Rabu, 15 Agustus 2012

Interaksi Simbolis Mudik Lebaran


Interaksi Simbolis Mudik Lebaran
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM dan Kandidat Doktor Unpad
MEDIA NDONESIA,  15 Agustus 2012

MUDIK, itulah fenomena tahunan menjelang Lebaran yang selalu menyita banyak perhatian. Betapa tidak, pada momen tersebut terjadi migrasi besar-besaran sementara dari kota ke kampung, dengan menempuh jarak yang boleh jadi ratusan kilometer.
Kecanggihan komunikasi melalui media internet, Facebook, Twitter, BBM, dan sebagainya ternyata tidak bisa otomatis menyelesaikan persoalan `pemadatan jarak'. 
Dalam konteks masyarakat komunal seperti kita, silaturahim seperti itu selalu belum sempurna kecuali sudah diselesaikan melalui pertemuan fisik walaupun sekadar bersalaman.

Bisa jadi, mudik tidak sesederhana itu. Tidak sesimpel pulang sekadar menemui kedua orangtua dan bersua saudara. Di baliknya terbentang interaksi simbolis dengan makna yang sangat luas. Mudik merupakan media untuk menyalurkan kerinduan terhadap kampung halaman yang lama ditinggalkan. Kampung halaman yang maknanya bisa berhubungan dengan fisik ataupun metafisik.

Mudik, dalam konteks tersebut, menjadi `pintu masuk' gerak kembali manusia kepada akarnya, asal usulnya, dan sejarahnya. Kembali untuk merumuskan ulang jati dirinya. Meneguhkan lagi konsep dirinya.

Dengan kembali, kerinduan selama pengembaraan dapat tersalurkan sehingga tatkala mereka pulang (arus balik) ke perantauan, seolah telah mendapatkan energi baru yang dahsyat. Terasa bahwa relasi kulturalnya tidak putus walaupun akar itu sebenarnya dikonstruksi kita sendiri. Seperti dalam amsal Malin Kundang yang dikedepankan Goenawan Mohamad: yang disebut `akar' sebenarnya dihadirkan sebagai bagian dari tata simbolis, yang kita terima dan membentuk kita, tapi sebenarnya terjadi karena hubungan kekuasaan.

Perspektif Lain

Secara sosiologis, mudik dapat juga dimaknai sebagai ekspresi tentang kebanggaan seseorang yang telah menem mukan apa yang dicarinya di p perantauan. Ketika kembali ke `kampung halaman', dia seakan berkata, “Inilah duta dari masa silam yang telah sukses menaklukkan ganasnya persaingan dan ketatnya atmosfer kota.“ Mengenai bagaimana dia mendefinisikan `kesuksesan' dan bagaimana perasaan orang lain merumuskan pandangan kesuksesan, itu tentu persoalan lain lagi. Dalam kajian antropologi, suasana seperti itu disebut closed corporate community.

Dalam konteks itu, pada titik tertentu tesis sosiologi yang meneguhkan bahwa masyarakat kota (metropolitan) yang telah terlepas dari masyarakat desa (rural society) akan semakin menampakkan gejala yang tidak `akrab' dengan keluarga inti tidak begitu tepat. Masyarakat kota ternyata tetap saja `memboyong masa silamnya' untuk kemudian ditumpah kan saat mudik Lebaran.

Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mencatat tradisi mudik merupakan fenomena unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

Jakob Soemardjo (2003) mencatat ternyata yang pertama kali mempunyai tradisi mudik ialah orang-orang Jawa yang notabene berasal dari golongan menengah ke bawah, yang kemudian diikuti masyarakat menengah dan pada akhirnya menjadi gejala global tanpa melihat lagi stratifikasi kelas.

Mudik seperti itu sejatinya merupakan tradisi khas bangsa Indonesia karena di Timur Tengah tidak terdapat tradisi mudik kekampung halaman ketika Idul Fitri menghampiri. Bahkan, yang di katakan Lebaran besar itu sendiri bukan lah Idul Fitri, melainkan hari raya haji.

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, memang dikenal tradisi yang mirip dengan mudik, yakni ritus Christmas Day dan Thanksgiving Day. Namun, mudik Christmas dan Thanksgiving hanya sebagai sarana berhimpun keluarga inti . Fenomena itu tidak sedahsyat di negara kita yang tidak hanya melibatkan sebuah `keluarga besar' karena negara sampai harus turun tangan untuk ikut mengatur demi kelancaran mudik itu sendiri. Kepolisian mengerahkan mereka secara nasional dengan sandi `Operasi Ketupat'.

Tradisi mudik pada gilirannya tidak hanya dilakukan umat Islam yang telah selesai melakukan ritus puasa. Tidak sedikit kalangan nonmuslim ikut melakukan mudik. Bisa jadi yang mendapatkan keuntungan ekonomis dari mudik dan Lebaran adalah nonmuslim.
Mudik ternyata sudah menjadi sebuah budaya bangsa, apalagi seandainya kita sepakat dengan definisi budaya yang diajukan Raymond William, “Suatu cara hidup tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi, kepercayaan, objek material, serta wilayah.“

Haluan Spiritual

Mudik dalam telaah spiritual merefleksikan suasana batin yang secara hakiki selalu merindukan `kampung halaman', baik dalam makna harfiah maupun dalam arti kondisi batin seseorang yang tidak pernah berhenti meminta untuk disucikan sesuai dengan kontrak spiritualnya. Dalam metafora Jalaluddin Rumi, “Tak ubahnya seruling yang suara lengkingannya sesungguhnya adalah jeritan meminta dikembalikan kepada induknya yakni bambu.“

Pulang (mudik) itulah yang terangkum dalam kata id. Idul Fitri itu ialah pulang ke kampung halaman yang suci. Kesucian itu direngkuh setelah kita melakukan puasa di satu sisi dan di sisi lain, kita sempurnakan dengan meminta permaafan kepada keluarga, saudara, dan handai tolan ketika kita Lebaran dan mudik ke desa. Atau dalam idiom agama, itu disebut silaturahim seperti diajarkan sang nabi, “Barang siapa yang menginginkan dipanjangkan usia dan dilimpahkan rezekinya, hendaknya ia menyambungkan tali silaturahim.” “Bukanlah silaturahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahim adalah yang menyambung apa yang diputus.”

Nurcholish Madjid (2000) memaknai Idul Fitri sebagai suatu tradisi agung yang dilakukan berulang-ulang setiap tahun dalam daur ulang ruang dan waktu. Keagungan tersebut pada hakikatnya karena kita telah meraih kemenangan dengan mengalahkan hasrat primitif perut selama Ramadan.

Kemenangan yang patut kita rayakan bukanlah dengan kenduri material dan kemegahan hajat kebendaan lainnya, melainkan dengan rasa syukur dengan mencanangkan niat untuk mengorbitkan spirit Ramadan pada 11 bulan sisanya.

Mudik dan Lebaran, kalau demikian adanya, sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan konsumerisme dan hedonisme atau pamer kekayaan. Kedua tradisi itu justru kita meriahkan sebagai satu siasat dalam upaya memutus diri dan lebih jauh lagi kehidupan bangsa dari jeratan nafsu kebendaan yang kelewat batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar