“Madat” Korupsi
Politik
|
Arbi Sanit ; Guru Besar
Ilmu Ekonomi FEB UGM
|
KOMPAS,
21 Agustus 2012
Ibarat perangkap kenikmatan
madat, korupsi politik menggoda, mengambuhkan, dan mewabahkan korupsi secara
keseluruhan.
Menurut D della Porta dan A
Vannucci (1999), mekanisme operasinya adalah penyalahgunaan kekuasaan
(otoritas) publik lewat pertukaran ke w e nangan mengatur prosedur bertindak,
mengizinkan kegiatan, mengalokasikan sumber daya, dan melayani publik dengan
uang, barang, atau fasilitas. Pertukaran bisa berlangsung antaraktor korupsi:
”agen” selaku pelaksana kewenangan publik, ”klien” sebagai pihak penyedia
imbalan tak sah, dan ”prinsipal” selaku penguasa yang mendelegasikan otoritas tanpa
pengawasan.
Analisis Peter Graeff dalam
JG Lambsdorf bersama M Taube dan M Schramm (eds, 2005) menjelaskan prinsip
kinerja aktor korupsi yang dikondisikan oleh norma dan trust. Norma korupsi
meliputi nilai kerahasiaan, kesukarelaan, dan saling mengawasi, di samping
saling percaya dan tanpa batasan waktu. Keteguhan akan norma itulah yang
melandasi trust antaraktor sehingga pihak terkait berani menghadang risiko
untuk memprakarsai dan merepetisi tindakan korup yang saling menguntungkan
(resiprokal).
Pengalaman panjang Indonesia
dengan korupsi berawal dari masa kerajaan. Onghokham dalam Moch Lubis dan JC
Scott (eds, 1985) menggambarkan sistem ekstraktif Kerajaan Mataram yang
menggunakan mekanisme lungguh dan cacah untuk pemasukan ”pajak” dari rakyat
melalui petinggi sebagai pembeli hak lungguh, di samping memperoleh pemasukan
dari penjualan jabatan kerajaan. Petinggi VOC yang juga mempraktikkan penjualan
jabatan bangkrut karena perusahaan dikuras untuk keuntungan pribadi.
Wertheim dalam AJ Heidenheimer
(ed, 1970) secara tidak langsung mendeskripsikan korupsi Indonesia tahun
1950-an. Ia menyebut sikap pejabat tinggi tahun 1953 dalam menangani koruptor:
menembak mati, memenjarakan, atau memberlakukan pajak koruptor.
Uraian Richard Robison
(2008) tentang program benteng guna memajukan bisnis pribumi dimanfaatkan untuk
membangun bisnis kroni penguasa dalam bentuk perusahaan politisi partai dan
badan usaha partai. Hal ini menunjukkan betapa luas dan kokohnya peluang
korupsi.
Moch Lubis dan JC Scott
(eds, 1993) menggambarkan bahwa zaman Orde Lama peningkatan korupsi berlangsung
karena pembesaran kesempatan dari operasi pemusatan kekuasaan. Berdasarkan
karya Jeffrey A Winters (2011) yang mencermati perkembangan sistem kekuasaan
oligarki era Orde Baru, bisa dipahami berkembangnya korupsi kroni sampai
dinasti. Winters juga menyebutkan demokratisasi tanpa efektivitas lembaga hukum
akan memungkinkan sistem oligarki berlanjut, sebagaimana keterlibatan para
tokoh Partai Demokrat dengan korupsi politik triliunan rupiah. Hatta benar
tatkala menyimpulkan korupsi di Indonesia sudah membudaya, apalagi bila
mencermati keakutan sepanjang kemerdekaan dan pewabahannya akhir-akhir ini.
Begitu pula saat memperhatikan komplikasinya ke segenap peringkat institusi
publik.
Korupsi Politik
Klaim korupsi politik bukan
hanya penyalahgunaan otoritas publik oleh agen dan prinsipalnya yang politisi
dan penguasa jabatan publik, melainkan juga karena secara praktis pertukaran
koruptif itu menyalahgunakan kekuasaan lembaga politik dan pemerintahan.
Koruptor politisi dan penguasa jabatan publik mengemasnya dengan motif
kebutuhan perjuangan kekuasaan.
Karena itu, korupsi politik
berujud dalam bentuk korupsi kepartaian, korupsi pemilu, korupsi parlemen,
korupsi pemerintah, korupsi politik peradilan, dan korupsi birokrasi
pemerintahan. Lebih jauh, korupsi yang ”berumah” di lembaga politik dan
pemerintahan terlanggengkan melalui repetisi dan tersebar ke segala penjuru
dengan cara transformasi.
Ekstensivitas bersama
intensivitas korupsi politik sepanjang kemerdekaan telah berdampak kerusakan
yang luas dan mendalam bagi Indonesia. Korupsi politik telah mengaburkan nilai
kejujuran dan kebenaran sembari menyuburkan sikap munafik, mengukuhkan
kekalahan idealisme terhadap pragmatisme, mengerdilkan praktik demokrasi
menjadi formalisme kebebasan dan HAM, serta mengondisikan sikap dan tindakan
konservatif elite dan penguasa. Korupsi politik yang dilatari sistem kekuasaan
patrimonial ataupun oligarki telah mempertajam kesenjangan sosial-ekonomi
antara elite dan penguasa dengan rakyat kebanyakan dan antardaerah sehingga
memperbesar potensi konflik kelas dan primordial, di samping meningkatkan
kemungkinan disintegrasi bangsa.
Menurut berbagai survei,
korupsi politik kepartaian dan parlemen telah merosotkan kepercayaan publik
terhadap kedua lembaga itu selain mendorong konflik internal partai dan
memperlebar ruang konflik antara parlemen dan Presiden. korupsi politik telah
merangsang korupsi lembaga hukum dan sosial ekonomi di tingkat nasional dan
meningkatkan korupsi lembaga daerah. Prof Sumitro Djojohadikusumo pernah
memperkirakan bahwa korupsi membocorkan 30 persen anggaran negara, sementara
pergunjingan kalangan Bank Dunia menyebut besarannya 40-50 persen.
Kekacauan Sistem
Sejauh ini, analis dan
aktivis pemberantasan korupsi masih terperangkap oleh perdebatan panjang
tentang pilihan pendekatan teoretis untuk melandasi pilihan strategi bertindak.
Kalangan humanis seperti Mochtar Lubis, Ali Alatas, sampai Syafii Maarif lebih
fokus pada pembenahan sikap mental dan tingkah laku aparat negara yang
cenderung anomik dan mengaburkan aturan hukum. Sebaliknya, pemikir dari KPK,
ilmuwan politik, dan kalangan kecil politisi melihat kegagalan sistem kehidupan
adalah akar korupsi yang perlu dibenahi.
Akan tetapi, karena gejala korupsi
politik telah menampilkan sifat kolosal dan sistemik serta
”informal-terorganisasi”,urgensi untuk memahami kekacauan sistem sebagai
penyebab sekaligus alternatif solusi adalah beralasan kuat. Karena itu, dipahami
bahwa seperti ”keunggulan” pengaruh sistem politik dan pemerintahan, korupsi
lembaga politik dan pemerintahan pun mendalihkan korupsi lembaga perekonomian
dan kemasyarakatan serta kebudayaan. Dengan kata lain, ibarat diktum kriminal
bahwa ”kejahatan bukan karena niat, melainkan kesempatan”, maka inkoherensi dan
asinergis struktur, aturan intralembaga politik, ataupun pemerintahan berperan
sebagai pemberi alasan dan penyedia kesempatan bagi koruptor lembaga ekonomi
dan sosial serta budaya.
Jadi, mengoreksi kesenjangan
dan kontradiksi fungsi tatanan dan aturan main intralembaga politik dan
pemerintahan serta koneksinya dengan institusi partnernya di bidang kehidupan
lain adalah solusi substansial dan komprehensif bagi pemberantasan korupsi.
Koherensi dan sinergi Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia (SPPI) bisa
diwujudkan apabila segenap tatanan dan aturan main dilandasi Demokrasi
Presidensialisme (DP). Pada gilirannya, SPPI DP dioperasikan sebagai poros bagi
sistem kehidupan lainnya. Namun, pembe- nahan SPPI DP sebagai solusi jangka
pendek dan menengah perlu didampingkan dengan pembangunan manusia antikorupsi
sebagai solusi jangka panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar