Koperasi
dan Ekonomi Humanistik
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI;
Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS,
12 Juli 2012
Ekonomi liberal-kapitalistik
digerakkan oleh para homo-economicus,
yaitu makhluk ekonomi rakus yang insting dan perilakunya mencari kepuasan dan
keuntungan maksimal. Mereka menjadi ahli dalam hal meminimumkan biaya dan
memaksimalkan perolehan.
Sedangkan homo-socius adalah
makhluk sosial yang menjaga kerukunan antarsesama dan bekerja sama untuk
kepentingan bersama. Homo-socius cenderung
menjadi homo-ethicus, homo-religious,
sekaligus homo-humanus, yang
mengemban etika dan moralitas rukun agawé
santosa, saling solider bekerja sama tolong-menolong, dalam kearifan lokal paro-édhing atau sithik-édhing, bukan yang saling bersaing, bermuslihat, dan
bertarung menang-menangan sebagaimana homo-economicus.
Dalam berekonomi dikenal
paham kompetitivisme (competition-based)
dan paham kooperativisme (cooperation-based).
Nalar kompetitivisme adalah bersaing untuk mencapai efisiensi ekonomi, dasar
ideologinya kebebasan pribadi (individual
liberty). Persaingan mendorong kerja keras. Yang bertahan hidup yang kuat,
yang lemah tersingkir. Sedangkan nalar kooperativisme adalah bekerja sama
membentuk kekuatan lipat ganda bersinergi. Sendiri-sendiri orang tak akan mampu
mengangkut benda berat, kerja sama dua orang bisa mengangkat berpuluh kali
benda berat. Inilah cooperation-based
economy, membentuk sinergi untuk mencapai efisiensi.
Banyak ketidakpahaman soal
sistem ekonomi Indonesia. Ada yang mencari-cari, ada yang ambivalen, lalu
secara keliru menganggap sebagai sistem ”jalan tengah” (tulisan saya, Kompas
16/8/2005). UUD kita Pasal 33 Ayat 1 merumuskan ”Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan” tak lain karena paham ekonomi nasional
kita mengutamakan kooperativisme. Lebih dari itu ditegaskan dalam penjelasan
Pasal 33: ”…bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi…”. UUD 2002
(amandemen) tak memiliki penjelasan, tetapi untuk pasal atau ayat-ayat UUD 1945
(asli) yang tak diamandemen, penjelasan tetap berlaku dan dibenarkan Prof Maria
Farida (kini anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi). Berarti kata
”koperasi” tak hilang.
Perkataan ”perekonomian”,
sebagaimana bunyi Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945, tentu meliputi keseluruhan usaha
ekonomi: formal, informal, ekonomi rakyat, swasta, BUMN, dan koperasi.
Keseluruhan itu harus disusun sebagai ”usaha bersama” (mutualism) berdasar atas ”asas kekeluargaan” (brotherhood).
Perkataan ”disusun” artinya
tidak dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar. ”Disusun”
artinya didesain, ditata, tidak sekadar diintervensi. Dengan demikian, dalam
perekonomian Indonesia, badan usaha swasta dan badan usaha BUMN paham usaha
bersama dan asas kekeluargaan harus senantiasa dihidupkan. Kita menjunjung
paham bergotong royong dan bekerja sama, tidak berkompetisi saling mematikan.
Prinsip Koperasi
Dari sinilah kekoperasian
memunculkan prinsip Triple-Co, yaitu
co-ownership (ikut memiliki), co-determination
(ikut menentukan) dan co-responsibility
(ikut bertanggung jawab), sebagai wujud kebersamaan dalam asas kekeluargaan.
Mestinya Indosat sebagai badan usaha nonkoperasi tak dijual ke Singapura
(kemudian ke Qatar), tetapi kepada para pelanggan pemegang ponsel, dibayar
dengan menaikkan tarif pulsa sebagai cicilan pembelian saham Indosat. Dengan
demikian, pelanggan sekaligus adalah pemiliknya, ini ciri khas koperasi.
BUMN-BUMN seharusnya tak
dijuali ke asing, tetapi ditawarkan ke karyawan, pelanggan, dan kalangan luas (clienteles) dalam jaringan produksi,
konsumsi, dan distribusi terkait, lalu dibangun sistem equity loan. Jadi privatisasi tak berarti asingisasi, melainkan
pemerataan kepemilikan nasional. Pasal 33 UUD 1945 dan koperasi secara tegas
menolak neoliberalisme dan persaingan bebas homo-economicus.
Pasal 33 adalah sistem demokrasi ekonomi, artinya kepentingan masyarakat lebih
utama daripada kepentingan orang-seorang, sebagai sistem ekonomi humanistik.
Gerakan koperasi di Indonesia terlalu permisif untuk menolak berbagai UU
neoliberal, tak mampu melawan neoliberalisme yang dipelihara di Indonesia.
Jangan Dihapus
Tentulah akan menjadi
malapetaka konstitusional apabila mata kuliah koperasi benar-benar berhasil
dihapus dari fakultas ekonomi universitas negeri terkemuka di Jakarta. Yang
juga telah dicap sebagai ”benteng neoliberalisme” oleh seorang mantan Gubernur
Lemhannas hanya karena kampus-kampus kita ditelan ”hegemoni akademis” (ideologi
asing) dan dirundung ”kemiskinan akademis”. Kuliah-kuliah membangkang
konstitusi.
Gerakan koperasi terserang ambivalensi
ketika RUU Perkoperasian mengadopsi istilah ”saham” bagi penyertaan anggota
koperasi, padahal koperasi adalah ”kumpulan orang”, bukan ”kumpulan modal”
seperti halnya perseroan. Saham adalah uang, istilah khas perseroan
kapitalistik. Sementara kesertaan dalam koperasi bukan berdasarkan modal uang,
melainkan mengutamakan modal sosial yang meliputi uang, jasa, usaha,
partisipasi, dan nilai-nilai emansipasi.
Gerakan koperasi harus
menolak istilah ”saham” dan secara hakiki menggantinya dengan istilah ”andil”
yang tak semata-mata uang. Itulah sebabnya dalam koperasi berlaku ”satu orang
satu suara” (capital-based..?), sedangkan dalam perseroan
berlaku ”satu saham satu suara” (people-based..?). Kooperativisme membangun
manusia human, kompetitivisme membangun pemodal. Absurditas RUU ini juga dalam
mengeksklusifkan koperasi tidak memperkukuh posisi koperasi sebagai bagian
integral perekonomian nasional.
Kompetitivisme yang
bersarang pada pasar bebas telah membuktikan kegagalan dan kebangkrutan
teoretikal dan praxis- nya. ”Kebersamaan” mulai muncul kembali setelah sejak
lama dikumandangkan moralis Inggris, Robert Owen (1771-1858). Pemenang Nobel,
Stiglitz, telah memperkukuh keyakinan awalnya 2002 tentang perlunya mengakhiri
pasar bebas–to end the laissez-faire,
buku terbarunya The Free Fall (2010)
dan The Price of Inequality (2012)
yang mempertegas kegagalan-kegagalan pasar. Hatta, Bapak Kedaulatan Rakyat dan Bapak
Koperasi Indonesia, telah menegaskan perlunya mengakhiri pasar bebas sejak
1934.
Koperasi sebagai bagian dari
kooperativisme menolak persaingan bebas meskipun menganjurkan ”berlomba” (ber-concours, ber-contest), yang tertinggal ditolong agar maju. Kuantitas koperasi
bertambah, tidak semuanya dengan roh kooperativisme. Ekonomi dunia mulai
menolak neoliberalisme yang individualistik dan memanggil-manggil kembali ”kebersamaan”, kerja sama, dan
solidaritas. Dirgahayu Koperasi Indonesia.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar