Pilgub
oleh DPRD Ancam Daulat Rakyat
Sabam Leo Batubara ; Wartawan Senior
SINDO,
02 Agustus 2012
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, atas nama Pemerintah RI, telah
menyampaikan RUU Pemilihan Kepala Daerah ke DPR. Isinya, gubernur nantinya
tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh DPRD.
Menurut Mendagri, perubahan itu akan meminimalkan korupsi dan
konflik seusai pemilihan. Usul perubahan itu disambut oleh jaringan
pendukungnya. Dalam pembahasan RUU Pilkada di Komisi II DPR (6 Juli 2012) usul perubahan–gubernur
kembali dipilih oleh DPRD– didukung oleh Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh
Indonesia (ADPSI), Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi
DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten
Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), dan
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Bahkan ADKASI mengusulkan agar seluruh jenjang mulai dari gubernur
hingga bupati/wali kota tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tapi oleh
DPRD. Diperkirakan 560 anggota DPR akan menyetujui RUU Pilkada tersebut dengan
segera, karena akan memperkuat kekuasaan oligarki anggota Dewan dan parpol
pengusungnya.
Tolak Tirani Penguasa
Kenapa rencana Mendagri itu harus ditolak? Pertama, karena bertentangan dengan keinginan rakyat atas perubahan. Konflik tentang siapa yang berdaulat dalam penyelenggaraan negara sudah terjadi sejak lama. Kendati menurut UUD 1945 kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi di era Orde Lama dan Orde Baru dalam pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah yang berdaulatadalahpenguasa rezim.
Rakyat hanya ditempatkan sekadar bystander,bahkan sekadar burung beo yang harus mengamini semua penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Hasilnya, rakyat menderita dan penguasa rezim terpuruk. Tumbangnya rezim Orde Baru mendorong kebangkitan rakyat menuntut perubahan, agar kebijakan penguasa rezim yang membodohi rakyat diakhiri.
Gerakan reformasi merespons. Amendemen konstitusi dalam berbagai pasal mereduksi kekuasaan legislatif dan eksekutif dan memperkuat kedaulatan rakyat. Undang-undang turunannya menetapkan sejak 2004 pemilu legislatif langsung oleh rakyat dan pemilihan presiden juga langsung oleh rakyat. Berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dan berlaku efektif sejak 1 Juni 2005.
Kenapa kedaulatan rakyat untuk dapat memilih langsung siapa gubernur di daerahnya baru berjalan tujuh tahun sudah harus dicabut? Tidakkah hal itu isyarat berahi tirani eksekutif dan tirani legislatif masih merupakan bahaya laten?
Tolak Tirani Penguasa
Kenapa rencana Mendagri itu harus ditolak? Pertama, karena bertentangan dengan keinginan rakyat atas perubahan. Konflik tentang siapa yang berdaulat dalam penyelenggaraan negara sudah terjadi sejak lama. Kendati menurut UUD 1945 kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi di era Orde Lama dan Orde Baru dalam pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah yang berdaulatadalahpenguasa rezim.
Rakyat hanya ditempatkan sekadar bystander,bahkan sekadar burung beo yang harus mengamini semua penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Hasilnya, rakyat menderita dan penguasa rezim terpuruk. Tumbangnya rezim Orde Baru mendorong kebangkitan rakyat menuntut perubahan, agar kebijakan penguasa rezim yang membodohi rakyat diakhiri.
Gerakan reformasi merespons. Amendemen konstitusi dalam berbagai pasal mereduksi kekuasaan legislatif dan eksekutif dan memperkuat kedaulatan rakyat. Undang-undang turunannya menetapkan sejak 2004 pemilu legislatif langsung oleh rakyat dan pemilihan presiden juga langsung oleh rakyat. Berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dan berlaku efektif sejak 1 Juni 2005.
Kenapa kedaulatan rakyat untuk dapat memilih langsung siapa gubernur di daerahnya baru berjalan tujuh tahun sudah harus dicabut? Tidakkah hal itu isyarat berahi tirani eksekutif dan tirani legislatif masih merupakan bahaya laten?
Kedua, langkah mundur Mendagri tersebut jika tidak dapat
dihentikan bukan tidak mungkin menjadi langkah awal kembali ke paradigma rezim
Orde Baru.
Langkah berikutnya bupati dan wali kota kembali dipilih oleh DPRD. Karena elite bangsa kita dikenal tidak bertradisi menaati sistem dan negara terkesan diselenggarakan tanpa kepastian politik dan hukum, DPR/ MPR dapat saja mengamendemen konstitusi agar presiden kembali dipilih MPR.
Ketiga, konsep gubernur dipilih DPRD akan kembali menempatkan
rakyat sekadar “burung beo”. Apa yang terjadi dengan Pilkada DKI Jakarta 11
Juli 2012 menjadi pelajaran berharga. Dibolehkannya calon independen oleh
undang-undang memberi kesempatan bagi Faisal Basri-Biem Benjamin— tokoh yang
dikenal sebagai jujur, bersih, memiliki integritas dan outspoken—memaksa partai-partai politik untuk dapat mengalahkan
calon incumbent Fauzi Bowo merekrut calonnya yang terbaik. PKS mencalonkan
Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini. Golkar, PPP, PDS menjagokan Alex
Noerdin-Nono Sampono. PDIP, Gerindra mencalonkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja.
Menjelang hari pemilihan 11 Juli, lima lembaga survei Indo
Barometer, Sugeng Sarjadi School of Government, Lingkaran Survei Indonesia,
Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia merilis hasil surveinya, Foke-Nara akan
memenangkan suara pemilih, masing-masing sebesar 36,6%, 26,6%, 43,7%, 47,2% dan
49,6%. Sementara Jokowi-Ahok akan meraih masing-masing 17,9%, 25,5%, 14,4%,
15,2% dan 15,8%.
Terpengaruh oleh hasil survei itu Foke-Nara yakin akan menang dalam satu putaran pemilihan. Namun, warga Jakarta berhasil mempertontonkan perubahan. Mereka terbukti telah matang dan fair. Pemilih tampil cerdas. Ketika quick count merilis hasil pemilihan: Jokowi-Ahok meraih 42,59% suara, Foke-Nara 34,32%, Hidayat-Didik 11,40%, Faisal-Benjamin 5, 07%, Alex-Nono 4,74% dan Hendardji-Riza 1,88%. Pemilihan usai dan sama sekali tidak ada sengketa.
Kendati, hasil survei lima lembaga survei terkesan pro Foke, iklan kampanye Foke dan Alex mendominasi, dan Jokowi-Ahok diberondong black-campaign bermuatan SARA, ternyata 43% rakyat pemilih percaya bahwa performa Jokowi-Ahok sebagai “bature” rakyat akan membawa Jakarta menuju perubahan yang lebih baik.
Terpengaruh oleh hasil survei itu Foke-Nara yakin akan menang dalam satu putaran pemilihan. Namun, warga Jakarta berhasil mempertontonkan perubahan. Mereka terbukti telah matang dan fair. Pemilih tampil cerdas. Ketika quick count merilis hasil pemilihan: Jokowi-Ahok meraih 42,59% suara, Foke-Nara 34,32%, Hidayat-Didik 11,40%, Faisal-Benjamin 5, 07%, Alex-Nono 4,74% dan Hendardji-Riza 1,88%. Pemilihan usai dan sama sekali tidak ada sengketa.
Kendati, hasil survei lima lembaga survei terkesan pro Foke, iklan kampanye Foke dan Alex mendominasi, dan Jokowi-Ahok diberondong black-campaign bermuatan SARA, ternyata 43% rakyat pemilih percaya bahwa performa Jokowi-Ahok sebagai “bature” rakyat akan membawa Jakarta menuju perubahan yang lebih baik.
Keempat, usul perubahan pemerintah tersebut berpotensi
menyentralisasikan korupsi. Pilkada tidak dapat dimungkiri berbiaya
besar. Misalnya, pemilihan Gubernur Jateng Mei 2013 bersumber APBD
menganggarkan Rp900 miliar. Biaya seorang calon gubernur ditaksir antara Rp10
miliar-100 miliar. Sisi negatif dari pemilihan gubernur seperti itu selain
menghabiskan triliunan rupiah juga menimbulkan ekses seperti jual beli suara,
dan mendorong korupsi.
Untuk mengembalikan pinjaman calon gubernur terpilih terpaksa menenderkan jabatan dan meminta komisi dari proyek-proyek yang ada. Segi positifnya, sebagian besar dana tersebut terdistribusi merata untuk pembuatan kartu pemilih, pembelian kertas suara, kotak suara, tinta, biaya transportasi, tim sukses, sukarelawan, lembaga survei, iklan kampanye di media massa dan media luar ruang seperti baliho, spanduk, stiker, dan honor untuk peserta talkshows di media televisi dan radio, bantuan untuk lembaga agama dan sosial lainnya.
Segi positif lainnya yang tidak boleh dilupakan, dana besar itu juga bagian dari biaya politik untuk mengedukasi para politisi untuk menjadi bersih, fair dan matang berdemokrasi, dan membantu pencerdasan warga untuk semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya. Apa sisi positif dan negatifnya jika gubernur dipilih DPRD?
Untuk mengembalikan pinjaman calon gubernur terpilih terpaksa menenderkan jabatan dan meminta komisi dari proyek-proyek yang ada. Segi positifnya, sebagian besar dana tersebut terdistribusi merata untuk pembuatan kartu pemilih, pembelian kertas suara, kotak suara, tinta, biaya transportasi, tim sukses, sukarelawan, lembaga survei, iklan kampanye di media massa dan media luar ruang seperti baliho, spanduk, stiker, dan honor untuk peserta talkshows di media televisi dan radio, bantuan untuk lembaga agama dan sosial lainnya.
Segi positif lainnya yang tidak boleh dilupakan, dana besar itu juga bagian dari biaya politik untuk mengedukasi para politisi untuk menjadi bersih, fair dan matang berdemokrasi, dan membantu pencerdasan warga untuk semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya. Apa sisi positif dan negatifnya jika gubernur dipilih DPRD?
Positifnya, biaya dari triliunan rupiah dapat ditekan menjadi
misalnya Rp300 miliar. Semua puluhan kegiatan seperti dikemukakan di atas
tidak diperlukan lagi. Urusan pemilihan hanya melibatkan 9 parpol dan fraksinya
di DPRD. Negatifnya, dana Rp300 miliar tersebut cukup dibagikan kepada 50%
anggota DPRD masing-masing sebesar Rp2 miliar dan sisanya sekitar Rp200 miliar
menjadi biaya rental kepada beberapa parpol pengusung.
Sejarah pasti akan berulang kembali. Pemilihan presiden, anggota legislatif dan kepala daerah di era Orde Baru berbiaya minim, efisien dan efektif. Korupsi terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan. Akhirnya penguasa rezim tumbang, setelah rakyat terlebih dulu marah, mengamuk dan membakar. Apa daur (sequence) seperti itu yang diinginkan?
Referendum
Dari uraian di atas tersimpul sebagai berikut. Jika pemerintah dan DPR ingin meminimalkan korupsi dalam penyelenggaraan pilkada dan meniadakan terjadinya sengketa usai pemilihan, apakah solusinya harus dengan mencabut kedaulatan rakyat untuk memilih langsung gubernurnya? Atau justru memberdayakan penyelenggaraan pilkada gubernur langsung dipilih rakyat dengan membantu rakyat agar semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya dan mengedukasi para politisi untuk tampil matang, fair, dan bersih?
Prestasi DKI Jakarta dalam Pilkada 11 Juli 2012 yang menampilkan semua parpol dan enam pasang calon gubernur dan wakilnya bersikap matang dan fair, dan warga pemilih tampil cerdas, serta usai pemilihan sama sekali tanpa sengketa, semestinya menjadi contoh untuk diteladani, bukan untuk dinegasikan.
Namun, kalau pemerintah dan DPR masih ngotot agar gubernur dipilih DPRD dan tidak lagi langsung oleh rakyat, maka berdasarkan paradigma demokrasi semestinya pemerintah dan DPR langsung meminta kekuasaan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam suatu referendum. Tanpa itu, putusan pemerintah dan DPR bahwa gubernur kembali dipilih DPRD adalah langkah awal menuju tirani eksekutif dan tirani legislatif. ●
Sejarah pasti akan berulang kembali. Pemilihan presiden, anggota legislatif dan kepala daerah di era Orde Baru berbiaya minim, efisien dan efektif. Korupsi terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan. Akhirnya penguasa rezim tumbang, setelah rakyat terlebih dulu marah, mengamuk dan membakar. Apa daur (sequence) seperti itu yang diinginkan?
Referendum
Dari uraian di atas tersimpul sebagai berikut. Jika pemerintah dan DPR ingin meminimalkan korupsi dalam penyelenggaraan pilkada dan meniadakan terjadinya sengketa usai pemilihan, apakah solusinya harus dengan mencabut kedaulatan rakyat untuk memilih langsung gubernurnya? Atau justru memberdayakan penyelenggaraan pilkada gubernur langsung dipilih rakyat dengan membantu rakyat agar semakin cerdas menggunakan hak-hak sipilnya dan mengedukasi para politisi untuk tampil matang, fair, dan bersih?
Prestasi DKI Jakarta dalam Pilkada 11 Juli 2012 yang menampilkan semua parpol dan enam pasang calon gubernur dan wakilnya bersikap matang dan fair, dan warga pemilih tampil cerdas, serta usai pemilihan sama sekali tanpa sengketa, semestinya menjadi contoh untuk diteladani, bukan untuk dinegasikan.
Namun, kalau pemerintah dan DPR masih ngotot agar gubernur dipilih DPRD dan tidak lagi langsung oleh rakyat, maka berdasarkan paradigma demokrasi semestinya pemerintah dan DPR langsung meminta kekuasaan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam suatu referendum. Tanpa itu, putusan pemerintah dan DPR bahwa gubernur kembali dipilih DPRD adalah langkah awal menuju tirani eksekutif dan tirani legislatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar