Euro,
Nasionalisme, dan Globalisasi
Syamsul
Hadi ; Pengajar Ekonomi Politik
Internasional di FISIP UI, Depok
KOMPAS, 07 Juli 2012
Pertemuan puncak Uni Eropa yang berlangsung
baru-baru ini berakhir dengan kesepakatan untuk menyuntikkan dana 500 miliar
euro kepada bank-bank yang mengalami kebangkrutan.
Penyaluran dana lewat European Stability Board (ESB) itu dinilai sebagai kesepakatan
artifisial guna menenangkan pasar yang panik. Dalam tiga tahun terakhir, pasar
memang meninggalkan zona euro (Kompas, 30/6/2012).
Langkah itu dipandang tidak akan
menyelesaikan masalah krisis euro tepat di akarnya, yaitu kosongnya kas
pemerintahan, kebangkrutan perbankan yang masif, dan respons regional yang
tidak solid. Tidak tersentuhnya akar masalah dalam krisis Eropa tampaknya akan
terus berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka
pengangguran yang menyebabkan semakin rentannya stabilitas sosial.
Apakah berkepanjangannya krisis euro
merupakan pertanda kegagalan ”eksperimen Eropa”? Bagaimana pengaruh krisis ini
terhadap dinamika globalisasi ekonomi yang selama ini mendudukkan Uni Eropa
sebagai kisah sukses yang selalu menjadi acuan?
RegionaI vs Nasional
Sampai meletusnya krisis utang Yunani tahun
2010, kebanyakan buku teks ekonomi, bisnis, dan hubungan internasional menjadikan
Uni Eropa sebagai model integrasi ekonomi regional yang ”membebaskan
kawasan-kawasan ekonomi dari kungkungan negara-bangsa” (Kenichi Ohmae, The End of the Nation State, 1995).
Ia adalah manifestasi penciptaan jaringan dan
kontektivitas ekonomi regional sebagai ”transendensi” yang diniscayakan arus
globalisasi sehingga menjadi bypass terhadap kekakuan prinsip kedaulatan
negara-bangsa.
Namun, tiga tahun krisis Eropa mengonfirmasi
fakta sebaliknya. Betapa sulitnya melakukan koordinasi kebijakan ekonomi regional
di tengah kepercayaan pasar yang terus tergerus. Inilah yang memerlukan
tindakan cepat dan tepat. Kenyataannya, Uni Eropa sebagai kampiun regionalisme
ekonomi justru terbelah dan tidak solid.
Sebagai negara dengan ekonomi terkuat di
Eropa, Jerman (didukung Austria, Finlandia, dan Slovenia) terus menolak segala
bentuk bantuan dana tanpa persyaratan disiplin fiskal. Posisi Jerman itu
berseberangan dengan Perancis (yang didukung hampir semua negara Uni Eropa, AS,
IMF, dan Komisi Eropa) yang menginginkan solusi pembagian beban utang secara
regional dengan cara menerbitkan obligasi bersama.
Kuatnya pengaruh dinamika politik nasional
setiap negara di Uni Eropa menyebabkan sulitnya memutuskan solusi yang cepat
dan mendasar. Konstituen politik di setiap negara Eropa terlihat enggan
berkorban untuk ”kepentingan regional”. Menguatnya dukungan pada kelompok
politik yang anti-pengetatan fiskal di Yunani dan Perancis dalam pemilu
baru-baru ini memperlihatkan hal itu.
Demikian pula sikap keras Pemimpin Jerman
Angela Merkel, tak lepas dari kecenderungan sikap politik yang berkembang dalam
masyarakatnya. Alih-alih menunjukkan solidaritas kepada rakyat Yunani yang
menderita karena kebijakan pengetatan fiskal pemerintahnya, masyarakat Jerman
justru menekankan pentingnya Yunani ”menanggung sendiri” kesalahan-kesalahan
dalam pengelolaan fiskalnya.
Sebuah jajak pendapat menunjukkan, pada
September 2011 hanya 39 persen warga Jerman yang menginginkan pemerintahnya
melanjutkan bantuan ekonomi kepada Yunani.
Bulan Mei 2012, sejumlah 80 persen warga
Jerman menginginkan Jerman menghentikan bantuan jika Pemerintah Yunani tidak
serius menerapkan pengetatan fiskal yang diminta Jerman. Hampir 50 persen warga
Jerman bahkan menginginkan Yunani keluar dari zona euro (The Economist, 23/6/2012).
Dalam iklim psikologi-politik seperti ini
tentu hampir mustahil Pemerintah Jerman mau menjalankan rekomendasi pemenang
Nobel Joseph E Stiglitz agar Jerman menggalakkan investasi padat karya di
negara-negara zona euro yang terlanda krisis untuk menggerakkan pertumbuhan.
Perbatasan Globalisasi
Krisis di AS dan Eropa dalam lima tahun
terakhir menunjukkan betapa perilaku mengambil keuntungan secara instan dengan
memanfaatkan kemudahan bertransaksi di sektor finansial—baik oleh sektor swasta
(kasus AS) maupun sektor pemerintah (kasus Yunani)—bisa menjadi sumber
kehancuran. Fakta itu mengonfirmasi analisis Susan Strange (Casino Capitalism, 1997) tentang
kemunculan kapitalisme yang didasarkan pada perjudian jangka pendek yang
sebenarnya membahayakan ekonomi setiap negara.
Di sisi lain, ulasan Anthony Giddens (Runaway World, 2000) tentang watak
”tunggang langgang” yang mewarnai globalisasi tercermin dalam kepanikan yang
mudah tersulut di pasar finansial. Dalam kasus Eropa, watak tergesa-gesa atau
”tunggang langgang” pasar finansial ini tidak berhasil diimbangi dengan
cepatnya respons otoritas-otoritas politik di Uni Eropa untuk segera
mengeluarkan satu ”kebijakan paripurna” mengakhiri sentimen negatif pasar.
Terjadilah perubahan karakter yang tiba-tiba.
Dari integrasi ekonomi regional yang diwarnai ”interdependensi positif” menjadi
”interdependensi negatif” berupa efek domino krisis yang tak mudah dihentikan.
Krisis yang menjalar di Yunani dengan cepat merembet ke Irlandia, Portugal,
Spanyol, dan Siprus. Dampak krisis ini lalu juga dirasakan secara global akibat
meluasnya perlambatan ekspor dan suramnya iklim usaha.
Ketika terlanda krisis finansial, AS menjadi
pihak pertama yang justru melanggar prinsip perdagangan bebas yang sejak lama
dipromosikan sendiri dengan meluncurkan kebijakan ”Buy American Product”.
Senapas dengan itu, Uni Eropa yang didera
krisis mata uang beberapa waktu lalu mengumumkan rencana membatasi keterlibatan
pihak di luar Eropa dalam tender pengadaan belanja pemerintah (government procurement) guna mendorong
dunia usaha di Eropa bangkit lagi.
Krisis di Eropa (dan juga di AS) menunjukkan,
setiap negara pada akhirnya berupaya menomorsatukan penyelamatan diri
masing-masing di saat-saat krisis. Fakta ini mungkin tidak akan mengubah wajah
globalisasi ekonomi secara fundamental. Namun, setidaknya menyodorkan sebuah
”catatan kaki” yang penting bahwa nasionalisme ekonomi yang selama ini
tersembunyi di bawah derasnya arus globalisasi ternyata tetap menjadi karakter
esensial dari kebanyakan negara dalam hubungan internasional.
Nation-state atau
negara-bangsalah yang pada akhirnya menjadi ”rumah perlindungan” setiap anak
bangsa di dunia. Bukan ”dunia global” atau ”dunia regional” yang diikat
solidaritas institusional yang sesungguhnya sangat rapuh. Sudahkah kita
mengambil pelajaran? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar