Akpol
“Meninggalkan” Korupsi
Reza Indragiri Amriel ; Dosen
Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara (Binus)
JAWA
POS, 02 Agustus 2012
SAYA pernah
berkesempatan menjadi salah seorang pemateri utama di acara temu ilmiah yang
diselenggarakan oleh sebuah asosiasi ilmuwan dan praktisi. Akademisi Kepolisian
(Akpol) di Jawa Tengah berperan sebagai tuan rumahnya. Saya merasa tersanjung
mengingat topik yang akan saya presentasikan di Akpol tersebut adalah korupsi
di kepolisian.
Ini bukan kali pertama saya diundang ke Akpol. Sebelumnya, gubernur Akpol (sebelum Irjen Djoko Susilo) juga mengundang saya untuk memaparkan temuan riset saya. Inti riset itu mengkritisi kebijakan penerimaan taruna Akpol dari lulusan sarjana strata satu. Saya membangun keyakinan bahwa sang gubernur memiliki kesungguhan untuk memperluas cakrawala para taruna kepolisian dengan memasukkan hasil studi-studi empiris ke dalam perkuliahan.
Pak Gubernur Akpol menyimak presentasi saya tentang perekrutan polisi hingga usai. Sekian banyak stafnya pun tampak ikut menulis sambil memandangi slide demi slide yang saya tayangkan. Senang sekali melihat tidak hanya para taruna, para pejabat Akpol juga hadir dalam sesi tunggal itu.
Situasi berbeda ketika saya ke Akpol membawakan materi tentang korupsi polisi. Gubernur Akpol berhalangan hadir. Tapi, para pejabat lainnya tetap hadir. Apalagi saat pembicara kunci, Prof Adrianus Meliala, dan ketua asosiasi, Prof Yusti Probowati, berbicara bergantian di podium, kursi-kursi pejabat teras Akpol masih penuh terisi. Dua profesor itu berbicara tentang tema nonkorupsi, tetapi terkait dengan hukum.
Giliran presentasi saya tiba. Ketika itu, pembawa acara belum selesai menyebut nama saya dan seorang kolega yang juga tampil pada sesi yang sama. Saya mempersiapkan diri, ambil ancang-ancang maju ke kursi pemateri. ''Keajaiban'' terjadi: ''barisan bintang'' keluar orbit, ''rangkaian melati'' ikut keluar ruangan.
Dalam standar etika universal, sangat pantas pembicara merasa tidak nyaman manakala orang-orang angkat kaki ketika ia baru akan mulai bicara. Padahal, harap diingat, pembicara hadir karena diminta dan telah dipersilakan untuk bicara.
Pemolisian Memangsa
Kejadian itu langsung membuat saya risau. Tapi, yang lebih merisaukan adalah saat saya mencoba meraba-rasakan isi kepala para taruna. Mereka baru saja memperoleh setidaknya dua pelajaran tak elok.
Pertama bahwa penghormatan diberikan oleh para senior mereka bukan berdasar kemanusiaan, melainkan dikerdilkan berdasar jabatan. Itu yang membuat para bintang dan melati langsung angkat kaki begitu nama-nama besar digantikan oleh akademikus biasa seperti saya.
Penghormatan juga baru dihaturkan setelah ada komando atasan untuk itu. Mirip robot walau robot sejatinya tidak menghormati manusia secara sukarela. Sebab, robot tidak dilengkapi dengan onderdil bernama hati. Beda, seharusnya, polisi.
Kejadian itu saya asosiasikan sebagai potret otentik tentang bagaimana polisi mendapatkan posisi uniknya di hati publik. Wajar kalau masyarakat acap bertanya, atas nama fungsi luhur yang dimilikinya, siapa sesungguhnya yang dilindungi, dilayani, dan diayomi polisi? Pantas saja, walau sudah digaungkan dari satu Kapolri ke Kapolri berikutnya, realisasi community policing atau perpolisian masyarakat (polmas) masih jauh panggang dari api.
Pelajaran kedua berkaitan dengan substansi presentasi. Saat ruang seminar itu akan membahas ihwal perilaku koruptif personel polisi, para petinggi Akpol memilih untuk undur diri. Ini saya maknakan kurangnya kepedulian para bintang dan melati di kawah candradimuka Polri akan tema yang secara global disebut sebagai salah satu wujud pemolisian yang memangsa (predatory policing) itu. Salah satunya, ya korupsi di internal kepolisian.
Saya teringat sekian banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa personel polisi bersentuhan dengan occupational deviance (penyimpangan kerja) sejak penugasan pertama. Temuan lain, proses degradasi moral personel polisi didorong oleh para senior mereka sendiri. Lewat jiwa korsa yang busuk, korupsi bahkan dijadikan sebagai mekanisme sosialisasi itu sendiri. Jiwa korsa yang sama pula yang menumbuhkan code of silence (semacam sumpah "omerta" ) sebagai bahasa organisasi untuk saling menutupi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan rekan-rekan seprofesi.
Perginya para bintang dan melati dari ruang seminar, seperti yang saya lukiskan di atas, adalah miniatur relasi senior-junior itu. Para taruna melihat langsung betapa kencangnya resistansi, termasuk penyepelean, terhadap topik yang secara faktual dinilai banyak kalangan sudah menjadi masalah kronis Polri. Padahal, masyarakat sudah amat muak dengan perilaku korupsi.
Berangkat dari situ, saya percaya diri menyimpulkan tidak ada bahasan tentang korupsi di tubuh kepolisian dalam kurikulum Akpol. Padahal, logika sederhana; jika disepakati bahwa personel polisi rentan terhadap korupsi, seharusnya ada muatan yang signifikan bagi para taruna agar sejak dini ditempa untuk melawan kerentanan tersebut. Termasuk menjadikan topik korupsi polisi tersebut sebagai bahasan akademis mereka.
Satu lagi, di salah satu lembaga pendidikan Polri, berulang-ulang saya tekankan bahwa unit diklat dan unit sumber daya manusia seharusnya menjadi jangkar reformasi kepolisian. Itu hanya bisa diwujudkan apabila persepsi terhadap diklat diubah, yakni menjadi lembaga prestisius yang berisi para punggawa terbaik polisi sebagai tenaga pendidiknya. Lembaga diklat kepolisian mestinya tidak menjelma sebagai tempat "parkir" bagi personel yang bermasalah ataupun sebagai ruang terapi guna mencegah agar calon pensiunan tidak mengalami sindroma pascakuasa.
Namun, saya bergidik ketika menyimak warta bahwa gubernur Akademi Kepolisian saat ini akan diangkut KPK karena diduga tersangkut korupsi. Saya bertanya dalam hati, apa kriteria Polri untuk mengangkat perwira tinggi yang satu itu sebagai orang nomor satu di Akpol. Karena akan pensiun? Atau tanpa kriteria apa pun?
Apa pun itu, bisa jadi, kini saya menemukan satu bahan tambahan untuk mempercantik presentasi saya tentang korupsi personel polisi. Materi ekstra ini, mudah-mudahan, lebih powerful untuk memaksa barisan bintang agar tidak terlalu cepat keluar orbit dan para melati tidak prematur layu sebelum mekar. Setidaknya di Akpol sana. ●
Ini bukan kali pertama saya diundang ke Akpol. Sebelumnya, gubernur Akpol (sebelum Irjen Djoko Susilo) juga mengundang saya untuk memaparkan temuan riset saya. Inti riset itu mengkritisi kebijakan penerimaan taruna Akpol dari lulusan sarjana strata satu. Saya membangun keyakinan bahwa sang gubernur memiliki kesungguhan untuk memperluas cakrawala para taruna kepolisian dengan memasukkan hasil studi-studi empiris ke dalam perkuliahan.
Pak Gubernur Akpol menyimak presentasi saya tentang perekrutan polisi hingga usai. Sekian banyak stafnya pun tampak ikut menulis sambil memandangi slide demi slide yang saya tayangkan. Senang sekali melihat tidak hanya para taruna, para pejabat Akpol juga hadir dalam sesi tunggal itu.
Situasi berbeda ketika saya ke Akpol membawakan materi tentang korupsi polisi. Gubernur Akpol berhalangan hadir. Tapi, para pejabat lainnya tetap hadir. Apalagi saat pembicara kunci, Prof Adrianus Meliala, dan ketua asosiasi, Prof Yusti Probowati, berbicara bergantian di podium, kursi-kursi pejabat teras Akpol masih penuh terisi. Dua profesor itu berbicara tentang tema nonkorupsi, tetapi terkait dengan hukum.
Giliran presentasi saya tiba. Ketika itu, pembawa acara belum selesai menyebut nama saya dan seorang kolega yang juga tampil pada sesi yang sama. Saya mempersiapkan diri, ambil ancang-ancang maju ke kursi pemateri. ''Keajaiban'' terjadi: ''barisan bintang'' keluar orbit, ''rangkaian melati'' ikut keluar ruangan.
Dalam standar etika universal, sangat pantas pembicara merasa tidak nyaman manakala orang-orang angkat kaki ketika ia baru akan mulai bicara. Padahal, harap diingat, pembicara hadir karena diminta dan telah dipersilakan untuk bicara.
Pemolisian Memangsa
Kejadian itu langsung membuat saya risau. Tapi, yang lebih merisaukan adalah saat saya mencoba meraba-rasakan isi kepala para taruna. Mereka baru saja memperoleh setidaknya dua pelajaran tak elok.
Pertama bahwa penghormatan diberikan oleh para senior mereka bukan berdasar kemanusiaan, melainkan dikerdilkan berdasar jabatan. Itu yang membuat para bintang dan melati langsung angkat kaki begitu nama-nama besar digantikan oleh akademikus biasa seperti saya.
Penghormatan juga baru dihaturkan setelah ada komando atasan untuk itu. Mirip robot walau robot sejatinya tidak menghormati manusia secara sukarela. Sebab, robot tidak dilengkapi dengan onderdil bernama hati. Beda, seharusnya, polisi.
Kejadian itu saya asosiasikan sebagai potret otentik tentang bagaimana polisi mendapatkan posisi uniknya di hati publik. Wajar kalau masyarakat acap bertanya, atas nama fungsi luhur yang dimilikinya, siapa sesungguhnya yang dilindungi, dilayani, dan diayomi polisi? Pantas saja, walau sudah digaungkan dari satu Kapolri ke Kapolri berikutnya, realisasi community policing atau perpolisian masyarakat (polmas) masih jauh panggang dari api.
Pelajaran kedua berkaitan dengan substansi presentasi. Saat ruang seminar itu akan membahas ihwal perilaku koruptif personel polisi, para petinggi Akpol memilih untuk undur diri. Ini saya maknakan kurangnya kepedulian para bintang dan melati di kawah candradimuka Polri akan tema yang secara global disebut sebagai salah satu wujud pemolisian yang memangsa (predatory policing) itu. Salah satunya, ya korupsi di internal kepolisian.
Saya teringat sekian banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa personel polisi bersentuhan dengan occupational deviance (penyimpangan kerja) sejak penugasan pertama. Temuan lain, proses degradasi moral personel polisi didorong oleh para senior mereka sendiri. Lewat jiwa korsa yang busuk, korupsi bahkan dijadikan sebagai mekanisme sosialisasi itu sendiri. Jiwa korsa yang sama pula yang menumbuhkan code of silence (semacam sumpah "omerta" ) sebagai bahasa organisasi untuk saling menutupi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan rekan-rekan seprofesi.
Perginya para bintang dan melati dari ruang seminar, seperti yang saya lukiskan di atas, adalah miniatur relasi senior-junior itu. Para taruna melihat langsung betapa kencangnya resistansi, termasuk penyepelean, terhadap topik yang secara faktual dinilai banyak kalangan sudah menjadi masalah kronis Polri. Padahal, masyarakat sudah amat muak dengan perilaku korupsi.
Berangkat dari situ, saya percaya diri menyimpulkan tidak ada bahasan tentang korupsi di tubuh kepolisian dalam kurikulum Akpol. Padahal, logika sederhana; jika disepakati bahwa personel polisi rentan terhadap korupsi, seharusnya ada muatan yang signifikan bagi para taruna agar sejak dini ditempa untuk melawan kerentanan tersebut. Termasuk menjadikan topik korupsi polisi tersebut sebagai bahasan akademis mereka.
Satu lagi, di salah satu lembaga pendidikan Polri, berulang-ulang saya tekankan bahwa unit diklat dan unit sumber daya manusia seharusnya menjadi jangkar reformasi kepolisian. Itu hanya bisa diwujudkan apabila persepsi terhadap diklat diubah, yakni menjadi lembaga prestisius yang berisi para punggawa terbaik polisi sebagai tenaga pendidiknya. Lembaga diklat kepolisian mestinya tidak menjelma sebagai tempat "parkir" bagi personel yang bermasalah ataupun sebagai ruang terapi guna mencegah agar calon pensiunan tidak mengalami sindroma pascakuasa.
Namun, saya bergidik ketika menyimak warta bahwa gubernur Akademi Kepolisian saat ini akan diangkut KPK karena diduga tersangkut korupsi. Saya bertanya dalam hati, apa kriteria Polri untuk mengangkat perwira tinggi yang satu itu sebagai orang nomor satu di Akpol. Karena akan pensiun? Atau tanpa kriteria apa pun?
Apa pun itu, bisa jadi, kini saya menemukan satu bahan tambahan untuk mempercantik presentasi saya tentang korupsi personel polisi. Materi ekstra ini, mudah-mudahan, lebih powerful untuk memaksa barisan bintang agar tidak terlalu cepat keluar orbit dan para melati tidak prematur layu sebelum mekar. Setidaknya di Akpol sana. ●
Saya salut dengan tulisan reza ini...sebagai salah satu mantan muridnya beliau saya tau betul sikap beliau yg selalu ingin "tampil" elegan dan jumawa...hampir seperti motifator bukan sebagai dosen...tulisan ini menurut sy sama dengan "onani" dengan ejekulasi dini...artinya apa yg ada dipikirannya adalah gambaran umum yg dia ketahui sendiri...dia nikmati detil itu hingga akhirnya dia langsung memutuskan sendiri apa yg ada dipikirannya....tanpa ada penelitian terlebih dahulu (padahal sbg akademisi setiap hal hrs ada dasarnya bukan intuisi)...sebagai mantan muridnya sy kecewa...bukan krn tidak percaya adanya korupsi ditubuh polri, namun tidak ada bedanya antara reza indragiri dengan tukang beca yg membicarakan mengenai gosip atau berita terhangat...krn tidak memberikan solusi...tulisan diatas jg sy nilai sebagai sebuah "curhat" seorang pembicara yg mungkin dianggap kurang menarik dan merasa bahwa paparannya itu ternyata benar (setelah ada kasus korp lantas)...semoga kedepan beliau lebih memberikan koreksi, umpatan dan segala macam kekecewaan yg disertai dengan solusi yg komprehensif...
BalasHapusTerlihat jelas sekali Bung Anonim membela korps Polisi. Sekarang simpel aja: coba cari Polisi yang bersih, ada nggak? Mulai mengurus SIM, STNK, SKCK, saya belum menemukan Polisi yang jujur, apalagi di lapangan, coba cari di daerah mana pun, ada nggak Polisi yang bersih & jujur?
Hapus