Rabu, 08 Agustus 2012

Kebangkitan Industri Tebu


Kebangkitan Industri Tebu
Mohammad Eri Irawan ; Mahasiswa Pascasarjana Unair,
Sedang menyusun tesis tentang Kebijakan Pergulaan
JAWA POS, 08 Agustus 2012


BERAGAM problem masih menggelayuti industri berbasis tebu. Kinerja industri yang telah ada di Nusantara sejak lebih dari empat abad silam ini masih labil. Pada 2011, berdasar data Kementerian Pertanian, produksi gula berkisar 2,23 juta ton, melorot tipis daripada tahun sebelumnya 2,21 juta ton. Rendemen sebenarnya membaik menuju level 7,35 persen, tapi gagal memenuhi roadmap swasembada sebesar 8,1 persen.

Banyak pihak yang pesimistis swasembada gula dengan produksi 5,7 juta ton bisa direngkuh pada 2014. Target swasembada gula memang berkali-kali diucapkan sejak bertahun-tahun silam, tak terhitung berapa kali diseminarkan, namun berkali-kali pula target itu meleset.

Problem membentang mulai sisi budi daya (on-farm) hingga pengolahan (off-farm). Inefisiensi membujur di setiap tahap produksi. Sektor hilir terbengkalai. Impor dan kemelut gula rafinasi menambah bopeng wajah industri padat karya ini.

Masihkah kita bisa berharap? Di tengah rimbun problem dan gelombang pesimisme, hidup kadang menyuguhkan banyak kejutan. Musim giling tahun ini, banyak angin segar bertiup dari lokasi pabrik gula (PG) BUMN. Kejayaan industri ini memang harus dimulai dari BUMN yang mempunyai 52 PG di antara total sekitar 62 PG di tanah air.

Aura PG BUMN kini tak lagi tua dan renta. Semangat perubahan di tubuh PG-PG BUMN membuncah. Untuk kepentingan penajaman research problem tesis, dalam tiga bulan terakhir, saya bertamu ke sejumlah PG di Jatim yang merupakan basis industri gula (47 persen produksi gula nasional berasal dari Jatim). Tanpa hendak melebih-lebihkan, saya merasakan spirit perubahan yang teramat besar di PG-PG BUMN.

Satu terobosan penting dilakukan Kementerian BUMN dengan memulai pembangunan PG di Glenmore, Banyuwangi, tahun ini juga. Wacana membikin PG di Banyuwangi sebenarnya sudah lama ada, tapi tak jua terealisasi. Semua ribut debat. Tahun ini, PTPN dikoordinasikan untuk bergegas membangun PG terintegrasi yang bakal menjadi PG terbesar.

Kehadiran PG di Banyuwangi tersebut akan mengefisienkan manajemen tebang-angkut tebu, sehingga tak ada banyak kehilangan gula selama proses pasok tebu dari lahan ke PG. Dipadu teknologi modern, rendemen (kadar gula dalam tebu) bisa lebih dari 10 persen.

Untuk kepentingan PG Banyuwangi, PTPN XII, yang bergerak di aneka tanaman (kopi, karet, dan sebagainya), akan memanfaatkan lahan-lahan kurang produktif. PG itu didukung PTPN XI yang lebih berpengalaman di bidang pertebuan. Sinergi yang patut diapresiasi.

Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam kolom Manufacturing Hope (Jawa Pos, 30/7) menyebut PG itu sebagai satu di antara 15 proyek besar BUMN yang bakal memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Di Mojokerto, PG Gempolkrep yang dikelola PTPN X tengah bekerja keras merampungkan pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG. Pabrik bioetanol berkapasitas 330.000 kiloliter itu membutuhkan bahan baku 120.000 molases (tetes tebu) yang didapatkan dari PG. Produknya adalah etanol fuel grade tingkat kemurnian 99,5 persen. Tahun depan, pabrik tersebut sudah beroperasi. Yang bikin bungah, nyaris semua komponen untuk pembangunan pabrik merupakan produk lokal.

Pengembangan bioetanol merupakan terobosan. Selama ini, PG-PG BUMN hanya menyuplai tetes tebu ke pabrik lain yang menggarap produk hilirnya. Belum ada PG BUMN yang mengembangkan produk turunan tebu dalam skala ekonomi. Walhasil, nilai tambah yang diperoleh PG tak optimal. Transformasi dari PG semata ke industri berbasis tebu itu juga dilandasi sifat komoditas primer yang harganya fluktuatif dan di sisi lain ternyata harga produk turunan lumayan menjanjikan.

Di PG-PG lain seperti PG Pesantren, Kediri, kinerja mentereng terus dibukukan. PG Pesantren adalah salah satu PG terbaik yang dimiliki BUMN. Tahun ini, rendemennya diharapkan tembus 9 persen, tertinggi se-Indonesia. Kinerja PG Ngadirejo, Kediri, yang pada 2008 sempat akan di-KSO-kan (kerja sama operasi) dengan swasta, juga cantik. Dulu PG itu akan di-KSO-kan untuk memperbaiki kinerjanya. Sekarang kita melihat, ditangani BUMN sendiri, rendemen 2011 mencapai 8,38 persen.

PG-PG milik PTPN XI, yang beberapa tahun terakhir rendemennya rendah, musim giling ini ogah kalah. Rendemen di beberapa PG membaik. Misalnya, di PG Asembagus maupun PG Semboro. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) getol merevitalisasi pengolahan PG. Rendemen PG Krebet Baru, Malang, segera mendekati 8 persen. RNI juga akan bermain di pasar gula premium yang selama ini didominasi swasta. PTPN XI sebelumnya menggarap gula premium dengan pabrik yang higienis di Jember.

Angin segar di tubuh PG BUMN itu kian dahsyat didukung langkah Kementerian Pertanian (Kementan). Tahun ini, Kementan mengembangkan kultur jaringan di sembilan provinsi yang menjadi markas PG-PG. Luasnya 700 hektare. Langkah pemetaan kecocokan lahan di Papua juga dilakukan, terutama sebagai upaya ekstensifikasi lahan untuk merengkuh swasembada gula.

Melihat angin perubahan itu, saya kira bukan hanya Dahlan Iskan yang tak sabar melihat hasil musim giling tahun ini (Manufacturing Hope, Jawa Pos, 30/7). Banyak pihak yang juga tak sabar melihat kemajuan di industri ini.

Mari percaya bahwa industri ini akan bangkit. Manajemen PG-PG BUMN tinggal ''dipanasi'' saja. PG-PG BUMN, pelan tapi pasti, sudah berjalan di jalur yang benar. Tidak hanya berjalan, kini sudah siap-siap berlari lebih kencang. 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar