Ziarah
dalam Jejak Pluralisme Gus Dur
Ida Saraswati dan Herpin Dewanto
; Wartawan
Kompas
KOMPAS,
04 Agustus 2012
KH Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur sudah tiada, tetapi sosoknya terus menarik simpati. Setiap hari ribuan
orang dari beragam latar belakang menziarahi makamnya. Di depan pusara Gus Dur,
mereka berdampingan, berdoa dalam kebersamaan.
Makam Gus Dur di bagian
belakang pekarangan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tak pernah sepi. Di kompleks makam keluarga
seluas 100 meter itu, Gus Dur—meninggal pada 30 Desember 2009—dibaringkan
berdampingan dengan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, dan ayahnya, KH Wahid Hasyim.
Seperti Jumat (20/7), seusai
shalat Jumat, peziarah dan santri muda berdampingan di depan makam Gus Dur.
Dengan kepala menunduk, mereka khusyuk mengucapkan doa.
Lalan (42), peziarah dari
Gresik, Jatim, berdoa di sisi kanan makam. Ia datang bersama keluarganya,
menumpang minibus. ”Saya mengantar anak dan keponakan yang mau mondok di Lamongan. Memang
direncanakan shalat Jumat di sini, sekalian ziarah ke makam Gus Dur,” ujarnya.
Lalan mengaku amat
menghormati Gus Dur. Selain karena sesama Muslim, ia juga mengagumi Gus Dur
karena bisa merangkul semua umat, baik Muslim maupun non-Muslim.
Peziarah lainnya, Sutrisno
(40), guru di Pondok Pesantren Al Qodiri 4 Jember, Jatim, datang bersama
rekannya. Ia mengaku kerap ke makam Gus Dur dan mengajak siswanya berziarah.
”Akhlaknya baik, orangnya adil. Banyak yang bisa dikagumi dari Gus Dur. Bagi
saya, dia seorang wali,” katanya.
Penghormatan
KH Salahuddin Wahid atau Gus
Solah, adik Gus Dur yang kini mengelola Pondok Pesantren Tebuireng, menuturkan,
keluarganya tak pernah membayangkan makam itu akan didatangi begitu banyak
peziarah. ”Fenomena ini jarang terjadi. Biasanya yang diziarahi itu makam wali
atau kiai besar yang sudah lama meninggal,” ujarnya.
Pada hari biasa, peziarah
bisa mencapai 2.000 orang per hari. Jumlah itu melonjak hingga puluhan ribu
orang pada hari libur dan menjelang Ramadhan. Tahun 2011, peziarah diperkirakan
mencapai satu juta orang.
Mereka datang tak mengenal
waktu sehingga pengelola pesantren harus menutup gerbang saat subuh dan
maghrib. ”Supaya peziarah tidak rebutan kamar mandi dengan santri,” kata Gus
Solah.
Semasa hidupnya, Gus Dur
juga kerap berziarah ke makam kiai. Setiap datang ke suatu daerah, ia akan
menanyakan makam tokoh yang dikeramatkan masyarakat dan mendatanginya.
Peziarah makam Gus Dur
datang tak hanya dari umat Islam. Ada rombongan peziarah dari wihara, gereja,
dan kelenteng. Mereka datang untuk menyampaikan rasa hormat kepada Gus Dur.
Rasa hormat itu muncul karena mereka menjadi saksi sepak terjang Gus Dur.
Sikap Terbuka
Kiprah Gus Dur—lahir di
Denanyar, Jombang, 7 September 1940 (versi lain menyebut 4 Agustus 1940)—dikenal
luas saat terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun
1984. Sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, dia adalah sosok
yang menghormati kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Ia tidak hanya
bicara, tetapi juga bertindak. Ia berani ”pasang badan” untuk melindungi
kelompok minoritas yang ditindas.
Gus Solah mencontohkan, pada
masa Orde Baru, perkawinan dengan memakai tata cara Konghucu dilarang
pemerintah. Namun, Gus Dur berani saat diminta menjadi saksi perkawinan itu.
”Saya kalau ditanya soal perkawinan itu pasti mendukung, tetapi sebagai saksi
pada saat itu, saya belum tentu berani,” tuturnya.
Menurut dia, sikap terbuka
menerima perbedaan yang ditunjukkan Gus Dur itu memang dipraktikkan di dalam
keluarga. Kakek, ayah, dan ibunya memberikan contoh itu. Sejak kecil mereka
dibebaskan membaca berbagai jenis bacaan sehingga memiliki wawasan yang
terbuka.
Greg Barton, peneliti Islam
dari Australia yang menulis biografi Gus Dur, juga menyinggung hal itu dalam
bukunya. Gus Dur tumbuh dalam lingkungan yang terbuka. Ayahnya, Wahid Hasyim,
sangat menghargai kebudayaan Islam tradisional. Namun, ia memiliki lingkup
pergaulan yang luas sehingga rumahnya dikunjungi tamu dari berbagai golongan,
termasuk orang Eropa.
Gus Dur konsisten
menghormati kebebasan beragama. Pada 1989, ia ikut mengajukan gugatan terhadap
undang-undang penodaan agama yang disahkan pada 1965. Undang-undang itu dinilai
tidak sesuai perkembangan zaman.
Ia juga mendukung pluralisme
meskipun itu sensitif. ”Bagi Gus Dur, pluralisme bukan menilai semua agama
sama. Bagi Gus Dur, agama yang paling benar ya Islam, tetapi ia menghormati
yang lain,” kata Gus Solah.
Dalam masa kepresidenannya
yang singkat, 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, Gus Dur melakukan banyak gebrakan.
Salah satu yang selalu dikenang adalah keputusannya mencabut pelarangan budaya,
bahasa, dan adat istiadat Tionghoa.
Dengan keputusan itu, warga
Tionghoa yang selama 30 tahun hidup dalam tekanan bisa bergerak lebih bebas
mengekspresikan identitas mereka. Liem Ou Yen, tokoh Paguyuban Masyarakat
Tionghoa Surabaya, menuturkan, warga Tionghoa tak bisa melupakan jasa Gus Dur.
Mereka kini bisa merayakan Imlek.
Sebagai bentuk terima kasih,
lanjut Liem, ia dan warga Tionghoa lain kerap berziarah ke makam Gus Dur. Liem,
yang beragama Buddha, sudah tiga kali ke makam itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar