Rabu, 08 Agustus 2012

MoU dalam Polemik KPK-Polri


MoU dalam Polemik KPK-Polri
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Aspek Hukum
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra 
JAWA POS, 08 Agustus 2012


DALAM teori kontrak atau lazimnya dalam praktik bisnis, memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman hanyalah kesepakatan awal atau pembuka suatu hubungan kemitraan di antara para pihak yang bakal mengadakan ragam kerja sama atau transaksi yang saling menguntungkan. Menurut Munir Fuady, MoU akan diikuti dan dijabarkan ke dalam perjanjian yang mengaturnya secara detail. Karena itu, MoU hanya berisi hal-hal pokok. 

Artinya, MoU baru mempunyai kekuatan mengingkat setelah dituangkan ke dalam kontrak. Bahkan, menurut Black's Law Dictionary, MoU merupakan dasar penyusunan kontrak di masa mendatang, baik secara tertulis maupun secara lisan. Jadi, MoU bukanlah kontrak yang sudah mengikat atau memaksa para pihak untuk menjalankan hak dan kewajiban secara hukum, melainkan hanya ikatan moral.

Jika para pihak ternyata mengalami kesulitan dalam menjalankan MoU, MOU itu masih bisa dibatalkan atau batal dengan sendirinya. Karena itu, MoU jarang dijadikan dasar tuntutan hak atau bukti dalam melakukan gugatan ke pengadilan. Hakim pun tidak bisa menjadikan MoU sebagai dasar untuk memutus perkara. Sebab, MoU belum memuat hak dan kewajiban para pihak secara hukum. Misalnya, MoU belum mengatur soal harga, jumlah objek transaksi, sistem pembayaran, dan sanksi apabila dilanggar. 

Jika suatu kesepakatan sudah memuat nilai transaksi, hak, dan kewajiban para pihak, serta sanksi bagi pihak yang melanggarnya, jenis kesepakatan tersebut bukan lagi MoU, melainkan kontrak bisnis yang sudah mengikat secara hukum. Karena itu, MoU lazimnya dibuat dalam bentuk kesepakatan di bawah tangan (tidak perlu melibatkan notaris) dan penandatanganannya pun bersifat seremonial. MoU belum berwujud pengikatan seperti yang diatur dalam KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Dengan kata lain, MoU itu di luar pengaturan BW, namun tetap berkarakter perdata.

Dengan demikian, MoU bisa saja dibuat untuk kepentingan publik, tetapi tidak bisa masuk ke ranah hukum publik, apalagi hukum pidana. Artinya, MoU itu dibuat dalam rangka memenuhi atau mengadakan kebutuhan sarana dan prasarana publik. Dengan demikian, hukum pidana tidak bisa diatur dengan MoU. Juga, pembagian tugas dan wewenang KPK, kejaksaan, dan kepolisian tidak bisa ditentukan berdasar MoU, tetapi harus berdasar undang-undang.

Tiga instansi tersebut bisa saja membuat MoU, tetapi isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang mengatur wewenang mereka. MoU itu bersifat perdata dan hanya merupakan dasar bagi kontrak-kontrak kerja sama yang konkret di antara mereka. Bahkan, berdasar pasal 1320 BW, setiap kesepakatan para pihak harus memiliki kausa yang halal (sesuai dengan undang-undang). Karena itu, substansi MoU antarinstitusi penegak hukum, terutama pengusutan korupsi, seharusnya hanya terkait dengan kerja sama yang bersifat perdata, bukan masalah pembagian wewenang yang bersifat publik.

Jadi, MoU antara KPK, kejaksaan, dan Polri semestinya bertujuan untuk menunjang pelaksanaaan tugas masing-masing. Misalnya, kerja sama penyediaan sarana-prasarana penindakan korupsi, teknologi penemuan alat-alat bukti, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan tukar-menukar informasi yang penting dalam mengusut kasus-kasus korupsi. Jadi, sungguh aneh jika substansi kewewenangan tiga lembaga penegak hukum yang sudah diatur dalam undang-undang justru dikacaukan oleh MoU. 

Hal inilah yang terjadi pada kasus dugaan korupsi simulator SIM Korlantas Polri. Polri mengklaim bahwa penyelidikan kasus simulator SIM sudah dilakukan berdasar Sprinlid /55/V/2012/Tipidkor (21 Mei 2012). Polri telah melakukan interogasi dan pengambilan keterangan dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM. Di sisi lain, KPK menyatakan telah lebih dulu menyelidik kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikkannya ke tahap penyidikan tanggal 27 Juli 2012. Dalam kasus ini, Polri menilai KPK telah melanggar MoU yang dibuat 29 Maret 2012 oleh KPK, Polri, dan Kejaksaan. 

Memang, pasal 8 MoU tersebut mengatakan: Pertama, jika para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang wajib menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihak. 

Kedua, penyelidikan oleh kejaksaan dan Polri diberitahu ke KPK, dan perkembangannya diberitahu ke KPK paling lama tiga bulan sekali. Ketiga, KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas kegiatan penyelidikan oleh kejaksaan dan Polri. Keempat, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan, dengan didahului gelar perkara yang dihadiri oleh para pihak dan pelaksanaannya dituangkan dalam berita acara.

Padahal, menurut pasal 50 UU Nomor 30/2002 tentang KPK, jika tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah disidik oleh kepolisian atau kejaksaan, maka instansi tersebut wajib memberi tahu KPK paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Lalu, menurut UU KPK, penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan wajib dikoordinasikan secara terus-menerus dengan KPK. Bahkan, jika KPK sudah mulai menyidik perkara itu, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. 

Dan, jika penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh tiga instansi, penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Artinya, undang-undang sebenarnya memberikan wewenang yang lebih besar kepada KPK dalam mengusut kasus-kasus korupsi. Jadi, MoU yang sudah menyalahi pasal 1320 BW itu tidak bisa lagi dijadikan dasar penyelesaian polemik antara KPK dan Polri. MoU itu tidak boleh mengalahkan undang-undang.
  

1 komentar:

  1. SAYA IIN DAN TEMAN SAYA LIN,KAMI DARI FAKULTAS HUKUM. SETELAH KAMI DAPAT MEMBACA PENGERTIAN MOU YANG TIDAK MUDAH DI JADIKAN DASAR GUGATAN,SAYA MASIH KURANG PAHAM,MENGAPA? KARNA MENURUT YANG SAYA KETAHUI,ITU DAPAT DI JADIKAN GUGATAN,KARNA BAIK ORANG YANG INGIN MELAKUKAN GUGATAN CERAI TERHADAP PASANGANNYA,DI DALAM MAHKAMA AGAMA DAPAT DI PERBOLEHKAN, JADI INI YANG BUAT SAYA,DAN TEMAN SAYA PERLU MEMPERTANYAKAN TERHADAP BAPAK.

    BalasHapus