SBY dan
Disharmoni
|
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR
Fraksi Partai Golkar
|
SUARA
MERDEKA, 15 Agustus 2012
HANYA Presiden yang berwenang menautkan disharmoni antara Polri
dan KPK saat ini. Maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak boleh melakukan
pembiaran. Masalahnya, hanya dia yang bisa membuktikan kepemimpinan di negara
ini tidak vakum. Caranya, jangan biarkan persoalan ini berlarut-larut.
Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY harus mengambil posisi jelas dan sikap tegas dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara Polri dan KPK terkait penanganan proses hukum kasus dugaan korupsi pada pengadaan simulator kemudi untuk ujian SIM di Korlantas Mabes Polri. Idealnya Presiden tidak mengambil posisi di area abu-abu .
Silang pendapat Polri dengan KPK kian meruncing dan yang muncul adalah kesan bahwa keadaan makin karut-marut. Sebagai presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan, sudah seharusnya SBY hadir di tengah suasana karut-marut itu, tampil menggunakan semua kewenangannya guna mengakhiri disharmoni itu.
Bagi masyarakat, persoalan yang membelit Polri dan KPK saat ini adalah urusan institusi apa dan mengerjakan apa. Pembagian tugas sudah ditetapkan oleh undang-undang. Tak dimungkiri bahwa untuk hal atau kasus spesifik, bisa timbul benturan kewenangan, misalnya karena misinterpretasi. Masalah atau benturan itu wajar-wajar saja asalkan segera diselesaikan di ruang tertutup oleh institusi yang berkepentingan.
Jika masalah atau benturan kewenangan itu diledakkan di ruang publik, persoalannya menjadi tidak sederhana. Masalahnya otomatis tereskalasi, dan melebar menjadi ”persoalan menjaga wibawa dan martabat institusi”.
Perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas cenderung menggiring Polri dan KPK lebih pada menjaga wibawa institusi. Bagaimana kasus dugaan korupsinya bisa ditangani jika baik Polri maupun KPK masih terperangkap dalam sengketa kewenangan?
Konsultasi-Rekomendasi
Presiden sejatinya bisa mengakhiri disharmoni antara Polri dan KPK. Selain karena akumulasi kewenangannya, dia dikelilingi sejumlah pembantu ahli, termasuk ahli hukum pidana dan hukum tata negara. Dia bisa meminta pertimbangan atau rekomendasi dari mereka.
Kalaupun masih diselimuti keraguan, SBY bisa berkonsultasi atau meminta saran dari MA atau MK. Rekomendasi para ahli di kantor presiden ataupun pertimbangan dari MK dan MA pasti sangat membantunya untuk membuat ketetapan yang akurat untuk kasus ini.
Atau, bisa saja Presiden mengundang Kapolri dan Ketua KPK untuk bermufakat memenuhi perundang-undangan. Bukankah pengangkatan Kapolri dan Ketua KPK juga melibatkan wewenang Presiden? Dengan demikian, apa pun alasannya, keengganan SBY menengahi sengketa kewenangan KPK dan Polri sulit diterima khalayak. Menengahi sengketa kewenangan antarinstitusi negara sama sekali tak berkonotasi intervensi proses hukum.
Dalam menyikapi sejumlah kasus hukum, Presiden diketahui sering mendapat masukan dari orang-orang kepercayaannya. Karena itu, banyak kalangan justru bertanya: siapa yang memberi masukan atau saran sehingga kantor presiden membuat pernyataan bahwa SBY tidak ingin ikut campur dalam sengketa kewenangan Polri versus KPK karena bisa dituduh mengintervensi proses hukum?
Tentu saja yang muncul dalam ingatan banyak orang adalah Denny Indrayana, sosok kepercayaan SBY yang kini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM. Belum jelas apakah Denny telah memberikan rekomendasi atau sama sekali tidak memberi pertimbangan. Kemungkinan lainnya adalah Presiden sudah tak percaya kepada sejumlah ahli yang pernah membantunya.
Pasalnya, minimal dua kali kantor presiden melakukan blunder karena rekomendasi atau pertimbangan hukum yang tidak akurat. Masih segar dalam ingatan banyak orang tentang proses Hendarman Supandji mundur dari jabatan jaksa agung, dan keputusan PTUN DKI membatalkan Keppres Nomor 48/P Tahun 2012 per 2 Mei 2012, yang mengesahkan pengangkatan H Junaidi Hamsyah –sebelumnya Wagub/ Plt Gubernur Bengkulu– menjadi gubernur definitif menggantikan Agusrin yang menjadi terpidana kasus korupsi.
Presiden tak perlu khawatir mengulangi kesalahan. Dalam konteks sengketa kewenangan antara Polri dan KPK, sebuah ketetapan harus dibuat, guna menghindari tumpang-tindih penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri. ●
Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY harus mengambil posisi jelas dan sikap tegas dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara Polri dan KPK terkait penanganan proses hukum kasus dugaan korupsi pada pengadaan simulator kemudi untuk ujian SIM di Korlantas Mabes Polri. Idealnya Presiden tidak mengambil posisi di area abu-abu .
Silang pendapat Polri dengan KPK kian meruncing dan yang muncul adalah kesan bahwa keadaan makin karut-marut. Sebagai presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan, sudah seharusnya SBY hadir di tengah suasana karut-marut itu, tampil menggunakan semua kewenangannya guna mengakhiri disharmoni itu.
Bagi masyarakat, persoalan yang membelit Polri dan KPK saat ini adalah urusan institusi apa dan mengerjakan apa. Pembagian tugas sudah ditetapkan oleh undang-undang. Tak dimungkiri bahwa untuk hal atau kasus spesifik, bisa timbul benturan kewenangan, misalnya karena misinterpretasi. Masalah atau benturan itu wajar-wajar saja asalkan segera diselesaikan di ruang tertutup oleh institusi yang berkepentingan.
Jika masalah atau benturan kewenangan itu diledakkan di ruang publik, persoalannya menjadi tidak sederhana. Masalahnya otomatis tereskalasi, dan melebar menjadi ”persoalan menjaga wibawa dan martabat institusi”.
Perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas cenderung menggiring Polri dan KPK lebih pada menjaga wibawa institusi. Bagaimana kasus dugaan korupsinya bisa ditangani jika baik Polri maupun KPK masih terperangkap dalam sengketa kewenangan?
Konsultasi-Rekomendasi
Presiden sejatinya bisa mengakhiri disharmoni antara Polri dan KPK. Selain karena akumulasi kewenangannya, dia dikelilingi sejumlah pembantu ahli, termasuk ahli hukum pidana dan hukum tata negara. Dia bisa meminta pertimbangan atau rekomendasi dari mereka.
Kalaupun masih diselimuti keraguan, SBY bisa berkonsultasi atau meminta saran dari MA atau MK. Rekomendasi para ahli di kantor presiden ataupun pertimbangan dari MK dan MA pasti sangat membantunya untuk membuat ketetapan yang akurat untuk kasus ini.
Atau, bisa saja Presiden mengundang Kapolri dan Ketua KPK untuk bermufakat memenuhi perundang-undangan. Bukankah pengangkatan Kapolri dan Ketua KPK juga melibatkan wewenang Presiden? Dengan demikian, apa pun alasannya, keengganan SBY menengahi sengketa kewenangan KPK dan Polri sulit diterima khalayak. Menengahi sengketa kewenangan antarinstitusi negara sama sekali tak berkonotasi intervensi proses hukum.
Dalam menyikapi sejumlah kasus hukum, Presiden diketahui sering mendapat masukan dari orang-orang kepercayaannya. Karena itu, banyak kalangan justru bertanya: siapa yang memberi masukan atau saran sehingga kantor presiden membuat pernyataan bahwa SBY tidak ingin ikut campur dalam sengketa kewenangan Polri versus KPK karena bisa dituduh mengintervensi proses hukum?
Tentu saja yang muncul dalam ingatan banyak orang adalah Denny Indrayana, sosok kepercayaan SBY yang kini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM. Belum jelas apakah Denny telah memberikan rekomendasi atau sama sekali tidak memberi pertimbangan. Kemungkinan lainnya adalah Presiden sudah tak percaya kepada sejumlah ahli yang pernah membantunya.
Pasalnya, minimal dua kali kantor presiden melakukan blunder karena rekomendasi atau pertimbangan hukum yang tidak akurat. Masih segar dalam ingatan banyak orang tentang proses Hendarman Supandji mundur dari jabatan jaksa agung, dan keputusan PTUN DKI membatalkan Keppres Nomor 48/P Tahun 2012 per 2 Mei 2012, yang mengesahkan pengangkatan H Junaidi Hamsyah –sebelumnya Wagub/ Plt Gubernur Bengkulu– menjadi gubernur definitif menggantikan Agusrin yang menjadi terpidana kasus korupsi.
Presiden tak perlu khawatir mengulangi kesalahan. Dalam konteks sengketa kewenangan antara Polri dan KPK, sebuah ketetapan harus dibuat, guna menghindari tumpang-tindih penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar