Kamis, 23 Agustus 2012

Tegaknya Hukum tanpa Etika di Era Globalisasi


Tegaknya Hukum tanpa Etika di Era Globalisasi
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar (Em) Universitas Padjadjaran
MEDIA INDONESIA, 23 Agustus 2012


HUKUM tanpa kesusilaan merupakan tuntutan aliran legisme sejak ratusan tahun yang lalu dan konkretisasi dari ajaran tersebut ialah pendapat Hans Kelsen tentang teori hukum murni.

Teori tersebut telah dianut di dalam sistem hukum Indonesia yang sampai hari ini diajarkan dalam pendidikan hukum yang tersebar di seluruh fakultas hukum. Pandangan Kelsen bahwa hukum harus tidak terkait dengan kesusilaan telah ditelan mentah-mentah oleh para ahli hukum Indonesia, sekalipun mereka tahu betul bahwa bangsa dan negara ini tidak identik dengan bangsa dan negara tempat Kelsen dilahirkan dan dibesarkan.

Keyakinan bahwa Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebagai hukum dasar dan selalu dijadikan rujukan dalam penyusunan perundang-undangan telah diwujudkan dalam kenyataan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia sejak lama. Rujukan dan hukum dasar itu dilakukan terutama sejak disahkannya UU RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Pengajuan hak uji materiil atas suatu UU pascareformasi begitu semarak.

Banyak UU bahkan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD sekaligus mencerminkan bukan hanya pertentangannya semata-mata, melainkan juga karena kaidah-kaidah dalam UUD 1945 mencerminkan nilai kesusilaan yang diakui bangsa ini sejak proklamasi kemerdekaan 1945, yaitu Pancasila.

Dalam Pancasila itulah terdapat nilai kesusilaan dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yang seharusnya dipahami dan diterjemahkan dalam kehidupan bangsa ini sehari-hari, termasuk dalam pembentukan dan penegakan hukum.

Pertanyaan yang selalu menggeluti perasaan hukum selama ini ialah apakah pengadilan memang benteng keadilan? Apakah pertikaian dan perselisihan hubungan antarindividu memang harus selalu berakhir di pengadilan? Apakah penghukuman terhadap setiap kejahatan telah menciptakan kedamaian dalam kehidupan masyarakat?

Hukum dalam pandangan Pancasila seharusnya memiliki karakter yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia, bukan malah menimbulkan konflik berkepanjangan. Itu seharusnya menciptakan ketertiban dan perdamaian, bukan keonaran dan permusuhan dan dendam berkepanjangan; menciptakan keadilan kolektif, bukan keadilan individual yang diselimuti semangat hedonistis; dan menciptakan peradaban yang lebih baik, bukan tanpa adab serta tingkah yang merendahkan harkat dan martabat bangsa sendiri. 

Kemudian mempersiapkan alih generasi, bukan menjadikan bangsa yang stagnan dalam semua aspek kehidupannya.

Belum Ada Kesadaran

Hampir semua produk perundang-undangan yang lahir sejak era reformasi telah menciptakan keadaan yang bersifat kontroversial dalam kehidupan bangsa ini, baik dilihat dari aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun hukum. Itu bahkan terbukti telah menempatkan peradaban bangsa ini pada posisi terendah sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Tampaknya belum ada kesadaran terutama pada elite politik dan pemangku jabatan negara bahwa kita bangsa Indonesia cinta perdamaian, tetapi sejatinya kita lebih cinta pada kemerdekaan, sebagai bangsa yang berdaulat dan cinta peradaban yang meninggikan harkat dan martabat bangsa. Bukan malah `melelangnya' di hadapan masyarakat internasional. Pencitraan internasional bukan cara dan solusi tepat untuk menempatkan bangsa dan NKRI sejajar dengan bangsa dan negara lain. Negara Indonesia adalah negara hukum. Akan tetapi, hukum tidak akan mewujud tanpa kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan itu tanpa (dibatasi) hukum menjadi kesewenang-wenangan. Dalam menegakkan hukum itulah sejak kemerdekaan kita tidak pernah menikmati karakter hukum sebagaimana telah diuraikan.

Pertanyaannya, mengapa sampai terjadi hal tersebut? Hal itu perlu kita renungkan dan kaji kembali, yakni semua ajaran-ajaran hukum murni dan setiap konsep Barat tentang hukum dalam segala aspek kehidupan bangsa ini.

Tidakkah terdengar absurd ajakan tersebut di tengah-tengah gelombang kemajuan era globalisasi saat ini? Jawabannya tegas, tidak! Konsep dan ideologi globalisasi itu sendiri terbukti gagal karena telah menimbulkan konflik sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum bahkan di antara negara pengambil inisiatifnya.

Ideologi globalisasi justru telah merapuhkan kekuatan bangsa dan negara-negara yang bersangkutan, termasuk Indonesia. Tegaknya hukum di Indonesia bukan ditentukan dan tidak boleh ditentukan bangsa dan negara lain. Begitu pula kesejahteraan dan perdamaian bangsa ini. Kesemuanya itu haruslah ditentukan kesadaran hukum, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang bersumber pada kelima sila Pancasila. Semua konvensi internasional yang telah terjadi dan disepakati akan menjadi bagian dari sistem hukum nasional harus diuji melalui tatanan nilai Pancasila. Dengan demikian, itu sungguh-sungguh merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.

Parameter nilai-nilai Pancasila akan menetapkan sejauh mana konvensi internasional itu cocok dengan nilai etika bangsa Indonesia sehingga perlu dikoreksi dan diharmonisasi untuk memperkuat kepentingan Indonesia menata ulang kehidupan alih generasi bangsa ini.

Model hukum integratif, bila dibandingkan dengan model hukum Kelsenian, lebih cocok digunakan pada tataran teoretis dan praktik pembentukan hukum serta penegakan hukum di Indonesia. Model hukum integratif memperkuat fondasi bangunan sistem hukum Indonesia dan aplikasinya karena menempatkan Pancasila yang merupakan nilai luhur bangsa Indonesia sehingga dapat memperkuat ikatan etika dalam penegakan hukum dan menghaluskan tegaknya hukum melalui etika, baik etika individual, sosial, maupun etika kelembagaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar