Papua
dan Neobarbarianisme
Misranto ; Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 15 Juni 2012
WAJAH
bangsa ini dari waktu ke waktu bukannya mendamaikan dan mencerahkan, namun kian
merekahkan dan menakutkan. Lihat kondisi Papua, sebuah wilayah strategis yang
sumber daya bumi dan tambangnya telah memberi banyak pada negeri ini, justru
kerap berbalut darah. SBY menyebut ada kekuatan asing yang ikut membuat Papua
mudah bergolak.
Wajah
retak Papua itu tak ubahnya merupakan cermin wajah Indonesia (negara), yang
membenarkan stigma Herbet Marcuse sebagai cermin bangsa atau negara berkemasan
neobarbarianisme, suatu konstruksi bangsa yang sering mendeklarasikan sebagai
pembangun demokrasi modern dan beradab. Namun dalam realitasnya elemen negara
ini gagal membaca atau mengendalikan berbagai bentuk penyakit yang mengacaukan
dan merekahkannya.
Yang
seolah dikedepankan dan ‘dilukis’ oleh negara ialah gaya hidup berkeadaban dan
kebersamaan, serta berkeadilan. Padahal faktanya negara terbaca memproduksi
langkahlangkah membingungkan dan merugikan rakyat.
Elemen
negara tidak saling memenangkan nalar sehat dan kepekaan humanitasnya demi
memprioritaskan kepentingan makro sesama dan lintas etnik Papua. Namun
sebaliknya terseret dalam pusaran gesekan, pertarungan, dan konfl ik yang
bercorak saling menghajar, menendang, menerkam, menyakiti, dan menghabisi, yang
memang bukan tidak mungkin kesemua ini diikuti dan diarsiteki oleh tangantangan
jahat asing atau oknum predator dari elemen negara.
Meski
ada dugaan asing ikut bermain, kesalahan tetaplah pada diri kita, khususnya
elemen negara. Pihak asing tidak akan suka atau ingin mempermainkan hingga
mendestruksi ketahanan NKRI (Papua) kalau sikap dan mental kita tak
melonggarkan untuk dipermainkan, dikoyak, atau dirusak. Di sisi lain, mental
kita sendiri yang gampang meledakkan dan mengeksplorasi amarah lewat pendekatan
represif.
Mereka
yang jadi elite kekuasaan gagal mendidik dan memediasi kewenangannya menjadi
kepemimpinan yang toleran dan empatik. Sementara mereka yang berasal dari
kalangan alit yang terancam eksistensi dan makin kehilangan keberdayaan
terseret dalam perlawanan secara radikalistik atas nama hak.
Investasi Moral
Ada
investasi moral yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW ketika beliau didatangi
seorang pria. Sambil berdiri di depan beliau, pria itu bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah agama itu?“
Beliau menjawab, “Agama adalah akhlak
yang baik.“
Pria
itu bergerak menghadap beliau dari arah kanan dan bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang disebut agama itu?“
Beliau menjawab, “Agama itu adalah akhlak
yang baik.“ Rupanya masih belum puas, pria itu bertanya lagi dari sebelah
kiri dengan pertanyaan yang sama. Jawaban Baginda Rasul pun tetap sama.
Kemudian
pria itu beralih ke belakang beliau dan melancarkan pertanyaan serupa. Beliau
lantas menoleh kepada pria itu dan bersabda, “Apakah engkau belum mengerti? Agama itu adalah engkau tidak boleh marah.”
Dalam hadis lain beliau pun bersabda, “Surga
itu menjadi tempat kalian yang sebenarnya bisa marah, tetapi kalian mampu
mengendalikannya (tidak membiarkan kemarahan ditunjukkan).” Surga yang
diingatkan beliau ini bisa diibaratkan kebahagiaan di dunia. Konstruksi
relasional antarsesama manusia akan terjaga keharmonisannya kalau setiap elemen
bisa kalahkan sifat pemarahnya.
Di
awal dialog dengan pria itu, beliau jelas-jelas menunjukkan bahwa inti agama
atau hidup bernegara itu terletak pada etika yang baik. Seseorang akan menjadi
pemeluk agama yang taat, baik, dan sempurna jika dalam setiap perilakunya benar-benar
berlandaskan pada akhlak yang baik. Akhlak bagi seseorang, masyarakat, dan
bangsa adalah kekuatan fundamental yang menentukan kekukuhan integrasi bangunan
kehidupannya.
Selama
etika masih digunakan atau diberdayakan untuk membangun dan membingkai
aktivitas manusia baik secara individual, bermasyarakat, maupun bernegara, maka
keselamatan, kebahagiaan, dan kejayaan akan tetap bisa diraih. Kata kunci
kejayaan hidupnya terletak pada kejayaan etisnya, sedangkan kata kunci
kehancuran hidupnya terletak pada kehancuran etikanya.
Selama
manusia masih berpegang teguh pada etika, manusia tidak perlu takut menghadapi
dan menjawab ragam tantangan yang mengujinya, termasuk ujian di Papua. Salah
satu etika ini ialah bila seseorang atau sekelompok orang, khususnya aparat
keamanan, mampu mengendalikan atau mencegah emosi dari kemungkinan dilampiaskan
(diagregasikan) secara destruktif dan masif.
Dalam
ranah lain, nyawa agama itu ditentukan oleh kapabilitas moral pemeluknya dalam
memenangkan etika. Larangan keras memenangkan kemarahan sejatinya sebagai
perintah supaya pemeluk agama tidak gampang obral kekerasan, tak asal
memproduksi praktik dehumanisasi, atau tidak menjadikan sesama sebagai sasaran
tangan-tangan jahatnya. Thomas Hobbes pun pernah menyebut, bellum omnium contra omnes atau sekelompok orang akan terus berkonflik
dengan kelompok lain manakala masing-masing kehilangan etika sosial dan
kebernegaraannya.
Tangan
jahat dan keji yang diberikan tempat berdaulat di masyarakat dapat
mengakibatkan atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi sekarat.
Pemilik tangan jahat dan keji ini dapat terbaca di Papua ketika tangan-tangan
ini terus saja menabur dan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme.
Berhak Marah
Secara
psikologis, saat seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya tidak bersalah,
tidak berbuat jahat, dan tidak melanggar hak asasi manusia, atau tidak
melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, sementara dia terus-menerus
diserang oleh berbagai intrik, fitnah, dan praktik-praktik kekejian seperti
pembunuhan karakter, sebenarnya seseorang ini berhak melampiaskan kemarahannya.
Tetapi,
karena kemampuannya untuk memenangkan nalar dan sikap sabar di atas sifat
amarah, kemungkinan terjadi dan berlanjutnya tragedi berdarah bisa dicegah.
Ketika
Nabi Muhammad SAW menuju Thaif untuk melakukan dakwah, beliau diserang
masyarakat Thaif dengan cara dilempari batu hingga berdarah. Menyaksikan
kenyataan itu, Malaikat Jibril menawarkan kepada Nabi untuk menghukum
masyarakat Thaif dengan cara dihujani batu gunung yang lebih besar dan
mematikan.
Tawaran
Jibril itu ditolak oleh Nabi dengan jawaban, “Kita lebih baik sabar dan mendoakan masyarakat Thaif yang belum tahu
kebenaran ini. Siapa tahu kelak, mereka justru menjadi manusia-manusia yang
berdiri di barisan depan untuk membela dan memperjuangkan agama.“
Belajar
dari kearifan dan kesabaran sebagai pemimpin, jelas sekali bahwa kemampuan
beliau meninggikan makna esoteris sabar dan mengalahkan sifat marah merupakan
pintu gerbang yang menentukan keharmonisan hidup dalam beragama, dalam
berbangsa, dan menggapai kejayaan di masa depan. Sekurang-kurangnya dari sifat
marah yang bisa ditepis dan dikalahkan, banjir darah bisa dicegah.
Masyarakat
Thaif bisa dicegah oleh watak Nabi yang penyabar dari banjir darah akibat
batu-batu gunung yang hendak diterbangkan Jibril. Watak beliau inilah yang
mampu mencegah kehancuran dan sebaliknya berhasil mendatangkan kesatuan dan
kejayaan negeri. Kesabaran keluar sebagai pemenangnya karena Nabi kukuh
mewujudkannya sebagai perisai kepribadiannya di tengah keberagaman.
Kalau
setiap orang atau elite struktural negeri ini mau mengikuti jejak pemimpin
seperti itu, alangkah nikmat dan damainya kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara ini, khususnya di Papua. Kita tentu tidak akan sampai menyaksikan
tayangan yang berkali-kali mengekspos aksi kekerasan dan darah tumpah di Papua,
jika saja setiap pihak mampu berperang maksimal mengalahkan amarah atau
kecenderungan menahbiskan ego menang, benar, dan berkuasa sendiri.
Di
tengah masyarakat yang sudah demikian sering diwarnai oleh aksi-aksi banjir
darah akibat kekerasan kelompok ini sudah seharusnya prinsip etik sosial
dikembalikan.
Pasalnya,
dengan etika sosial ini masyarakat dan bangsa bisa menuai dan menyuburkan hidup
damai dan harmoni. Ingat apa yang dilontarkan oleh Napoleon Banoparte, “Di tengah kekerasan yang marak terjadi,
hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan besar.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar