Sedekah
untuk IMF?
Jusman Dalle ; Analis Ekonomi Society Research and Humanity Development
Institute, Analis pada Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia Makassar
REPUBLIKA, 09 Juli 2012
Pada pertemuan G-20 di Los Cabos,
Meksiko, Juni lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memaksa anggota G-20
memberi bantuan dalam bentuk pinjaman atau sumbangan untuk mengantisipasi
dampak krisis global. IMF mengancam,
jika anggota G-20 tidak segera memberi bantuan untuk disalurkan kepada negara
yang didera krisis, krisis di Eropa akan turut menghancurkan ekonomi
negara-negara di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika, termasuk mengancam ekspor
negara-negara anggota G-20. Selama ini, donasi terbesar IMF datang dari Amerika
dan Eropa.
Namun, negara-negara yang dulu dikultuskan
sebagai driver ekonomi dunia itu
justru jatuh miskin. Sebagai salah satu anggota G-20, Pemerintah Indonesia
tentu tak enak hati jika tidak turut mengamini permintaan lembaga yang pernah
melilit Indonesia dengan utang itu. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo
mengatakan, memberikan bantuan kepada IMF sesungguhnya mencerminkan stabilitas
keuangan bangsa dan kemampuan membantu lembaga peminjam yang berpusat di
Washington itu.
Hanya karena gengsi, Indonesia lantas
latah mengikuti Cina yang menyiapkan 10,43 miliar dolar AS atau 10 persen dari
total kebutuhan IMF. Kita harus realistis dengan PDB Indonesia masih rendah,
berkisar 3.500-4.000 dolar AS(?).
Sementara, cadangan devisa kita hanya 111,5 miliar dolar AS-apalagi imbas krisis
yang mengoreksi devisa akibat tertahannya ekspor-impor. Bandingkan dengan Cina
yang cadangan devisanya di atas 2,5 triliun dolar AS dan PDB dua kali lipat
Indonesia.
Niat baik membawa Indonesia berperan
lebih jauh dalam percaturan ekonomi global tentu sah-sah saja dan tak akan mendapat
kritik ketika rencana tersebut realistis dan relevan dengan kon disi bangsa
kita. Namun faktanya, Indonesia sendiri belumlah bebas dari berbagai masalah
pelik di bidang sosial ekonomi yang kadung membelit; mulai dari kemiskinan, pengangguran,
keterbelakangan pendidikan, infrastruktur tak layak, utang membengkak, dan
berbagai problem lainnya.
Seperti dilansir oleh Badan Pusat
Statistik, warga miskin di Indonesia pada Maret 2012 masih tercatat 29,13 juta
jiwa atau 11,96 persen dari total penduduk. Tak hanya itu, angka pengangguran
juga masih sangat besar, mencapai 8,12 juta dari 119,4 juta angkatan kerja. Memberikan
bantuan dana bailout sebesar 1 miliar dolar AS atau setara Rp 9,4 triliun
kepada IMF, tentu mencederai rasa keadilan rakyat.
Bagi IMF, bantuan 1 miliar dolar AS
dari Indonesia sebenarnya tak akan berarti banyak. Sangat jauh dari dana segar
yang mereka butuhkan sebesar 430 miliar dolar AS. Ceritanya tentu menjadi berbeda
jika Rp 9,4 triliun dialokasikan untuk mengungkit kesejahteraan rakyat, seperti
bantuan modal bagi pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dari total 52,764
juta UMKM di Indonesia saat ini, baru 24,88 juta yang bisa mengakses bantuan
modal perbankan.
Padahal pada forum yang sama, G-20
Summit, Indonesia dijadikan model sebagai negara yang katanya sukses membuka
akses keuangan bagi rakyatnya, termasuk pengusaha. Di sisi lain, peran UMKM
dalam membuka lapangan kerja sa ngat besar. Lebih dari 90 persen peker ja di
Indonesia bekerja pada sektor UMKM. Tak hanya menjadi kritik atas keberpihakan
pada pelaku ekonomi domestik yang menjadi sabuk pengaman bagi Indonesia dari
krisis, sekarang negara ini juga masih menjadi negara pengutang.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang Kementerian Keuangan per Mei 2012 menunjukkan, total utang Pemerintah
Indonesia mencapai Rp 1.944,14 triliun atau naik Rp 140,65 triliun dari posisi
pada akhir 2011 yang mencapai Rp 1.803,49 triliun. Terakhir, dalam kunjungannya
ke Australia pada awal Juli ini, Indonesia akan kembali dikucuri utang sebesar
Rp 9 triliun oleh Negara Kanguru itu. Komposisi utang pemerintah terdiri atas
pinjaman Rp 639,88 triliun dan surat berharga Rp 1.304,26 triliun. Adalah paradoks
jika di tengah tumpukan dan beban pembayaran utang, pemerintah justru
memberikan piutang kepada IMF.
Dengan rasio utang 26,5 persen atau
nyaris diambang batas toleransi, semestinya anggaran yang ada digunakan pada sektor
produktif. Utang yang membengkak jelas menciptakan situasi yang berbahaya untuk
jangka panjang. Jika APBN terbebani pembayaran utang disertai bunganya,
pembangunan berjalan lamban karena kita sibuk bayar utang. Belum lagi APBN yang
baru pertengahan tahun, tetapi telah mengalami defisit mengerikan hingga Rp 60
triliun.
Pun dengan peran IMF selama ini
dalam memajukan ekonomi global juga dipertanyakan. Di dalam bukunya yang
berjudul Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional(2002),
peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz, yang juga pernah menjadi wakil
presiden Bank Dunia, mengatakan, IMF tak lain hanyalah perpanjangan tangan
Amerika dan negara- negara kuat di Eropa untuk mengintervensi negara lain.
IMF datang ke negara berkembang
memberikan resep liberalisasi ekonomi sehingga memudahkan jalan bagi hegemoni kekuatan
yang ada di dalamnya untuk melakukan imperialisme ekonomi. Ingat, Indonesia
adalah termasuk yang dirugikan oleh IMF melalui berbagai kebijakan liberalisasi
ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar