alias
Mustofa yang dibekuk di Surakarta.
Dari hari ke hari kita terus saja disuguhi
aksi penangkapan teroris yang seakan tak pernah ada ujungnya. Aksi terorisme
memang harus diperangi karena mengganggu keamanan negara dan masyarakat. Bila
kita sudi me ninjaunya dari aspek sejarah, terorisme itu sendiri punya akar
yang panjang. Nah, tulisan ini hendak menyoroti terorisme dari aspek sejarah
global.
Terorisme pada hakikatnya merupakan bentuk
aksi kekerasan (violence) yang dikerjakan secara kolektif oleh sekelompok
orang yang menyimpan motif dan tujuan tertentu, baik dilatari suatu ideologi
gerakan sosial, politik, maupun kultural. Meski demikian, tidak semua bentuk
aksi kekerasan dapat digeneralisasi sebagai terorisme.
Menurut sejarawan sepuh
UGM Djoko Suryo (2010), terorisme tidak serupa dengan gejala yang berlaku
dalam aksi perang sipil, perbanditan, atau perang gerilya. Istilah `gurila/
gerilya' (guerrilla) diartikan dengan konotasi positif. Sebaliknya, istilah
terorisme selalu diartikan dalam makna negatif. Terminologi gerilya dipakai T
untuk menerangkan sebuah gerakan perlawanan yang memakai strategi perang
secara sembunyi-sembunyi guna membebaskan suatu wilayah atau mendirikan
lembaga tandingan, yang terkadang ditempuh lewat pengerahan kekuatan militer
reguler, yang mungkin digerakkan di hutan, gunung, atau kota.
Terorisme yang dikenang dalam memori kolektif
ratarata melibatkan lebih dari satu pembunuh dan dikerjakan berulang kali.
Hal itu bagian dari bentuk persekongkolan alias konspirasi.
Janji Muluk
Dari masa ke masa, aksi terorisme tidak bisa
diterima akal sehat. Sebab, terdapat kecenderungan yang lebih mendasarkan
fanatisme dan `kegendengan' (madman)
dalam cara berpikir ketimbang sebuah alasan rasional pemberontakan melawan
tirani yang nyata. Dalam lembaran sejarah global, sejarah teror dan terorisme
kerap dikaitkan dengan histori di kawasan Suriah dan Libanon abad XV.
Detik itu, ada satu pemimpin yang dikenal
sebagai si Tua dari Gunung (Old Man of
the Mountain) yang menakhodai sebuah sekte atau aliran. Kelompok itu
terdiri dari para pemuda dengan kepercayaan agama yang fanatik. Candu adalah
barang ampuh yang dipakai si Tua untuk merayu para pemuda agar bersedia
bergabung dalam sekte. Orang-orang berumur muda tersebut tak segan mengakhiri
hidup musuh atau tokoh yang sudah masuk target dan dirinya juga rela bunuh
diri. Seperti pengakuan para pengebom di Indonesia yang telah dicuci otaknya
beberapa waktu lalu, para pemuda yang tewas dalam aksi jihad itu ternyata
juga dijanjikan masuk surga.
Menurut pakar sejarah Timur Tengah, Bernard
Lewis, sasaran si Tua yang bernama asli Shaykh-al-Jabal tersebut adalah tokoh
penting, contohnya raja-raja Eropa.
Dalam konteks tersebut, sejarawan Onghokham
(2003) menganalisis para pembesar Eropa itu masuk target orang yang harus
dienyahkan bukan disebabkan mereka musuh si Tua, melainkan lantaran bayaran
yang diterima si Tua. Tidak mengherankan bila muncul opini bahwa `agama'
sebagai kedok belaka, justru yang dipuja adalah uang. Tempo itu, si Tua
berikut pengikutnya menjadi teror besar bagi kalangan elite Barat dan Timur,
dan menyebabkan hati warga dilanda ketidaktenangan. Tercatat pula aneka cara
pembunuhan, yaitu menjerat leher korban dengan tali sutra, menikam tubuh
dengan pisau, dan menembak dengan pistol.
Baru kemudian pada abad XIX terorisme telah
menjadi bahan diskusi di dunia Eropa. Bukan karena penggunaan kekerasan
sebagai pernyataan politik bagi kaum kiri, melainkan lantaran adanya alasan
untuk mendirikan negara atau kekuasaan politik. Namun, kebanyakan pemimpin
kaum kiri menolak berbagai alasan filosofis dan praktis. Sekeping fakta yang
penting dicatat ialah munculnya tokoh Karl Heinsezen dan Johann Most, tokoh
kaum radikal Jerman yang juga penyusun filsafat mengenai pemakaian senjata
pemusnah massal dan penerbit ajaran atau doktrin sistematis tentang
terorisme.
Keduanya percaya bahwa pembunuhan merupakan
keharusan politik dan alat canggih untuk menghancurleburkan negara. Kelompok
itu boleh dibilang sebagai penganut anarkisme dan berpandangan bahwa negara
menjadi penghalang utama kebahagiaan umat manusia di dunia. Sekalipun tidak
berlandaskan atau berdalih menegakkan ajaran agama, tindakan mereka
memperoleh perlawanan karena telah melahirkan keresahan sosial dan mengganggu
keamanan dunia.
Keindonesiaan
Sementara itu, Indonesia tempo dulu jangan
dikira belum mengenal aksi teror pengeboman. Pada permulaan abad XX, penduduk
Hindia Belanda diguncang usaha pembunuhan yang dilakukan Haji Misbach bersama
komplotan dengan memakai bahan peledak. Dinas polisi rahasia (Algemeene
Recherchedienst) dibikin pusing dan pemerintah Belanda ketar-ketir. Sebab,
yang diincar adalah para tokoh besar.
Surakarta yang dijuluki `tempat jantung
Jawa berdetak' menjadi saksi tempat pelemparan bom molotov iring-iringan
gubernur jenderal dan bangsawan Keraton Kasunanan. Sungguh di luar nalar dan
tergolong tindakan nekat, Raja Paku Buwono X yang semestinya dihormati
sebagai junjungan tidak luput dari sasaran kaum pemberontak. Bukan bertujuan
ingin memurnikan ajaran agama, misi yang diusung Misbach dan kawan-kawan
dalam organisasi Sarekat Islam yaitu memerangi rasa ketidakadilan yang
menimpa wong cilik gara-gara tekanan eksploitasi pemerintah Belanda dan pajak
tinggi yang diterapkan pihak kerajaan. Akan tetapi, cara yang ditempuh Misbach
sulit dibenarkan lantaran turut membahayakan keselamatan masyarakat dan
menimbulkan ketegangan sosial.
Demikianlah fenomena teror dan terorisme dalam
lintasan sejarah global. Dari kilas balik sejarah itu, kita mafhum bahwa
terorisme selalu hadir di setiap zaman. Namun, hal itu bukan berarti kita
menyerah begitu saja. Sebisa mungkin aksi teror harus kita cegah bersama.
Paling tidak dengan bersikap waspada terhadap segala hal yang mencurigakan di
sekitar kita.
Tugas utama kita ialah
membangun budaya perdamaian dunia dengan dialog kebudayaan. Keragaman budaya,
keyakinan, dan ideologi seharusnya tidak menjadi bibit konflik, tetapi diolah
menjadi modal untuk bekerja sama yang saling menguntungkan dan demi upaya
menjaga perdamaian umat di dunia serta merajut solidaritas sosial. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar