Ketahanan Pangan
dan Kemerdekaan
|
Agus Pakpahan ; Pengamat Ekonomi
Pangan
|
KORAN
TEMPO, 15 Agustus 2012
Kita akan merayakan hari ulang
tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke-67. Hari
ulang tahun NKRI tersebut juga jatuh beberapa hari saja sebelum tibanya hari
raya Idul Fitri 1 Syawal 1433H, hari yang menjadi simbol kemenangan umat Islam
kembali ke fitrahnya setelah menjalankan puasa Ramadan sebulan lamanya. Jadi,
kedua hari besar tersebut--ulang tahun kemerdekaan NKRI dan hari raya Idul
Fitri--adalah simbol kemenangan.
Kenyataan yang dihadapi dewasa
ini adalah sebagian besar rakyat Indonesia, setelah 67 tahun merdeka, masih
berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, yaitu pangan. Hampir
setiap rumah tangga Indonesia membelanjakan pengeluarannya 50 persen atau lebih
untuk membeli kebutuhan pangannya, lima kali lebih besar dari jumlah yang
dibelanjakan oleh rumah tangga di negara maju. Yang menambah rasa khawatir kita
semua juga adalah, fenomena ketergantungan pada pangan yang sedemikian besar
itu juga terjadi pada masyarakat pedesaan atau rumah tangga pertanian.
Dengan meningkatnya harga-harga
komoditas pangan selama dekade pertama abad ke-21 ini, khususnya yang terjadi
akhir-akhir ini, dengan tingkat peningkatan harga bisa lebih dari 50 persen
atau ketergantungan pada pangan impor seperti kedelai, dapat diperkirakan bahwa
kondisi sosial-ekonomi masyarakat kita masuk ke situasi yang sangat sulit.
Jumlah penduduk miskin di pertanian dan pedesaan akan lebih besar lagi daripada
yang telah diberitakan selama ini, yaitu sekitar 71 persen penduduk miskin
berada di sektor pertanian dan pedesaan.
Perlu menjadi perhatian kita
bersama bahwa pergerakan dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, selama 67 tahun
terakhir ini adalah pergerakan yang didorong oleh dua gelombang besar dunia,
yaitu industrialisasi dan urbanisasi di satu sisi dan Revolusi Hijau di sisi lainnya. Industrialisasi dan urbanisasi
tidak akan terwujud tanpa dukungan produksi pangan yang memadai bagi
kepentingan penduduk urban dan sektor industri.
Revolusi Hijau rupanya telah
memungkinkan terbentuknya surplus pangan yang mengalir dari desa-desa ke kota.
Surplus pangan ini juga membuat harga pangan murah, yang membuat upah buruh di
pertanian dan pedesaan juga murah. Perbedaan upah di pedesaan dan perkotaan
yang meningkat telah menciptakan daya tarik bagi para pemuda-pemudi desa untuk
berpindah dari desa ke kota mengikuti arus yang disebut urbanisasi. Pergerakan
ini terus terjadi dan diperkirakan pada 2015 penduduk kota lebih banyak
jumlahnya daripada penduduk desa. Jadi, bukan hanya telah terjadi perubahan
struktur ekonomi dengan menurunnya pangsa produk domestik bruto (PDB) pertanian
dan penurunan pangsa tenaga kerja pertanian, transformasi ekonomi melalui
industrialisasi juga telah mengubah distribusi penduduk dan sistem atau pola
kehidupan masyarakat secara geografis (spasial) secara radikal.
Apa hubungan ketahanan pangan dan
kemerdekaan sebagaimana yang tersurat pada judul tulisan ini? Ketahanan suatu
negara tidak terlepas dari ketahanan pangan dari negara tersebut. Jatuhnya Uni
Soviet atau kekaisaran Romawi juga tidak terlepas dari melemahnya ketahanan
pangan di negara tersebut. Adapun kelebihan Amerika Serikat atau Uni Eropa
terletak pada ketahanan pangan di kedua negara ini. Penciri utama dari kedua
negara adidaya tersebut adalah tingkat kesejahteraan petaninya yang dijamin
oleh negara dan sistem pertaniannya yang terus berkembang sebagaimana
diperlihatkan oleh tingkat produktivitas per tenaga kerjanya serta oleh skala
usaha lahannya yang semakin meluas. Bahkan Jim Chen dalam Vanderbilt Law Review Vol. 48, No. 4, Mei 1995, menyebutkan bahwa,
bagi Amerika Serikat, pertanian adalah The
American Ideology.
Kecenderungan sifat tersebut
rupanya telah menjadi jalan pergerakan pertanian dan rumah tangga petani di
Jepang dan Korea Selatan. Kemerdekaan dari kelaparan atau kekurangan pangan,
kemerdekaan dari kesulitan hidup atau kemungkinan terjadinya kekacauan tahap
pertama dalam negara yang diakibatkan oleh kekurangan pangan, telah
terhindarkan sebagai akibat dari kesuksesan negara dalam mengatur dan mengelola
keseluruhan sumber daya yang menentukan ketahanan pangan.
Apabila kita menengok ke Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai cermin kebangkitan suatu negara besar di Asia,
kita menemukan juga kemajuan pertaniannya, sebagai sumber ketahanan pangan,
yang luar biasa. Bahkan, sebagaimana yang diberitakan China Daily Asia Weekly, Juli 13-19, 2012, antara lain, RRT telah
menyiapkan lumbung pangannya di Australia. Dari sumber lain, kita juga membaca
bahwa RRT telah menyiapkan lumbung pangan yang besar di Afrika.
Indonesia dinilai dunia telah
mencapai keberhasilan dalam membangun perekonomiannya, khususnya dalam bidang
pertanian, dengan pertanda dicapainya swasembada beras pada 1984, 28 tahun yang
lalu. Dewasa ini ternyata Indonesia masih memerlukan pasokan impor untuk banyak
jenis kebutuhan pangannya. Dengan perubahan situasional akibat dampak dari
industrialisasi dan urbanisasi sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan
kebijakan dan strategi yang tepat dalam bidang ketahanan pangan ini, khususnya
dalam pembangunan pertanian. Apabila yang dipertaruhkan adalah NKRI yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana yang diamanatkan UUD
1945, dan ini berkorelasi sangat kuat dengan ketahanan pangan negara, tentu
saja segala hal yang menghalangi tercapainya ketahanan pangan yang bersumber
dari kemajuan pertanian nasional haruslah disingkirkan. Dirgahayu, NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar