Daya
Dukung Lingkungan
Rokhmin Dahuri ; Ketua Bidang Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan Dewan Pakar
ICMI, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
Sumber : REPUBLIKA,
15 Juni 2012
Dalam
perspektif pembangunan berkelanjutan, manusia dan segenap kiprah pembangunannya
kini berada di persimpangan jalan. Di
satu sisi, sekitar dua miliar penduduk dunia masih berkubang dalam kemiskinan,
dan 1,2 miliar di antaranya mende rita kelaparan atau gizi buruk. Maka,
masyarakat dunia didorong untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan
rakyat miskin.
Konsekuensinya
adalah konversi hutan dan ekosistem alam lainnya menjadi kawasan permukiman,
pertanian, industri, dan infrastruktur akan terus meningkat. Di sisi lain,
beragam jenis kerusakan lingkungan telah terjadi hampir di seluruh penjuru
dunia. Dampak negatif dari berbagai kerusakan lingkungan tersebut pada umumnya
bersifat lokal atau regional.
Tidak
demikian halnya dengan pemanasan global, yang dampaknya bisa menimpa seluruh manusia
di permukaan bumi. Kita pun mesti mengendorkan intensitas pemanfaatan SDA dan
pembuangan limbah. Ini berarti menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang
pada gilirannya bisa mengakibatkan membludaknya pengang guran dan kemiskinan.
Upaya
mondial untuk mengatasi permasalahan lingkungan global telah dimulai sejak
Konferensi PBB pertama tentang pembangunan dan lingkung an pada 1972 di
Stockholm, Swedia. Upaya itu semakin bergaung lewat publikasi buku ‘Our Common Future’ oleh World Commission on Environment and
Development (1986). Dilanjutkan dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan
dan Lingkungan di Rio de Janeiro (1992), dan di Afrika Selatan (2002).
Ironisnya,
di balik kemauan politik para pemimpin dunia untuk membenahi kerusakan
lingkungan global, beragam kerusakan lingkungan justru kian parah dan meluas.
Dan, akumulasi dari sejumlah kerusakan lingkungan itu adalah perubahan iklim
global (global climate change) yang
telah membuat bumi semakin panas (global
warming).
Mengapa
ironi tragedi kerusakan lingkungan itu terjadi? Jawabannya adalah karena selama
ini kita mengobati fenomena (gejala) dari kerusakan lingkungan, bukan akar
masalahnya. Pada dasarnya, kerusakan lingkungan berakar pada permintaan total
manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan telah melampaui daya dukung
lingkungan suatu wilayah untuk menyediakannya dalam waktu tertentu.
Menurut
hasil pengkajian tim peneliti Universitas Harvard (2002), total permintaan umat
manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan pertama kali melewati daya dukung
lingkungan bumi terjadi pada 1980. Selanjutnya, pada 1999 total permintaan
manusia itu 20 persen lebih besar daripada daya dukung lingkungan bumi.
Jalan Keluar
Maka,
dalam rangka mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik, sejahtera, dan
berkelanjutan, secara teknis kita harus melakukan dua prakarsa terobosan secara
simultan pada tingkat negara dan global. Pertama, kita mesti memelihara dan
meningkatkan daya dukung bumi. Untuk itu, tata ruang wilayah yang dapat
memproteksi kawasan lindung harus diimplementasikan.
Eksploitasi
SDA tidak terbarukan (migas, batu bara, mineral, dan bahan tambang) mesti
dilakukan secara ramah lingkungan. Sebagian keuntungan ekonominya harus
digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai
kegiatan ekonomi dan bisnis yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Selain
itu, semua kegiatan ekonomi dan manusia harus diusahakan tidak banyak membuang
limbah, zero-waste, dan sedikit mengemisikan gas rumah kaca (low-carbon). Pencemaran lingkungan harus
dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara), dan
mulai sekarang beralih ke energi terbarukan, seperti biofuel, panas bumi,
energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan
hidrogen.
Kembangkan
dan aplikasikan probiotik dan immunostimulan untuk tambak konservasi
tanah dan air, dan tekno logi pascapanen. Rehabilitasi semua eko sistem alam
yang mengalami kerusakan. Kita pun harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya.
Kedua,
kita harus menurunkan total permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa
lingkungan, dengan cara me ngen dalikan jumlah penduduk dan menurunkan laju
konsumsi SDA serta pembuangan limbah per kapita. Menurut perhitungan Brown
(2003) dan Bank Dunia (2011), dengan rata-rata GNP per kapita 9.000 dolar AS
dan konsumsi energi per kapita 2.500 kg (kg
of oil equivalent), seperti Malaysia sekarang, maka jumlah maksimum
penduduk yang mampu ditopang oleh daya dukung planet bumi hanya sekitar delapan
miliar orang. Saat ini penduduk dunia mencapai tujuh miliar jiwa.
Mengingat
kesenjangan antara warga kaya dan miskin kian melebar, dan sekitar dua miliar
penduduk dunia masih miskin, maka upaya penurunan laju penggunaan SDA dan
pembuangan limbah per kapita harus dilakukan dengan menurunkan standar
kehidupan orang-orang kaya. Saat yang sama, kita punya kewajiban moral untuk
memperbaiki kualitas hidup penduduk miskin.
Program
pemerataan kesejahteraan antarwarga dunia secara berkeadilan tersebut hanya
dapat diwujudkan, bila perilaku individu dan masyarakat dunia ditransformasi menjadi
pola hidup yang lebih sederhana. Untuk itu, perlu juga dilakukan dengan
transformasi dan pendekatan keagamaan (spiritual). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar