Selasa, 06 November 2012

Humanisme Itu Terkoyak


Humanisme Itu Terkoyak
Laode Ida ;  Sosiolog; Wakil Ketua DPD
KOMPAS, 06 November 2012



Peristiwa menyeramkan kembali terjadi di Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan. Bentrokan massa dari dua desa yang bertetangga telah menghilangkan setidaknya 14 nyawa manusia. Amarah dan kebrutalan massa itu juga menyebabkan kerugian materi berupa pembakaran 166 rumah warga dan berbagai fasilitas lainnya.

Luapan emosi massa agaknya dipicu oleh pelecehan terhadap dua gadis remaja oleh pemuda desa tetangga. Pihak keluarga dan warga desa kedua gadis yang menjadi korban, barangkali, tidak lagi melihat perlunya mencari solusi arif berdasarkan nilai-nilai sosial atau bahkan tak menganggap lagi perlunya penyelesaian secara hukum terhadap pelaku pelecehan seksual itu.

Lebih parah lagi, aparat keamanan tak bisa mencegah dan atau mengendalikan arus massa yang mengamuk. Secara telanjang kita semua melihat ketidakberdayaan instrumen negara yang memperoleh mandat khusus untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan fisik setiap warga negara. Bukankah hal ini sungguh memalukan?

Ekspresi Kolektif Lokal

Peristiwa di Lampung Selatan itu tidak dapat dianggap sepele karena merupakan ekspresi kolektif lokal yang sangat jauh mengabaikan nilai-nilai sosial kemanusiaan sesungguhnya. Hanya karena sekat administrasi pemerintahan desa, hubungan-hubungan sosial dan budaya kebersamaan seolah-olah sudah terputus menyertainya.

Yang dominan-menonjol adalah ”perasaan harga diri” karena merasa telah dilecehkan sehingga harus membalas dengan kekerasan fisik. Harga diri, yang ternyata dinilai lebih tinggi dari nyawa manusia yang menjadi korban atas balas dendam itu.

Mereka pun jauh dari kesadaran kalau para pelaku pelecehan itu adalah kelompok anak muda yang barangkali hanya merupakan perilaku iseng, bagian dari kenakalan remaja belaka. Orang lupa kalau ini bisa jadi produk dari rumah tangga dan lingkungan yang kurang memperhatikan pembinaan moral generasi.

Tragedi memprihatinkan di Lampung Selatan, boleh jadi merupakan gambaran kecenderungan bahwa perilaku kekerasan dan penghilangan nyawa manusia dianggap sebagai hal biasa untuk memperoleh ”rasa puas” atas perilaku tak senonoh dan atau jahat dari pihak lain. Peristiwa ini sebenarnya sudah jamak terjadi di sejumlah daerah lain dengan faktor pemicunya yang bisa memiliki persamaan ataupun berbeda satu sama lain.

Catat, misalnya, pada hari yang hampir bersamaan (30/12/ 2012), terjadi bentrokan antara kelompok masyarakat di Palu, Sulawesi Tengah, dengan saling lempar batu serta menggunakan senjata rakitan dan panah. Hanya saja, bedanya, aparat keamanan di Palu mampu mengendalikan keadaan sehingga bisa menghentikan konflik. Padahal, pada kasus-kasus sebelumnya konflik horizontal pun tak jarang menimbulkan korban jiwa manusia dan materi.

Faktor Pemicu

Mengapa aksi kekerasan fisik dan pengabaian terhadap hukum menjadi tren tersendiri di negeri ini? Saya mencermati beberapa faktor penyebab sehingga kecenderungan itu terjadi.

Pertama, lemah atau tiadanya (aksi) gerakan sosial membangun peradaban humanis. Di tengah kebebasan individu sebagai perwujudan dari nilai-nilai demokrasi di era reformasi, pemerintahan negeri ini (baik di level nasional maupun daerah) luput mengantisipasi dampaknya berupa terkikisnya nilai-nilai budaya kebersamaan yang dibangun di atas kesadaran saling menghargai dan saling percaya.

Agenda pemerintah, yang bisa secara signifikan mengubah orientasi warga bangsa ini, adalah pada program pembangunan yang mengejar pertumbuhan fisik. Atau sentuhan terhadap masyarakat lebih mengedepankan pada program peningkatan kesejahteraan fisik sehingga merangsang persaingan di antara sesama warga untuk mengejar perolehan materi.

Para penyelenggara negara, baik di kelompok pengambil kebijakan maupun implementatornya, lebih mengurus proyek-proyek fisik yang secara langsung wujudnya tampak jelas di mana mereka pun bisa menikmati keuntungan materi untuk pribadi dan kelompok, termasuk dengan cara-cara mengorupsinya.

Apalagi di tingkat daerah otonom, di mana para kepala daerah berkejaran dengan target waktu masa jabatan seraya berupaya mengembalikan modal besar yang habis dalam proses pemilihan. Karena itu, masyarakat sebagai kumpulan makhluk sosial sungguh terabaikan karena mengurus masyarakat bukanlah ”proyek basah” yang menguntungkan bagi para pejabat.

Kedua, jebakan persaingan berbasis kelompok dan ruang. Masyarakat lokal tampaknya juga sudah semakin menunjukkan identitasnya, baik berdasarkan kelompok fungsionalnya maupun ruang tempat domisili, yang sekaligus sebagai pembeda dengan semangat bersaing satu sama lain. Ketika salah satu anggota kelompok dan atau identitasnya terganggu, spontan melakukan perlawanan, menyerang, dan bahkan merasa perlu untuk menghabisi pihak yang dianggap mengganggu itu.

Jadi Alat Politik

Kecenderungan seperti itu diperparah dengan bukan saja pemerintah lokal luput dalam mempererat tali modal sosial lintas komunitas, melainkan justru kerap dijadikan basis pertempuran politik antarfigur politisi yang memperebutkan suara dalam rangka merebut jabatan politik. Apalagi jika permukiman masyarakat tersegregasi berdasarkan suku atau kelompok budaya tertentu, tidak berbaur. Mereka dengan sangat mudah akan tersulut oleh provokasi emosional tertentu. Kecenderungan seperti itulah, saya kira, juga terjadi di desa-desa yang bertetangga di Lampung Selatan itu.

Ketiga, diakui atau tidak, tindakan kekerasan atau bentrokan fisik oleh kelompok-kelompok masyarakat juga akibat krisisnya kepercayaan terhadap kepastian hukum di negeri ini. Penanganan oleh aparat penegak hukum begitu lambat atau dirasa masih jauh dari nilai keadilan yang diharap masyarakat. Apalagi jika suatu kasus dialami oleh masyarakat kecil, justru mereka hanya jadi korban berkepanjangan karena cepat dan lambatnya suatu masalah diselesaikan aparat penegak hukum, ternyata banyak ditentukan oleh faktor materi.

Di sinilah masyarakat bawah, apalagi yang bermukim di pedesaan, merasa pesimistis dengan proses-proses hukum kita sehingga sebagian di antara mereka, termasuk kasus di Lampung Selatan itu, memilih menggunakan hukum rimba.
Hukum dan keadilan dianggap bukan lagi untuk mereka, melainkan untuk para pejabat dan atau pemilik uang yang bisa mengarahkan atau menambah pendapatan resmi oknum aparat yang terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar