Nostalgia
Keberhasilan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 15 Juni 2012
BULAN
Juni layar televisi sering menampilkan wajah Bung Karno, yang disebut tokoh
bulan Juni; lahir tanggal 6 Juni.
Sebenarnya
bukan hanya Bung Karno. Pak Harto pun kelahiran bulan Juni, tanggal 8. Begitu
pula Pak Habibie, lahir tanggal 25 Juni. Penulis menyebut mereka the June Presidents.
Berulangkali
melihat wajah Bung Karno, kita menjadi bernostalgia akan keberhasilan masa lampau,
khususnya yang diraih ketiga mantan RI-1 itu.
Tentu
mereka tokoh-tokoh kontroversial. Tokoh besar dunia mana yang tidak menimbulkan
kontroversi, terutama bila menyangkut kebijakan negara? Namun, sesuai bunyi
ungkapan ‘mikul duwur, mendem jero’-junjung
tinggi yang baik, pendam dalam-dalam yang tidak baik--kita bisa melihat banyak
sisi baik yang dilakukan ketiga tokoh.
Lagi
pula, suatu ideologi, untuk bisa terwujud, memerlukan program aksi. Untuk itu
diperlukan pemikir-pemikir yang bisa menginterpretasikan sejarah dan bisa
menjamin program itu sejalan dengan tradisi masyarakat, dengan kepercayaan
masyarakat, juga dengan gejala-gejala umum yang sedang berlaku di dunia. Tiap
aksi atau gerakan memerlukan pengorganisasian dan pengembangan norma-norma yang
bisa dipatuhi karena dia hanya bisa berjalan bila jelas identitasnya.
Diperlukan tokoh-tokoh yang berani memeloporinya.
Bagi
awam, organisasi macam itu pada awalnya tampak tidak praktis dan terlalu
idealistis. Lebih-lebih bila dia membawa perubahan yang mengganggu keselarasan
dan ketertiban yang sudah dikenal. Maka, hidup-matinya ideologi bergantung pada
para pemikir dalam membaca suasana. Juga keberanian para pelopor untuk
menerobos tentangan dan menanggapi tantangan. Mereka mungkin berhasil, mungkin
gagal. “Tetapi masyarakat cenderung
mengagungkan pemenang. Yang gagal mereka campakkan.” Begitu pernah
diucapkan Dr Toety Heraty Nurhadi ketika berkomentar tentang seorang bintang
yang berpulang. Menurut Toety, masyarakat butuh tokoh pemenang yang glamor, tokoh
pujaan yang berbeda dari kenyataan sehari-hari.
Manusia
yang ditokohkan, dengan demikian, dituntut berbuat lebih, layaknya seorang
superman. Selama dia memenuhi tuntutan itu, dia superman pujaan. Tetapi apa
yang terjadi bila dia bukan lagi pemenang? Tepuk gemuruh yang mengelu-elukannya
dalam sekejap bisa berubah menjadi celaan. Tiba-tiba sang tokoh menjadi orang
biasa, bahkan bisa saja dianggap inferior daripada yang lain.
Masa Lampau dan The June Presidents
Kita
mengenang Presiden pertama RI sebagai tokoh yang membebaskan bangsa dan negara
ini dari penjajahan selama tiga abad lebih. Beliau mulai membangun bangsa dan
negara dengan landasan yang nantinya diberi nama Pancasila--sebuah falsafah
yang dipetik dari puncak-puncak unsur-unsur terbaik dalam budaya masyarakat
kita.
Falsafah
tersebut terurai dalam bentuk UUD ‘45 yang bertujuan membangun NKRI dan
mempersatukan serta menyejahterakan bangsa. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa, misalnya, mencerminkan kesadaran tentang keberagaman agama yang ada di
Indonesia. Tetapi, dengan sila tersebut diharapkan segenap umat beragama
menyadari kebesaran Tuhan yang Esa tanpa perlu diperdebatkan lagi kehadirannya
dalam kehidupan kita.
Sampai
sekarang masih ada saja konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Itu berarti
belum seluruh warga Indonesia menyadari makna dan pentingnya sila pertama.
Begitu pula halnya dengan sila-sila yang lain. Seluruh sila dimaksudkan
mengantar bangsa ini pada persatuan, kemakmuran, serta kesejahteraan lahir dan
batin.
Pak
Harto, yang mendapat sebutan Bapak Pembangunan, sejak awal memperlihatkan sikap
kebapakan. Banyak programnya dijalankan terutama demi kepentingan rakyat
banyak; program-program seperti keluarga berencana, kesehatan masyarakat,
pendidikan massal, termasuk perhatiannya yang intensif dalam kegiatan pramuka
dan pertanian. Namun, beliau tidak mengabaikan fakta mengenai perkembangan
perekonomian global. Dalam periode pemerintahannya, investasi asing yang
dirasakan penting bagi pembangunan dibuka. Selama periode itu beliau berhasil
meningkatkan GDP per kapita per tahun sampai 100 kali lipat, dari sebesar US$70
pada awalnya.
Banyak
buku ditulis tentang Pak Harto, antara lain mengenai gaya manajemennya yang
dituturkan 17 menteri. David Jenkins, seorang wartawan senior Australia,
menulis ‘Suharto and His Generals’
yang mencoba mengupas sistem manajemen kenegaraan Presiden ke-2 RI itu dalam
kaitannya dengan peran para jenderal di sekitarnya. Pak Harto dikenal sebagai
seorang ahli strategi.
Sudah
kehendak sejarah bahwa seperti presiden pertama, presiden ke-2 pun akhirnya
dilengserkan. Bubarlah Orde Lama dan Orde Baru, digantikan oleh Orde Reformasi
yang dipelopori Presiden Habibie. Segolongan orang mengatakan Pak Habibie
terlalu maju untuk zamannya. Tokoh cemerlang itu mendapat S-2 dan S-3 di bidang
teknik dari Jerman, dengan predikat summa
cum laude. Sewaktu pulang dari Jerman, beliau dipercaya Presiden Soeharto
untuk mengembangkan industri teknologi tinggi. Namun, sayangnya ahli pesawat
terbang itu tidak didukung kekuatan finansial yang memadai mengingat kemampuan
Indonesia waktu itu. Habibie tidak bertahan lama sebagai presiden, hanya 512
hari. Bandingkan dengan Bung Karno yang memerintah 21 tahun dan Pak Harto 32
tahun. Namun dalam waktu sesingkat itu, Pak Habibie berhasil sebagai pelopor
kebebasan pers dan pengawal demokrasi. Dalam masa pemerintahannya
diselenggarakan pemilu demokratis pada tahun 1999, diikuti 48 partai.
Mengenang
kejayaan masa lampau, tidak berlebihan bila mengangankan kita pun mampu meraih
hal serupa. Kekalutan suasana sosial politik yang ada sekarang rasanya bisa
kita atasi dengan mengambil pelajaran Nelson Mandella tentang semangat
rekonsiliasi. Seperti kata Surya Paloh, hendaknya kita tutup buku untuk yang
lalu dan membuka lembaran baru. Lagi pula kita bukan masyarakat pendendam;
malahan lebih sebagai masyarakat pemaaf demi meraih masa depan yang damai dan
menyejahterakan semua--sesuai hakikat falsafah kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar