Interaksi
Simbolis Mudik Lebaran
|
Asep Salahudin ; Wakil Rektor IAILM
dan Kandidat Doktor Unpad
|
MEDIA
NDONESIA, 15 Agustus 2012
MUDIK, itulah fenomena tahunan menjelang Lebaran yang selalu
menyita banyak perhatian. Betapa tidak, pada momen tersebut terjadi migrasi
besar-besaran sementara dari kota ke kampung, dengan menempuh jarak yang boleh
jadi ratusan kilometer.
Kecanggihan komunikasi melalui media internet, Facebook, Twitter, BBM, dan sebagainya
ternyata tidak bisa otomatis menyelesaikan persoalan `pemadatan jarak'.
Dalam
konteks masyarakat komunal seperti kita, silaturahim seperti itu selalu belum
sempurna kecuali sudah diselesaikan melalui pertemuan fisik walaupun sekadar
bersalaman.
Bisa jadi, mudik tidak sesederhana itu. Tidak sesimpel pulang
sekadar menemui kedua orangtua dan bersua saudara. Di baliknya terbentang
interaksi simbolis dengan makna yang sangat luas. Mudik merupakan media untuk
menyalurkan kerinduan terhadap kampung halaman yang lama ditinggalkan. Kampung
halaman yang maknanya bisa berhubungan dengan fisik ataupun metafisik.
Mudik, dalam konteks tersebut, menjadi `pintu masuk' gerak kembali
manusia kepada akarnya, asal usulnya, dan sejarahnya. Kembali untuk merumuskan
ulang jati dirinya. Meneguhkan lagi konsep dirinya.
Dengan kembali, kerinduan selama pengembaraan dapat tersalurkan
sehingga tatkala mereka pulang (arus balik) ke perantauan, seolah telah
mendapatkan energi baru yang dahsyat. Terasa bahwa relasi kulturalnya tidak
putus walaupun akar itu sebenarnya dikonstruksi kita sendiri. Seperti dalam
amsal Malin Kundang yang dikedepankan Goenawan Mohamad: yang disebut `akar'
sebenarnya dihadirkan sebagai bagian dari tata simbolis, yang kita terima dan
membentuk kita, tapi sebenarnya terjadi karena hubungan kekuasaan.
Perspektif Lain
Secara sosiologis, mudik dapat juga dimaknai sebagai ekspresi
tentang kebanggaan seseorang yang telah menem mukan apa yang dicarinya di p
perantauan. Ketika kembali ke `kampung halaman', dia seakan berkata, “Inilah
duta dari masa silam yang telah sukses menaklukkan ganasnya persaingan dan
ketatnya atmosfer kota.“ Mengenai bagaimana dia mendefinisikan `kesuksesan' dan
bagaimana perasaan orang lain merumuskan pandangan kesuksesan, itu tentu
persoalan lain lagi. Dalam kajian antropologi, suasana seperti itu disebut closed corporate community.
Dalam konteks itu, pada titik tertentu tesis sosiologi yang
meneguhkan bahwa masyarakat kota (metropolitan) yang telah terlepas dari
masyarakat desa (rural society) akan
semakin menampakkan gejala yang tidak `akrab' dengan keluarga inti tidak begitu
tepat. Masyarakat kota ternyata tetap saja `memboyong masa silamnya' untuk
kemudian ditumpah kan saat mudik Lebaran.
Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mencatat tradisi
mudik merupakan fenomena unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk
menyambut Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Jakob Soemardjo (2003) mencatat ternyata yang pertama kali
mempunyai tradisi mudik ialah orang-orang Jawa yang notabene berasal dari
golongan menengah ke bawah, yang kemudian diikuti masyarakat menengah dan pada
akhirnya menjadi gejala global tanpa melihat lagi stratifikasi kelas.
Mudik seperti itu sejatinya merupakan tradisi khas bangsa
Indonesia karena di Timur Tengah tidak terdapat tradisi mudik kekampung halaman
ketika Idul Fitri menghampiri. Bahkan, yang di katakan Lebaran besar itu
sendiri bukan lah Idul Fitri, melainkan hari raya haji.
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, memang
dikenal tradisi yang mirip dengan mudik, yakni ritus Christmas Day dan Thanksgiving
Day. Namun, mudik Christmas dan Thanksgiving hanya sebagai sarana berhimpun
keluarga inti . Fenomena itu tidak sedahsyat di negara kita yang tidak hanya
melibatkan sebuah `keluarga besar'
karena negara sampai harus turun tangan untuk ikut mengatur demi kelancaran
mudik itu sendiri. Kepolisian mengerahkan mereka secara nasional dengan sandi `Operasi Ketupat'.
Tradisi mudik pada gilirannya tidak hanya dilakukan umat Islam
yang telah selesai melakukan ritus puasa. Tidak sedikit kalangan nonmuslim ikut
melakukan mudik. Bisa jadi yang mendapatkan keuntungan ekonomis dari mudik dan
Lebaran adalah nonmuslim.
Mudik ternyata sudah menjadi sebuah budaya bangsa, apalagi
seandainya kita sepakat dengan definisi budaya yang diajukan Raymond William, “Suatu cara hidup tertentu yang dibentuk oleh
nilai, tradisi, kepercayaan, objek material, serta wilayah.“
Haluan Spiritual
Mudik dalam telaah spiritual merefleksikan suasana batin yang
secara hakiki selalu merindukan `kampung
halaman', baik dalam makna harfiah maupun dalam arti kondisi batin
seseorang yang tidak pernah berhenti meminta untuk disucikan sesuai dengan kontrak
spiritualnya. Dalam metafora Jalaluddin Rumi, “Tak ubahnya seruling yang suara lengkingannya sesungguhnya adalah
jeritan meminta dikembalikan kepada induknya yakni bambu.“
Pulang (mudik) itulah yang terangkum dalam kata id. Idul Fitri itu ialah pulang ke
kampung halaman yang suci. Kesucian itu direngkuh setelah kita melakukan puasa
di satu sisi dan di sisi lain, kita sempurnakan dengan meminta permaafan kepada
keluarga, saudara, dan handai tolan ketika kita Lebaran dan mudik ke desa. Atau
dalam idiom agama, itu disebut silaturahim seperti diajarkan sang nabi,
“Barang siapa yang menginginkan
dipanjangkan usia dan dilimpahkan rezekinya, hendaknya ia menyambungkan tali
silaturahim.” “Bukanlah silaturahim
orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahim adalah
yang menyambung apa yang diputus.”
Nurcholish Madjid (2000) memaknai Idul Fitri sebagai suatu tradisi agung yang dilakukan berulang-ulang setiap tahun
dalam daur ulang ruang dan waktu. Keagungan tersebut pada hakikatnya karena kita telah meraih
kemenangan dengan mengalahkan hasrat primitif perut selama Ramadan.
Kemenangan yang patut kita rayakan bukanlah dengan kenduri
material dan kemegahan hajat kebendaan lainnya, melainkan dengan rasa syukur
dengan mencanangkan niat untuk mengorbitkan spirit Ramadan pada 11 bulan
sisanya.
Mudik dan Lebaran, kalau demikian adanya, sesungguhnya tidak ada sangkut
pautnya dengan konsumerisme dan hedonisme atau pamer kekayaan. Kedua tradisi itu
justru kita meriahkan sebagai satu siasat dalam upaya memutus diri dan lebih
jauh lagi kehidupan bangsa dari jeratan nafsu kebendaan yang kelewat batas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar