Rabu, 08 Agustus 2012

Masjid vs Panggung Politik


Masjid vs Panggung Politik
Bastian Jabir Pattara ; Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
REPUBLIKA, 08 Agustus 2012


Fenomena Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) sering kali memanfaatkan bulan suci Ramadhan sebagai stra tegi komunikasi politik dan media pencitraan politik bagi pasangan kontestan Pemilukada. Media luar ruangan, misalnya, spanduk yang dipasang di halaman masjid, brosur jadwal imsakiah Ramadhan, hingga para dai yang membahas mengenai konten politik di mimbar masjid adalah sebagai sarananya.

Area masjid dan mimbar masjid yang merupakan daerah netral yang seharusnya menjadi daerah yang dapat mempersatukan umat, justru dijadikan daerah berwarna, yang dapat melahirkan bibit konflik. Sekat-sekat antarumat dalam melakukan peribadatan bisa lahir dengan adanya klaim kepemilikan masjid untuk kelompok tertentu dengan dominasi media kampanye.

Selain itu, para dai yang seharusnya menjadi agent of social change, memberikan edukasi, pencerahan menuju masyarakat yang berakhlak mulia, dan cinta akan perdamaian, justru menjadi agent of choice change atau campaign master untuk salah satu kontestan. Pengalihan fungsi dai untuk tujuan tertentu justru dapat melahirkan konflik atau memecah belah umat. Seyogianya, para dai memberikan pesan perdamaian, persatuan dan ukhuwah Islamiah, bukan justru sebagai komunikator yang memberikan trigger provokasi masyarakat untuk bercerai-berai.

Unsur Komunikasi

Bicara strategi komunikasi politik, yang menjadi konsep dasarnya adalah teori Harold D Lasswell mengenai strategi komunikasi dengan formula who says what, in which channel, to whom, with what effect. Formula ini membahas mengenai unsur-unsur komunikasi yang mesti diperhatikan menuju strategi komunikasi yang efektif. Unsur itu meliputi siapa yang menyampaikan (unsur komunikator), apa yang disampaikan (unsur pesan), bagaimana cara menyampaikannya atau menggunakan media apa (unsur media), siapa sasaran pesan tersebut (unsur komunikan), dan bagaimana reaksi yang diharapkan (unsur efek).

Para kontestan yang menggunakan bulan Ramadhan sebagai media komunikasi politik terkesan kurang mengindahkan strategi komunikasi formula Lasswell di atas. Mereka kurang memerhatikan unsur-unsur komunikasi politik dan fungsi-fungsinya dalam proses strategi komunikasi politik serta pencitraan politik untuk meraih simpati khalayak wajib pilih. Tanpa pemahaman memadai, tindakan komunikasi politik yang dilakukan boleh jadi bukan mendapat simpati khakayak, justru sebaliknya yang akan terjadi, yakni antipati masyarakat.

Selayaknya, pasangan kontestan melakukan strategi komunikasi politik yang lebih customize, sesuai dengan momen bulan Ramadhan agar mencapai sasaran yang tepat. Mimbar masjid dan panggung politik, keduanya memang merupakan media yang dapat digunakan untuk memersuasi khalayak, namun kedua media tersebut memiliki perbedaan fungsi komunikasi.

Mimbar masjid adalah media komunikasi yang keberhasilannya sangat tergan tung dari unsur komunikatornya, yakni pada kredibilitas seorang dai. Seperti, parameter filsuf Aristoteles bahwa kredibilitas komunikator sangat ditentukan oleh good will (maksud yang baik), good sense (pikiran yang baik) dan, good moral character (akhlak yang baik) karena unsur komunikasi yang lainnya sudah tersedia dengan sendirinya. Kaidah ini berlaku seragam pada setiap mimbar masjid, seperti unsur komunikan (jamaah), senang atau tidak senang, posisinya sebagai pendengar. Malah kalau protes (bersuara), nilai ibadahnya bisa dianggap berkurang.

Kemudian, unsur pesan yakni meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, unsur media pada mim bar masjid itu sendiri. Sedangkan, unsur efek atau feedback-nya sudah pasti sangat lambat. Dalam masjid, proses komunikasinya adalah proses komunikasi satu arah. Maka dari itu, yang hanya bisa didesain adalah unsur komunikator yang disesuaikan dengan unsur-unsur komunikasi yang sudah baku.

Jika unsur komunikator tidak sesuai dengan ekspektasi unsur komunikan atau
jamaah masjid maka dengan sendirinya komunikasi tidak akan berjalan efektif.
Dai sebagai komunikator akan menjadi antipati terhadap jamaah, tentunya juga
konten pesan yang disampaikan. Kalau pesannya untuk pencitraan politik maka
yang terjadi adalah sebaliknya.

Beda Sifat

Panggung politik memiliki strategi komunikasi bersifat dinamis, berbeda dengan majelis masjid yang sifatnya statis, karena unsur-unsur komunikasinya sudah terstandarkan berdasarkan syariat yang diyakini. Unsur-unsur komunikasi dalam panggung politik dapat didesain lebih maksimal untuk mencapai pesan komunikasi politik yang efektif guna meraih simpati khalayak yang menjadi target.

Cara yang bisa ditempuh, misalnya, dengan menyiapkan komunikator yang kredibel, pesan disesuaikan dengan kebutuhan agenda politik, media penyampaian pesan yang efektif dan efisien, serta efek yang diharapkan pada khalayak yang menjadi target. 

Intinya, strategi komunikasi politik dan public relation politik harus direncanakan dengan saksama dengan memaksimalkan fungsi unsur-unsur komunikasi. Sesuatu yang direncanakan dengan maksimal tentunya memiliki hasil yang signifikan sesuai dengan agenda politik, ketimbang yang langsung dilakukan tanpa perencanaan.

Strategi komunikasi panggung politik sangat berbeda dengan mimbar mas jid, utamanya pada unsur pesan yang tidak bisa digabungkan, karena memiliki nilai-nilai yang berbeda dan motif yang tidak sama. Jika dipaksakan untuk digabungkan, tentu tidak akan memberikan efek positif yang signifikan karena konten pesan dan motif yang sangat berbeda tadi justru bisa menimbulkan efek negatif untuk pencitraan kontestan itu sendiri.

Akhirnya, agenda yang diharapkan untuk mendapat simpati masyarakat justru menjadi cibiran, begitupun efek negatifnya pada para dai. Yang lebih dikhawatirkan, kekeliruan itu melahirkan kekisruhan di tengah masyarakat.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar