Ekonomi
Hijau untuk Bumi
Akhmad
Fauzi ; Guru Besar Ekonomi
Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Ketua Program Pascasarjana
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
KOMPAS, 07 Juli 2012
Setelah Konferensi Pembangunan Berkelanjutan
Rio+20 berakhir Juni lalu, apa yang kemudian bisa kita lakukan untuk mengubah
perilaku manusianya?
Kenyataan menunjukkan, meski sudah lebih dari
40 tahun Hari Bumi diperingati dan 20 tahun pasca-pertemuan Rio yang melahirkan
konsep pembangunan berkelanjutan, dunia masih menghadapi dua tantangan besar:
bagaimana memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia sekaligus menjaga
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan yang menopang kehidupan.
Dengan jumlah manusia yang terus meningkat,
Bumi mengalami tekanan berat sebagai dampak dari kegiatan ekonomi yang tidak
memedulikan lingkungan. Ekonomi keserakahan selain menghasilkan krisis ekonomi
dan finansial, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, seperti
perubahan iklim, degradasi lingkungan, pengurasan sumber daya alam, serta
pencemaran air dan udara. Akhirnya memiskinkan masyarakat yang bergantung pada
sumber daya alam dan lingkungan.
Kemajuan yang Merusak
Meski produk domestik bruto dunia tahun 2011
sudah mencapai 77,2 triliun dollar AS, lebih dari 900 juta orang masih hidup di
bawah garis kemiskinan. Menurut Worldwatch Institute, PDB itu telah menimbulkan
”stres” pada ekosistem Bumi. Inilah yang disebut David Orr sebagai progress
trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus
dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan.
Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan
hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut sehingga beberapa ilmuwan bahkan
mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth)
dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Dalam beberapa dekade persoalan ekonomi dan
lingkungan seolah berjalan sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang perspektif
lingkungan dianggap sebagai ”pengerem” pembangunan ekonomi. Pola ”growth first, clean up later” merupakan
pola pikir yang sering muncul pada perencanaan kebijakan pembangunan, khususnya
di daerah-daerah demi pendapatan asli daerah. Urusan ”cuci piring” kerusakan
Bumi, urusan belakangan. Paradigma ini harus kita ubah.
Mencari Jembatan
Ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang
diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of growth”, yakni selain
memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan
menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa
merusaknya.
Inilah esensi dari ”ekonomi hijau” yang
sebenarnya. Perubahan paradigma berpikir ini juga penting karena selain adanya
krisis lingkungan Bumi, penggunaan kerangka ekonomi konvensional semata untuk
mencapai kesejahteraan, telah terbukti gagal menjawab beberapa krisis ekonomi
dan finansial yang terjadi. Pembelajaran atas kegagalan inilah yang menimbulkan
”pertobatan internasional” untuk berputar balik, u-turn, terhadap prinsip pembangunan ekonomi.
Di kalangan para pelaku bisnis sekali pun,
perubahan pandangan ini telah terjadi karena menyadari keberlangsungan usahanya
juga akan tergantung dari kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. David
Brower, pelaku bisnis terkemukan di Amerika Serikat, pernah mengatakan, ”There is no business to be done on a dead
planet.”
Belakangan hasil survei dari Price Water
Cooper tahun 2008 menunjukkan bahwa permintaan terhadap green business akan meningkat 75 persen pada tahun-tahun mendatang.
Peningkatan ini juga diikuti oleh respons dari pemerintah dan konsumen,
masing-masing 57 dan 52 persen.
Maka, peran ekonomi hijau bagi Indonesia
menjadi sungguh strategis. Mengapa?
Pembangunan dengan business as usual tanpa
memperhatikan ”ongkos” lingkungan yang harus dibayar terbukti cukup mahal.
Studi dari Bank Dunia (Leitmann et al, 2009) memperkirakan, ongkos lingkungan
untuk Indonesia 0,5 miliar dollar AS-7,7 miliar dollar AS per tahun berupa
kerugian ekonomi, mulai dari erosi lahan, polusi udara, pencemaran air, hingga
perubahan iklim. Ongkos ini belum termasuk biaya-biaya sosial akibat kerentanan
masyarakat terhadap konflik yang cenderung meningkat belakangan ini.
Ekonomi hijau juga penting untuk mewujudkan
kebijakan 7/26 (7 persen pertumbuhan ekonomi dan 26 persen pengurangan emisi
gas rumah kaca). Kebijakan tersebut mengindikasikan pentingnya pertimbangan
lingkungan. Pengurangan emisi 26 persen dalam konteks ekonomi hijau bukan
hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, sebaliknya bisa menjadi kesempatan
baru untuk menciptakan pertumbuhan baru. Misalnya, dari pengembangan energi
terbarukan (Shi Zhengron, orang terkaya di China, hidup dari bisnis panel sel
surya) dan pemanfaatan instrumen ekonomi lingkungan sebagaimana diamanatkan UU
No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
Implikasi bagi Indonesia
Demikian juga aset keanekaan hayati milik
Indonesia yang sangat besar serta pemanfaatan jasa lingkungan bisa menjadi sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi hijau baru bagi Indonesia.
Momentum pengembangan ekonomi hijau saat ini
sebenarnya cukup mendukung karena selain ada pengarusutamaan ekonomi hijau di
tingkat global, juga ada kesadaran akan lingkungan dan kerangka kebijakan nasional.
Namun, diperlukan political will yang kuat dari pengambil kebijakan, dukungan dari
pelaku usaha, masyarakat, dan tentu saja dukungan politik di parlemen agar
ekonomi hijau tidak menjadi slogan semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar