Kontradiksi
Indonesia
Azyumardi Azra ; Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota
Dewan Penasihat International IDEA Stockholm
KOMPAS,
11 Juli 2012
Orang-orang asing yang
datang di Indonesia, untuk pertama atau kesekian kali, agaknya sulit percaya
bahwa negeri ini termasuk dalam bahaya terjerumus menjadi negara gagal.
Alasannya cukup banyak. Sejak masih berada di bandara mana pun di Tanah Air
yang termasuk bandara internasional, mereka bisa menyaksikan kehidupan
ekonomi-sosial yang bergairah.
Di bandara tersua jubelan
manusia, khususnya di musim libur dan akhir pekan panjang, untuk menggunakan
transportasi udara yang tidak lagi murah. Selanjutnya, begitu keluar dari
bandara, memasuki jalan akses ke dalam kota, mereka segera terjebak dalam kemacetan
atau kepadatan lalu lintas dengan mobil-mobil mengilap dan kerumunan motor.
Jubelan kendaraan yang kian
memadati jalan di hampir seluruh kota Tanah Air mengindikasikan bahwa ekonomi
Indonesia terus bertumbuh. Hal ini menjadi indikasi yang didaku rezim Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai prestasi utama pemerintahannya.
Pendakuan itu mendapat
pengakuan belaka dari banyak kalangan mancanegara antara lain dengan
mengikutsertakan Indonesia dalam G-20, barisan negara-negara berekonomi besar.
Degradasi Pelayanan Publik
Akan tetapi, pada saat yang
sama kenyataan itu secara kontradiktif menjadi pertanda kegagalan pemerintah
pusat dan daerah mengembangkan infrastruktur jalan raya yang memadai guna
mengimbangi peningkatan kemampuan warga memiliki kendaraan bermotor. Ia
sekaligus mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah menyediakan transportasi
publik yang memadai, aman, dan nyaman. Bahkan, terlihat jelas adanya degradasi
pelayanan publik dalam bidang ini.
Degradasi pelayanan publik
adalah satu dari 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace yang bisa
membuat terjerumusnya Indonesia—berada di peringkat ke-63 dari 178—ke tubir
negara gagal. Segera jelas bahwa kemerosotan pelayanan publik di Tanah Air
tidak hanya menyangkut transportasi publik, tetapi juga bisa ditemukan dalam
berbagai bidang kehidupan lain, termasuk di kantor- kantor pemerintah.
Kontradiktif dan ironis, banyak pegawai pemerintah masih lebih merupakan
representasi kekuasaan daripada pelayan publik.
Terkait dengan degradasi
pelayanan publik—tetapi termasuk ke dalam indikator bidang sosial—adalah
ketidakmampuan aparat keamanan dan penegak hukum mencegah aksi kekerasan di
antara satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain. Secara telanjang,
publik menyaksikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam aksi
balas-membalas kekerasan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa.
Mereka yang secara
eufemistik disebut media sebagai ”ormas” terlibat kekerasan dalam perebutan
kekuasaan atas lahan parkir, tempat hiburan semacam diskotek, lapak pedagang
kaki lima, lokasi pembangunan gedung, dan seterusnya.
Kekerasan juga terus
berlanjut sewaktu-waktu dalam tawuran antarkelompok mahasiswa, antarkampung,
antarsuku seperti terjadi di Papua, atau antarfaksi eks GAM di Aceh. Juga masih
terjadi kekerasan kelompok tertentu atas nama agama terhadap kelompok lain,
baik intraagama maupun antaragama berbeda.
Kekerasan sering
menghasilkan mereka yang dalam kategori PBB termasuk ke dalam the displaced,
orang-orang yang terusir dari kediaman dan kampung halaman mereka, seperti
warga Ahmadiyah di NTB dan beberapa tempat lain di Tanah Air.
Meski aksi kekerasan
akhirnya bisa dipadamkan oleh aparat kepolisian, apakah melalui tindakan
represif atau persuasif lewat kesepakatan perdamaian tidak terdapat tanda
meyakinkan bahwa bakal tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti itu.
Sebaliknya, potensi kekerasan antarkelompok warga itu menjadi laten, yang
tersimpan di bawah permukaan, tetapi siap meledak sewaktu-waktu.
Potensi laten kekerasan
antarkelompok massa berganda dengan kian meluasnya kesenjangan antara kelompok
kaya dan miskin. Meski lebih dari separuh penduduk Indonesia kini disebut
termasuk kelas menengah, jelas kemiskinan dan pengangguran tetap merajalela di
banyak tempat Indonesia. Kaum miskin yang jumlahnya berkisar seperempat sampai
sepertiga dari total penduduk Indonesia yang 240 juta jiwa sangat laten
memunculkan ledakan kekerasan.
Delegitimasi Politik
Kita sering dengan bangga
menyatakan Indonesia dalam masa pasca-Soeharto adalah negara demokrasi ketiga
terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, di tengah gejolak
Musim Semi Arab yang sangat sulit menuju demokrasi, Indonesia juga menjadi
negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, di mana demokrasi tidak ada
masalah dengan Islam.
Akan tetapi, kontradiktif
dan ironis, kebanyakan elite politik, baik legislatif maupun eksekutif, mulai
dari tingkat nasional, provinsi, sampai kota/kabupaten terus mengalami
delegitimasi politik. Kian banyak warga kehilangan kepercayaan kepada elite
politik dan pejabat publik yang tidak menjaga kepercayaan warga karena
melakukan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan moral, seperti korupsi yang
terus saja mewabah mulai dari tingkat pusat sampai daerah.
Delegitimasi politik yang
dapat menjerumuskan Indonesia menjadi negara gagal juga bertumpuk dengan
kontradiksi lainnya, yaitu ketidaksesuaian antara pernyataan para elite politik
yang sekaligus pejabat publik serta tindakan dan perilaku mereka.
Para elite politik tidak
memberikan contoh yang baik kepada publik tentang akuntabilitas, kredibilitas,
dan integritas yang sangat mutlak tidak hanya untuk membangun kohesi
sosial-politik, sekaligus guna membentuk negara yang kokoh secara hukum dan
moral.
Proses delegitimasi politik
tampaknya bakal terus berlanjut karena pada saat yang sama faksionalisasi di
antara para elite dan kubu politik berbeda masih belum memperlihatkan
tanda-tanda berakhir. Faksionalisasi dan kontestasi politik terus berlanjut
karena konflik kepentingan.
”Koalisi” politik yang ada
tidak lebih daripada sekadar ”kebersamaan” sangat rapuh yang segera merosot
dalam momen tertentu terkait isu politik dan ekonomi semacam rencana
pembancuhan kabinet atau naik-tidak-naiknya harga BBM.
Kontradiksi Indonesia terus
pula berlanjut selama kepemimpinan dan elite politik tidak melakukan upaya
serius untuk mengatasinya. Di sini diperlukan kepemimpinan visioner, kreatif,
berani, dan berintegritas: tidak hanya sibuk dengan rutinitas dan pencitraan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar