Kebebasan
Akademis, Perspektif HAM
Abdul Hakim G Nusantara ; Ketua Komnas
HAM Kurun 2002-2007
KOMPAS,
11 Juli 2012
Kebebasan akademis dan
otonomi pendidikan tinggi sedang dipertaruhkan dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang Perguruan Tinggi di DPR.
Pemerintah yang diwakili
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya memilih kebijakan memperkuat
kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan tinggi.
Kebijakan kontrol negara itu
hendak dilakukan oleh pemerintah melalui pengaturan sivitas akademika, rumpun
dan cabang ilmu, kurikulum, penelitian, serta penilaian menteri atas
penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi: Pasal 9, Pasal 16, Pasal 20, dan
Pasal 32 RUU PT (Kompas, 6/7/2012).
Kehendak pemerintah itu
jelas akan mempersempit ruang gerak perguruan tinggi, dan belajar dari
pengalaman di masa Orde Baru, kontrol negara itu bahkan dapat pada ketikanya
meniadakan sama sekali kebebasan akademis dan otonomi pendidikan tinggi.
Kehendak pemerintah untuk
meningkatkan kontrol negara atas kebebasan akademis dan otonomi perguruan
tinggi berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan
yang diakui dan dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).
Karena itu, sangatlah dapat
dimengerti apabila sejumlah pihak meminta agar RUU PT tidak cepat-cepat
disahkan mengingat ia berpotensi untuk menuai gugatan melalui uji materi di
Mahkamah Konstitusi (Kompas, 5/7/2012).
Kebebasan akademis dan
otonomi PT diuraikan panjang lebar dalam komentar umum hak atas pendidikan oleh
Komite HESB. Komite HESB menegaskan bahwa hak atas pendidikan hanya dapat
dinikmati jika disertai dengan kebebasan akademis bagi staf dan mahasiswa yang
rentan penindasan oleh negara.
Kebebasan akademis
memungkinkan para anggota masyarakatnya, baik secara individu maupun kolektif,
bebas mengejar, mengembangkan, serta mengalihkan ilmu pengetahuan dan gagasan
melalui riset, pengajaran, pengkajian, diskusi, dokumentasi, produksi, kreasi,
atau tulisan.
Kebebasan akademis berarti
pula kebebasan individu untuk menyatakan pendapat tentang institusi atau sistem
di mana mereka bekerja, memenuhi fungsi mereka tanpa diskriminasi atau rasa
takut adanya penindasan oleh negara atau aktor lainnya. Selain itu, juga
berpartisipasi dalam badan-badan profesional dan perwakilan akademis serta
menikmati semua hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional.
Harus Ditunda
Penikmatan kebebasan
akademis disertai pula dengan kewajiban, yaitu menghormati kebebasan akademis
liyan, memastikan diskusi yang jujur tentang berbagai pandangan yang
berlawanan, dan memperlakukan semuanya tanpa diskriminasi. Dengan begitu,
sesungguhnya kebebasan akademis diperlukan untuk menumbuhkembangkan kultur
demokrasi dalam masyarakat perguruan tinggi, yang dapat terus berkembang di
kalangan masyarakat luas.
Lebih jauh, baik di masa
lalu maupun masa kini, kebebasan akademis membuka peluang bagi lahirnya
berbagai pemikiran, sikap, dan aksi kritis dalam masyarakat, yang pada
gilirannya mampu mendorong reformasi dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hanya penguasa otoriter yang
anti perubahan yang membenci kebebasan akademis. Dalam upaya membangun kultur
demokrasi dan HAM, kebebasan akademis adalah suatu yang niscaya. Menurut
komentar umum Komite HESB, penikmatan kebebasan akademis mewajibkan adanya
otonomi perguruan tinggi. Otonomi berarti adanya tingkat berpemerintahan
sendiri yang perlu bagi efektivitas pembuatan keputusan oleh
institusi-institusi perguruan tinggi dalam kaitannya dengan standar,
pengelolaan serta pekerjaan akademis mereka, dan kegiatan yang berhubungan.
Berpemerintahan sendiri
harus sesuai dengan sistem pertanggungjawaban publik, terutama berkenaan dengan
pendanaan yang diberikan oleh negara. Dalam konteks ini, mengingat investasi
publik yang substansial dalam perguruan tinggi, suatu keseimbangan yang tepat
antara tuntutan otonomi kelembagaan dan pertanggungjawaban publik harus
ditegakkan. Pengaturan institusi perguruan tinggi sejauh mungkin harus fair,
adil, patut, serta transparan dan partisipatoris.
Komentar umum hak atas
pendidikan oleh Komite HESB di atas merupakan tafsir dan bagian yang mesti
diperhatikan dalam implementasi KIHESB. Mengingat KIHESB sudah menjadi bagian
dari sistem hukum Indonesia, sudah semestinya DPR dan pemerintah
memperhatikannya. RUU PT yang sarat dengan kontrol negara itu perlu direvisi
sehingga tercapai keseimbangan di antara kebebasan akademik, otonomi
kelembagaan, dan pertanggungjawaban publik. Itu berarti pengesahan RUU PT harus
ditunda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar