Genetika Pulang
|
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi
Kebudayaan FSRD ITB
|
KOMPAS,
21 Agustus 2012
Mereka tidak jadi ke Njati,
apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal
bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak
kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar
sewanya yang kumuh.
Demikian pokok kisah Umar
Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak
mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek
”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo
dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran
ketakberdayaan manusia.
Akan tetapi, barangkali
soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut
merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni
tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata
mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.
Naluri Purba
Mudik adalah sebuah
peristiwa dalam waktu yang melingkar. Peristiwa ini menjadi niscaya mengingat
konsep waktu dalam kebudayaan kita memang melingkar, bukan linear sebagaimana
masyarakat Barat. Kita memang sering mendengar ungkapan emosional dari
seseorang yang pergi karena faktor tertentu, ”saya akan pergi dan tidak akan
kembali”, tetapi ungkapan ini lebih banyak diucapkan manusia modern. Cogan atau
semboyan lama yang populer di Nusantara adalah setinggi-tinggi bangau terbang
akhirnya ke pelimbahan juga.
Keniscayaan atas peristiwa
pulang tersebut bersambung dengan keyakinan bahwa orang harus mengenal tanah
kelahiran sebagai ”ibu kandung kebudayaannya”. Negasinya, barangsiapa tidak
pulang ia akan dicap telah lupa diri, lupa pada asal-usul. Orang yang lupa
sedemikian bisa dianggap memiliki dosa budaya dan karena itu dimungkinkan akan
mendapat ”siksa budaya” juga. Malin Kundang yang dikutuk jadi batu oleh ibunya
adalah mitos populer untuk keyakinan ini. Kisah Malin Kundang bisa dibaca
sebagai ”narasi metaforik” dari sosok yang tidak lagi (mau) mengenal tanah
kelahirannya. Merujuk Lyotard (2004), Malin Kundang merupakan inti pengetahuan
tradisional tentang bagaimana manusia harus bersikap sebagai makhluk budaya.
Saya ingin menyebut hal
tersebut sebagai naluri purba. Berdasarkan naluri ini, mudik jadi semacam
”ritual budaya” yang tak terhindarkan. Oleh sebab itu, tokoh rekaan Kayam dalam
ketakberdayaannya tetap berupaya untuk bisa pulang. Mereka memang tak mampu
bersaing berebut sarana transportasi dengan pemudik lain. Namun, nyanyian yang
kemudian terus-menerus disenandungkan anak-anaknya, ”ke Solo!, ke Njati!,” yang
kemudian jadi renungan si tokoh, menunjukkan: pulang adalah sebuah keharusan,
meskipun hanya sebatas angan-angan.
Di luar cerita, dalam
kehidupan nyata hal yang sama juga berlaku bagi Durmin Aryanto. Sopir bus
lintas trans-Sumatera itu selalu berusaha agar bisa mudik tiap Lebaran. Baginya
mudik bukan sekadar ritual tahunan, melainkan juga kewajiban (Kompas,
10/8/2012). Kita tahu kemudian: terdapat sejuta tokoh sebagaimana rekaan Kayam
dalam cerita, seperti juga ada sejuta Durmin dalam kehidupan nyata.
Refleksi Pulang
Lantas, mengapa peristiwa
mudik mesti bertepatan dengan bulan Ramadhan? Sejauh yang teramati, dalam
masyarakat kita Ramadhan kiranya cenderung menjadi peristiwa budaya juga, bukan
momen bagi penebalan daya religiositas. Lihatlah, yang menonjol pada Ramadhan
adalah ”ritual budaya”: munggahan menjelang puasa, buka puasa bersama, program
seolah-olah Islami di televisi, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, Ramadhan tak
pernah memberikan jejak berarti dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Alih-alih
menjadi reflektif atau menahan diri dalam kontemplasi (puasa) dengan berbagai
kegiatan, Ramadhan malah cenderung melahirkan hiruk-pikuk.
Ramadhan kemudian ditutup
dengan Lebaran. Di sinilah mudik sebagai peristiwa budaya bertemu dengan
Ramadhan yang juga telah jadi peristiwa budaya.
Kita mengetahui, puncak
pencapaian ideal ibadah puasa adalah ”kepulangan”, yakni kembalinya seseorang
kepada fitrahnya sebagai manusia tanpa dosa. Itu sebabnya ibadah puasa ditutup
dengan sebuah hari raya yang disebut Idul Fitri (hari kembali menjadi suci).
Namun, sebagaimana telah disinggung, ”kepulangan substansial” ini agaknya telah
mendangkal jadi kepulangan material (duniawi). Lebaran dengan upacara
bersalaman antartetangga, sahabat, atau kerabat tampak hanya jadi ritual
kebudayaan. Selalu begitu tiap tahun.
Barangkali tidak seluruhnya
negatif. Namun, kiranya menjadi lebih baik jika kita juga memberikan makna
kepulangan secara lebih reflektif. Sekaligus memahami lebih dalam makna
keberangkatan, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Sebagai individu,
dalam hubungan dengan Tuhan, titik berangkat kita sesungguhnya sunyi dalam
ruang dan waktu abadi. Lantas Tuhan ”melempar” Adam ke Bumi, jadi pengembara.
Sebagaimana ceramah para ulama dan pendeta, pengembaraan manusia sesungguhnya
merupakan perjalanan pulang. Sudah menjadi takdir bahwa manusia akan selalu
kembali. Di lapis luar, kita memang seperti tengah berjalan ke depan. Namun, di
lapis dalam sebenarnya kita tengah melangkah ke belakang, kembali ke titik
berangkat.
Sementara itu, sebagai bangsa
kita juga harus selalu ingat dan beranjak pulang dalam pemahaman demikian.
Sudah 67 tahun negeri ini berdiri, tetapi langkah kita tampak belum juga
menemukan arah yang benar. Kita gagal merumuskan masa depan.
Hemat saya, hal itu karena
kita tidak bisa memberikan makna pada jadwal keberangkatan, bahkan untuk
sekadar mengingatnya. Bukankah pada mukadimah UUD 1945 agenda itu telah jelas.
Kita hanya tahu UUD 1945 harus diamandemen, tetapi nyatanya tidak untuk
dilaksanakan. Semoga Lebaran yang nyaris bertepatan dengan perayaan kemerdekaan
ini menjadi momentum yang pas untuk berkemas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar