Novel
Islami Dibilang Novel Porno
Intan Savitri ; Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) 2009-2013
Sumber : REPUBLIKA,
15 Juni 2012
Media
massa sedang merayakan sebuah ‘pesta’ atas temuan buku-buku remaja yang berada
di rak-rak perpustakaan sekolah dasar (SD) melalui proyek Dana Alokasi Khusus
(DAK) 2010. Label buku porno melalui judul beritanya dialamatkan pada sejumlah
judul buku, bertebaran di mana-mana.
‘Pesta’
dimulai dari harian Suara Merdeka, yang menyatakan bahwa buku Ada Duka di Wibeng karya Jazimah AlMuhyi
dan Tidak Hilang Sebuah Nama karya
Galang Lufityanto serta Tambelo karya
Redhita dari penerbit Era Intermedia
yang ditemukan di perpustakaan SD di Kebumen, adalah novel porno.
‘Pesta’
tetap dirayakan hingga terakhir pada Selasa (12/6), Republika Jabar menulis
judul berita “Novel ‘Porno’ di SD
Bertambah”, serta Pikiran Rakyat menulis “Lagi, Ditemukan Novel tak Senonoh” isi beritanya memberikan label
porno pula pada novel perjuangan seperti Syahid
Samurai karya Afifah Afra, Festival Syahadah
karya Izzatul Jannah, dan Sabuk Kiai
karya Dandang A Dahlan, yang kesemuanya dari penerbit Era Intermedia.
Judul-judul
berita tendensius itu membingkai cara berpikir pembaca tentang isi buku,
pertanyaannya sudahkah media yang menulis ini melihat persoalan ini dengan
lebih adil? Sudahkah membaca bukunya dan mengonfirmasi pada penulis serta
penerbitnya? Sudahkah mengonfirmasi pada pakar tentang definisi teknis
pornografi? Sudahkah melihat dari sisi bagaimana buku-buku itu bisa masuk ke
perpustakaan SD?
Bagaimanapun buku itu masuk ke perpustakaan SD melalui
anggaran DAK yang notabene melalui proses tidak sederhana serta melibatkan
institusi pemerintah bernama Pusat Kurikulum Perbukuan di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang memberikan Surat Keputusan (SK) bahwa buku-buku
ini layak dibaca untuk masyarakat.
Baiklah,
saya akan mencoba menuliskannya untuk Anda, mudah-mudahan ini menjadi sebuah
akhir manis untuk sebuah `pesta'.
Pornografi
Dalam
UU Anti Pornografi No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bab I, Ketentuan Umum
disebutkan bahwa pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
Apakah
arti kecabulan, eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat? Cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keji dan kotor;
tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).
Mari
kita lihat. Novel Ada Duka di Wibeng
karya Jazimah Al-Muhyi bercerita tentang remaja ABG yang tidak lepas dari
persoalan cinta. Cerita mengalir dari fenomena-fenomena pergaulan di kalangan
anak remaja. Di antaranya adalah fenomena pacaran dan pada bab-bab akhir
disimpulkan bahwa pacaran tidak dianjurkan dalam Islam.
Media
kemudian menulis bahwa ada kalimat “asal
mau sama mau gak masalah kok“ atau “pakai
kondom agar tidak hamil“ kemudian memberi judul berita dengan subjek novel
porno. Jika demikian, mari kita lihat kalimat seterusnya yang merupakan
komentar tokoh utama yang berperan protagonis dalam bab ini. “Seks, kalau berkaitan dengan diskusi tentang
kesehatan reproduksi sih bagus, malah mendalamkan ilmu biologi.“
Seks
yang diobrolin hanya berorientasi pada `how
to make a baby'. Kalimat ini diucapkan oleh Akta, tokoh utama dalam novel
ini. Lalu kalimat lain dalam novel ini yang berbeda secara diametral dengan
kalimat yang dituduh bermakna lucah atau cabul atau porno, yaitu kalimat, “Semua aturan Allah untuk kebaikan manusia.
Allah tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Bagi-Nya, taat atau ingkarnya
makhluk tidak mengurangi sedikit pun kebesaran dan kemuliaan-Nya.“ (Halaman
28).
Apakah
logis label porno diberikan pada sebuah novel yang menuliskan kalimat-kalimat
ini? Membaca secara keseluruhan novel ini, dan tidak sepotong-sepotong, maka
akan membawa kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antarlawan jenis pada
masa-masa remaja perlu kehati-hatian agar tidak terjebak pada pergaulan bebas.
Lalu
dalam novel Tidak Hilang Sebuah Nama
karya Galang Lufityanto, persoalan yang ditulis di media adalah pada halaman
56. Saya tak menemukan kalimat-kalimat yang dituduhkan, bahwa isinya bermuatan
pornografi karena berisi tentang necrophilia
dan paedo philia. Dialog tentang necrophilia dan paedophilia ada di halaman 58.
Saya
katakan dialog, karena di halaman tersebut tidak ada kalimat yang menuliskan
tentang bagaimana melakukan persetubuhan dengan mayat, yang sering disebut
sebagai necrophilia. Terlebih lagi,
dalam dialog antara Nielsen dan Olive dalam buku Tidak Hilang Sebuah Nama, disebutkan bahwa Olive merasa jijik
dengan perilaku necrophilia yang
sedang didefinisikan oleh Nielsen.
“Olive terpekik. Ia buru-buru menutup
mulutnya, beristighfar berulang kali, apakah ini mungkin terjadi?” Lalu
disambut dengan reaksinya yang lain, “Tapi
ini menjijikkan!” Apakah jika kita membahas tentang definisi necrophilia (seperti yang sekarang
sedang saya lakukan juga dalam tulisan ini) lantas isi buku itu disebut porno?
Bukankah kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa sang penulis memiliki posisi
yang jelas tentang penyimpangan seksual bernama necrophilia? Ia tidak mendukung perilaku menyimpang ini. Jika
muncul argumentasi bahwa novel ini tidak cocok untuk tingkat sekolah dasar
(SD), apakah lantas novel ini dengan mudah dikategorikan sebagai novel porno?
Jika demikian, apakah pantas sebuah kesimpulan tergesa, tergopoh-gopoh, dan
asal tuduh ini terus-menerus dilekatkan? Mungkin kita perlu melihatnya secara
utuh dan menempatkan persoalan ini pada tempatnya. Jika tidak ingin terjebak
pada fitnah dan pembunuhan karakter. Mari berbenah menuju dunia literasi yang
lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar