Kemerdekaan dan
Ketercerahan
|
Mochtar Pabottingi ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
21 Agustus 2012
Sepanjang kita bicara pada
ranah politik, kemerdekaan tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan
memandang cakrawala. Suatu bangsa tak akan pernah merdeka tanpa ketercerahan
itu. Jika kesaksian historis Sartono Kartodirdjo, Denys Lombard, dan Anthony
Reid bisa dijadikan pegangan, sudah sejak ratusan tahun silam bangsa kita sudah
memiliki potensi besar dalam hal ketercerahan demikian.
Pada abad ke-17, prinsip Mare liberium! adalah semboyan Sultan
Hasanuddin yang membuatnya berperang melawan ofensif monopolistik VOC yang
didukung oleh tiga atau empat kerajaan sekutu Belanda di Nusantara bagian
timur. Di sekitar masa itu pula orang Bugis-Makassar sudah mengenal konsep
”manusia merdeka” dan masyarakat Melayu di Nusantara sudah menganut prinsip
”raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.”
Pada abad ke-18 konsep
masyarakat ”inland states” di Jawa
tentang waktu, manusia, dan paham ontologis sudah berubah menjadi modern,
antara lain lantaran interaksi positif dengan masyarakat pesisir Nusantara.
Dari situlah Serat Wedhatama muncul. Pada 1912, bangkitlah secara fenomenal
pergerakan nasional pertama, Sarekat Islam, di bumi Nusantara. Pada pertengahan
1913, Ki Hadjar Dewantara menulis parodi cemerlangnya yang langsung menohok
fondasi kolonialisme Hindia Belanda. Puncak bukti ketercerahan dalam hal
cakrawala politik itu tentu saja adalah Pancasila, dasar negara dan falsafah
bangsa kita.
Disusupi Kuasa Kegelapan
Sudah aksiomatis bahwa
selalu terjadi pertandingan antara kekuatan-kekuatan cahaya dan kegelapan.
Praktis sejak dasawarsa pertama hingga dasawarsa keenam, Tanah Air kita
didominasi oleh para leluhur dengan ideologi-ideologi politik kompetitif
tercerahkan yang memandang lepas ke seantero cakrawala. Semua ideologi itu
bersifat memerdekakan. Dari kawah ideologi-ideologi itulah para pendiri bangsa
kita lahir dan bertumbuh. Dan, dari kombinasi pergerakan yang didasari oleh
ideologi-ideologi itu pulalah mereka mengantar bangsa ini ke gerbang
kemerdekaan.
Lalu, lewat rangkaian
panjang blunder dan kepandiran politik yang bermula pada duumvirate 1959,
kekuatan-kekuatan kegelapan menyusup dan kembali menguasai Tanah Air. Maka,
sejak 1965 hingga sekarang, terjadilah avalans pengkhianatan besar-besaran atas
ideal-ideal nasion kita yang cenderung menggadaikan kemerdekaan, Tanah Air,
serta kedaulatan bangsa. Itu silih berganti dilakukan di bawah kepicikan serta
dorongan-dorongan hawa nafsu picik-nista kekuasaan yang dipelopori para
pemimpin negara kita sendiri dengan dalih pembangunan. Suatu dalih yang hampir
sepenuhnya didikte oleh dan ditundukkan pada kepentingan negara-negara adidaya
kapitalis.
Di dalam kegelapan inilah
kita terus terpenjara selama lima dasawarsa, sampai sekarang. Jika dulu pelopor
kegelapan ada di pucuk-pucuk lembaga eksekutif, kepeloporan laku nista-khianat
politik itu sejak 14 tahun terakhir berada pada lembaga legislatif, dengan kompleksitas
nyaris penuh dari eksekutif dan yudikatif.
Bisakah bangsa kita kembali
keluar dari sungkup kuasa kegelapan ini? Jawaban realistisnya: ”Sulit sekali,
tetapi tidak mustahil.” Mengapa sulit? Mengapa tidak mustahil?
Sejak 1998,
kekuatan-kekuatan cahaya pada bangsa kita telah menghadapi uphill battles dalam
dua medan laga besar: di dalam negeri dan di mancanegara.
Era upaya reformasi dimulai
dengan pengkhianatan telak pada rasionalitas upaya reformasi itu sendiri, yaitu
dengan diangkatnya orang kedua Orde Baru sebagai kepala pemerintahan pertama.
Langkah itu bisa disebut biang irasionalitas politik. Sebab dengan pengangkatan
demikian de facto dimaafkanlah semua
laku pengkhianatan besar-besaran Orde Baru atas bangsa kita. Suatu rangkaian
laku khianat berupa kejahatan masif atas kemanusiaan dan rangkaian mega-
korupsi serta penyelewengan telanjang atas ideal-ideal kebangsaan kita.
Dengan naiknya orang kedua
Orde Baru secara bertentangan dengan nalar reformasi, prinsip impunitas pun
dipancangkan sangat kukuh dalam sistem pemerintahan kita justru di saat prinsip
punitas semestinya ditegakkan secara ekstra tegas terhadap semua pelanggaran
dan pengkhianatan Orde Baru. Di atas prinsip impunitas itulah bahtera negara
kita tiada hentinya digerogoti dan dikeroposkan hingga sekarang. Pada hari-hari
ini pun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap terus bersikukuh menganut
prinsip impunitas itu dengan dalih polesan ”menolak intervensi atas proses
hukum” kendati itu berada langsung di bawah wewenangnya. Padahal, semua tahu
bahwa tak ada negara yang tak akan terus kacau dan terseok-seok lantaran
pembiaran impunitas sistemik dalam tubuhnya.
Pengkhianat Demokrasi
Kini bangsa-bangsa,
katakanlah di seluruh dunia, berkiprah dan berpusar dalam paradigma dan
ideal-ideal demokrasi. Namun, situasinya sangat berbeda antara peluang
demokrasi baru pada 1940-an hingga 1960-an. Sepanjang masa itu, negara-negara
kampiun demokrasi terasa masih terus memancarkan sinarnya ke seluruh dunia.
Kala itu demokrasi-demokrasi baru, seperti Indonesia, punya deretan mercusuar
tempatnya terbantu melihat arah dan cakrawala.
Akan tetapi, sejak awal
1990-an, justru tak lama setelah Uni Soviet dan Tembok Berlin runtuh—serta
terbitnya buku pongah Francis Fukuyama, The End of History and the Last
Man—kekuatan kegelapan kembali menunjukkan taringnya dan bergerak serempak
menggerogoti negara-negara kampiun demokrasi dari dalam.
Di Amerika, misalnya,
kuku-kuku kapitalisme korporat dan/atau apa yang disebut Chalmers Johnson the
military-industrial complex secara tak terbendung mulai mengintervensi
mekanisme dan proses-proses inti dalam sistem kenegaraan demi memarjinalkan
para pembayar pajak serta menjarah dunia. Gugatan Marx seperti tak pernah mati.
Secara sangat kasar kekuatan-kekuatan kegelapan di Amerika telah mengkhianati
prinsip-prinsip bapak pendiri bangsanya sendiri dalam The Declaration of Independence.
Di Amerika, pada hari-hari
ini, makin santer gema suara-suara yang mengingatkan masyarakat betapa parahnya
”the rich-poor divide”, betapa
merajalelanya ”the one percent
supremacist” dalam penentuan kebijakan-kebijakan negara di ketiga cabang
pemerintahan, dan betapa gencarnya ”the
criminalization of transparency, dissents, and whistleblowers”. Itu semua
bermuara pada kenyataan telah tergadainya demokrasi kepada penawar tertinggi: ”Democracy is sold to the highest bidder”.
Tersebab untuk membendung
laju pengkhianatan besar-besaran terhadap demokrasi di negara kampiun demokrasi
itulah gerakan ”Occupy Wall Street”,
yang terilhami oleh moda perlawanan kaum muda Mesir di Lapangan Tahrir, dimulai
tahun lalu. Suatu gerakan yang kini tampaknya terus meluas.
Dua Jawaban
Atas dasar kuasa
berjangkauan global dari barisan kapitalisme korporat, maka dalam waktu sekejap
seluruh gejala pengkhianatan atas mekanisme dan prinsip-prinsip demokrasi bisa
dan tampaknya memang juga sudah diekspor dan berlaku di dalam sistem
pemerintahan kita. Kita, misalnya, sungguh patut terus mempertanyakan dan jika
perlu membuktikan secara terbuka sejauh mana kebijakan dan perundangan minyak
dan gas bumi kita telah didikte oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa
dunia.
Apa yang harus kita lakukan
untuk menyelamatkan negara-nasion kita beserta ideal-ideal demokrasi yang
memang tak terpisahkan darinya? Jawabannya adalah dua butir singkat, tetapi mahasulit:
Pertama, marilah kita
kembali memadukan kemerdekaan dan ketercerahan menyimak cakrawala. Peningkatan
kegelapan mestilah diimbangi dengan peningkatan ketercerahan. Kita harus cerdas
membaca perkembangan dunia serta kiprah kekuatan-kekuatan penentu di dalamnya.
Ada sejumlah bahaya baru terhadap nasion dan demokrasi seperti apa yang disebut
”super PAC” serta proliferasi
penggunaan drone yang sungguh perlu
diwaspadai.
Kedua, marilah kita kembali
berjuang dengan tekad, ketulusan, dan ketegaran prima untuk memenangi kedua uphill battles di atas agar kita bisa
membawa negara kita kembali ke rel yang benar menurut tuntunan cakrawala
ideal-idealnya. Keabsahan hukum harus kembali ditegakkan dengan mengakhiri
impunitas sistemik. Dan, kekang harus dipasang sekencang mungkin pada
jaring-jaring kerja kapitalisme korporat yang pada umumnya sama sekali tak
peduli kepada nasib rakyat atau mayoritas warga negara.
Perjuangan ke depan makin
menuntut kehadiran fisik serta ketercerahan cakrawala. Dan, perjalanan ribuan kilometer memang selalu
dimulai dengan beranjak dari hasta ke hasta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar