ARAH BARU
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Arah
Baru Sektor Keuangan
Laporan Diskusi Panel
Ekonomi KOMPAS
KOMPAS,
10 Juli 2012
Setelah krisis ekonomi 1998,
prinsip kehati-hatian dan independensi benar-benar dipegang oleh pemegang
otoritas keuangan di Indonesia. Program-program Dana Moneter Internasional
(IMF) dan program lembaga-lembaga terkait dilaksanakan sesuai dengan definisi
yang ada.
Kita beruntung bisa pulih
dari krisis karena ketaatan tersebut. Akan tetapi, sebenarnya banyak masalah
tersisa, mulai dari pengangguran, kemiskinan, hingga pengembangan industri yang
jalan di tempat.
Dalam konteks saat ini
ketika Indonesia terus tumbuh, masih ada sejumlah masalah peranan otoritas
keuangan dan lembaga keuangan yang dipertanyakan. Otoritas keuangan seharusnya
tidak hanya mengamankan fiskal dan moneter. Mereka harus peka terhadap
kemiskinan dan pengangguran yang memang jelas di depan mata. Sebagai contoh
adalah bank sentral Amerika Serikat yang selalu mempertimbangkan masalah
pengangguran dalam kebijakan yang diambil.
Kaji Bank Sentral
Independensi bank sentral
pun dikritik dan disarankan dikaji ulang ketika mereka berhasil mengamankan
kondisi moneter, tetapi kenyataannya banyak masalah terjadi di luar urusan
moneter. Seorang panelis mengkritik konsep independensi bank sentral seperti
ini. Ia melihat, hal yang lebih penting adalah akuntabilitas bank sentral.
Akuntabilitas ini harus spesifik agar bisa dilaksanakan.
Sektor keuangan tidak bisa
lagi hidup di alam sendiri. Terapi ala IMF harus dikaji ulang dengan mencari
formula-formula yang bisa membuat Indonesia lari lebih kencang. Urusan otoritas
keuangan bukanlah hanya urusan likuiditas. Urusannya juga bukan lagi urusan
jangka pendek, tetapi sektor keuangan juga harus mampu memengaruhi kebijakan
dan perekonomian ke depan.
Keberadaan sektor keuangan
adalah untuk melayani sektor riil. Hal ini berarti saling melengkapi. Sektor
keuangan kalau jalan sendiri pasti akan berseberangan, apalagi di tengah dunia
yang saat ini boleh dibilang dengan karakteristik risiko yang semakin tinggi
dan penuh ketidakpastian. Risiko tinggi itu seperti terlihat dalam harga
komoditas yang rentan naik dan turun. Harga produk tambang yang tadinya naik
tinggi sekarang turun dan malahan harganya menjadi tak karuan.
Krisis ekonomi di Eropa yang
terlihat juga belum akan berlalu dalam waktu singkat. Perekonomian China juga
perlu terus dipantau karena merupakan indikasi risiko yang tinggi itu. Semua
ini adalah bagian dari risiko yang harus dihadapi. Demikian pula dengan risiko
dalam defisit fiskal, terutama di dunia yang berakibat pada krisis utang.
Dampaknya, sektor keuangan
kini relatif melihat hal-hal yang bersifat jangka pendek. Sikap ini juga yang
membuat kalangan sektor riil pun bersikap jangka pendek karena kekhawatiran
akan risiko.
Melayani Sektor Riil
Dengan kondisi dunia
perbankan Indonesia yang relatif baik dan jauh lebih kuat dibandingkan
sebelumnya, seharusnya sektor keuangan bisa berperan lebih. Peran supervisi
yang nantinya akan diemban Otoritas Jasa Keuangan tetap akan menjaga agar peran
sektor perbankan bergerak di jalan yang benar. Di sisi lain, otoritas itu juga
perlu mendorong bagaimana kalangan perbankan melayani sektor riil, khususnya
industri manufaktur agar tidak mati langkah.
Sedikitnya banyak kalangan
perbankan diharapkan bisa membuat sektor industri kembali tumbuh dua digit dan
menjadi pencipta lapangan kerja sekaligus memainkan peran dalam mengentaskan
masalah jumlah orang miskin.
Peserta diskusi panel
menegaskan, jika kondisi perekonomian Indonesia hanya seperti ini— jauh dari
potensi pertumbuhan ekonomi yang ada—sulit untuk mengatasi masalah-masalah
sosial yang ada, seperti kemiskinan dan pengangguran seperti disebut di atas.
Kondisi ini dapat mengarah pada bentrokan horizontal yang sangat tidak
dikehendaki.
Oleh karena itu,
pengembangan sektor industri menjadi sebuah keharusan mutlak. Kebijakan fiskal
dan moneter harus diarahkan demi suksesnya sektor industri yang belakangan ini
praktis mati angin. Pertumbuhan sektor industri merupakan syarat bagi
terciptanya lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja yang produktif yang banyak
dalam masyarakat.
Penyerapan tenaga kerja
diyakini merupakan bagian dari upaya jitu mengentaskan masalah kemiskinan.
Memiliki pekerjaan juga memberikan martabat. Industri juga akan menampung
kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian. Industri yang juga mulai tidak
terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya akan membuka lapangan kerja baru di
daerah.
Oleh karena peran sektor
industri yang besar dalam perekonomian, sektor ini harus didorong dan difasilitasi.
Sayangnya, kebijakan sektor keuangan belum mendukung.
Perlu Berubah
Kebijakan di Kementerian
Keuangan tidak membedakan insentif fiskal untuk ekspor dan impor. Timbul
pertanyaan, sebenarnya ekspor itu penting atau tidak? Di pelabuhan, perlakuan
terhadap barang yang hendak diekspor nyaris sama dengan perlakuan bagi barang
untuk impor. Akibatnya, pengusaha memilih impor karena lebih mudah memperoleh
uang. Padahal, dengan ekspor ada penciptaan lapangan kerja. Karena itu,
hubungan antara kementerian dan kelembagaan pemerintahan harus diperbaiki dan
diharmonisasikan.
Contoh berikut juga
memperlihatkan kebijakan fiskal yang kurang mendukung. Daya inovasi industri
dalam negeri yang sangat rendah dan penerapan Standar Nasional Indonesia yang
tak tegas membuat banyak barang impor bermutu rendah masuk ke pasar lokal.
Tidak heran, produk tekstil dan bahan baku tekstil sampai dengan busana muslim
di Pasar Tanah Abang sekitar 90 persen dikuasai produk China. Semua ini karena
kebijakan fiskal, seperti pajak impor, yang tidak memberikan insentif pada
tumbuhnya industri dalam negeri.
Industri sangat membutuhkan
belanja modal. Kenyataannya, orang lebih mudah memperoleh pembiayaan untuk
membeli mobil. Cukup menyiapkan uang muka 30 persen, maka 70 persen sisanya
dari lembaga pembiayaan. Fasilitas yang sama tidak akan didapat untuk membeli
mesin- mesin produksi. Mereka harus menyiapkan uang muka 70 persen dan sisanya
dari lembaga pembiayaan. Repotnya lagi, bank masih meminta jaminan tambahan.
Apabila pemerintah
menargetkan ekonomi tahun 2013 tumbuh 6,8-7,2 persen dengan penekanan pada
investasi, sektor keuangan juga harus berubah. Peran bank sentral tidak cukup
hanya sebagai stabilisasi moneter, tetapi juga mendorong penciptaan lapangan
kerja.
Dari sisi fiskal, pemerintah
dituntut mengubah orientasi untuk mendorong tumbuhnya sektor riil yang menyerap
tenaga kerja dan industri berbasis sumber daya alam Indonesia secara transparan
dan tanpa diskriminasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar