Problematika
Istilah ‘Islamis’
Firman Noor ; Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Peneliti
Madya LIPI, PhD dari University of Exeter Inggris
REPUBLIKA, 09 Juli 2012
REPUBLIKA, 09 Juli 2012
Pada sebuah pertemuan ilmiah, salah
seorang pengajar senior di Australian National University (ANU) Prof Ann Kumar
pernah menyampaikan keberatan mengenai istilah "Islamis" untuk
melabelkan kelompok umat Islam yang berpolitik. Dia berkata, mengapa ketika
umat Islam berpolitik dengan melandaskan diri pada nilai-nilai kegamaan yang
dianutnya mudah saja orang menyebutnya sebagai "Islamis". Dia melanjutkan,
tapi mengapa tatkala orang non-Muslim berpolitik dengan keyakinannya, pengamat
Barat tidak serta-merta menyebutnya sebagai "Hinduist",
"Buddhist", ataupun "Christianist".
Memang dalam kenyataannya, kalangan
Hindu yang tergabung dalam Bharatiya Janata Party (BJP), yang berorientasi
Hindu amat kental di India, tidak serta-merta disebut sebagai "Hinduist".
Begitu pula dengan partai Christian
Democratic Union (CDU) di Jerman dan berbagai partai agama sejenisnya atau
setidaknya berlabelkan agama Kristen juga tidak disebut dengan istilah
"Christianist".
Padahal, jelas-jelas partai-partai itu menggunakan label keagamaan yang dianutnya.
Kemudian, dengan identitas Buddha yang kuat, mengapa pemerintahan Sinhala di
Sri Lanka tidak dengan mudah disebut Rezim "Buddhist", yang berperang
dengan kalangan minoritas Hindu.
Sebagian kalangan akademisi ataupun
politisi di Barat dan kebanyakan pengamat kerap demikian objektif dan hati-hati
dalam menerapkan istilah dan label pada sebuah gerakan yang bernuasakan
keagamaan. Mungkin itu pulalah mereka tidak dengan mudah menyebut sebuah
gerakan atau organisasi sebagai 'Hinduist'', 'Buddhist', atau 'Christianist'.
Namun, manakala mengkaji gerakan Islam, mereka seolah kehilangan sikap
kehati-hatiannya itu. Dengan demikian, kerap sebagian dari mereka dengan mudahnya
menyamaratakan semua gerakan Islam itu dengan sebutan Islamis. Kecenderungan
ini, menurut Prof Ahmad Suhelmi, bukanlah hal baru. Cendekiawan sekelas Max
Weber sekalipun, yang demikian berhati-hati dalam mengupas eksistensi agama
semacam Protestan dan "agama Tokugawa", terlihat cair manakala
membahas Islam. Alhasil, berbeda dengan Protestan dan agama Tokugawa yang
diagungkan Weber dekat dengan semangat modernisme, Islam dipandang minor dan
dianggap antimodernisme.
Tidak saja menjadi tidak imbang dan
subjektif, sayangnya, istilah Islamis itu kerap lebih bernuansakan negatif dan
bahkan melecehkan. Dengan demikian, tatkala istilah Islamis itu diterapkan pada
sebuah gerakan atau tokoh, hampir dapat dipastikan muncul pencitraan dan
pembahasan yang kental dan disandingkan dengan sikap kekerasan, tidak toleran,
antidemokrasi, dan setumpuk citra negatif lainnya.
Selain persoalan di atas, dalam lingkup
akademis, istilah Islamis sebenarnya cukup sulit diterapkan untuk melakukan
klasifikasi ilmiah. Penerapannya lebih sulit jika dibandingkan istilah
"tradisionalisme Islam", "modernisme Islam", atau bahkan
"fundamentalisme Islam". Mengapa? Karena secara substansi istilah ini
mengandung spektrum yang amat luas. "Islamis" dengan pemahaman bebas
dan singkat dapat diartikan "mereka yang menggunakan Islam sebagai
landasan berpikir dan bergerak". Sama dengan komunis, misalnya, sebagai penanda
bagi mereka yang menggunakan komunisme (Marxisme-Leninisme) sebagai kerangka
berpikir atau berperilaku.
Dalam kerangka sederhana dan tanpa
embel-embel itu, dapat segera terlihat bahwa istilah Islamis ini mencakup semua
gerakan dan pemikiran yang mendapatkan inspirasi dari ajaran-ajaran Islam. Hal
ini berarti termaktub di dalamnya seluruh pemikir Islam, mulai yang berorientasi
tradisionalis, modernis, fundamentalis, dan liberalis. Istilah ini juga menaungi
seluruh partai dan gerakan Islam, baik yang berkecenderungan substansialistik
maupun formalistik. Dengan demikian, menyebut Islamis berarti secara substansi
merujuk pada keseluruhan umat Islam, yang kebanyakan dari mereka dituntun atau
terins pirasi oleh agama yang dianutnya.
Kalau kemudian ada pembatasan lebih
lanjut untuk lebih membela kategorisasi Islamis dengan mengatakan Islamis yang
dimaksud adalah --selain terinspirasi oleh Islam-- "mereka yang mengedepankan
simbol-simbol keislaman", sebagaimana yang dikatakan, misalnya, oleh Greg
Barton (2004), batasan Islamis dengan embel-embel ini pun tetap akan mencakup
banyak sekali varian pemikiran dan gerakan.
Dalam konteks gerakan saja, istilah
Islamis semacam ini setidaknya mencakup, mulai dari (1) mereka yang mengedepankan
cara-cara damai, konstitusional, dan demokratis, (2) mereka yang mengedepankan
cara damai, tapi tidak mengakui demokrasi, (3) mereka yang tidak mengakui
konstitusi dan tidak pula menolak cara-cara kekerasan, (4) mereka yang mengakui
eksistensi negara yang ada berikut konstitusinya, tetapi tidak asing dengan cara-cara
kekerasan, (5) hingga mereka yang mendahulukan cara-cara yang inkonstitusional dan kekerasan.
Di Indonesia, misalnya, untuk kelom
pok yang pertama, termasuk di dalamnya Partai Sarekat Islam Indonesia, kebanyakan
partai Islam pada era Demokrasi Liberal, seperti Masyumi dan partai-partai yang
tergabung dalam "Faksi Islam" di parlemen, yang salah satu tuntutannya
menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Beberapa partai Islam, semisal
PKS, PPP, dan PBB, pada era Reformasi, juga beberapa ormas Islam yang
berkomitmen atas penegakan syariah Islam, tetapi mengupayakannya dengan
cara-cara persuasif.
Kelompok yang kedua dapat direpresentasikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
yang mengedepankan cara damai, tapi tidak mengakui konstitusi negara dan demokrasi.
Kalangan DI/TII masuk dalam kategori ketiga. Front Pembela Islam (FPI) dapat
dikategorikan pada kelompok yang keempat. Dan, sisanya adalah kelompok yang
dekat dengan cara-cara teroris yang cenderung anti-Islam, meski bagi mereka
Islam dan kegelisahan umat Islam adalah inspirasinya.
Dengan menggunakan definisi Islamis
sedemikian, akan kuat pula kecenderungan untuk menyamakan begitu saja seorang Natsir
yang demokrat dengan seorang Baasyir yang anti-demokrasi. Jika kemudian istilah
Islamis dikembangkan lagi dengan menambah embel-embel "dengan cara-cara
yang mengedepankan kekerasan", setelah tambahan definisi sebelumnya, nah,
di situlah letak ketidakadilan dan ketidakobjektifan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar