Manajemen
Nuklir Jepang
Nanang
Hermawan ; Pengawas Radiasi Muda Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (Bapeten)
Sumber :
REPUBLIKA, 26 Juni 2012
Jepang
adalah negeri yang merasakan secara langsung dahsyatnya bom nuklir di akhir
Perang Dunia II. Ribuan nyawa melayang, menderita luka, cacat seumur hidup,
bahkan mungkin kelainan genetika yang dapat menurun kepada anak cucu. Hiroshima
dan Nagasaki porak-poranda rata dengan tanah, dan meninggalkan kontaminasi zat
radioaktif yang sangat berbahaya.
Jepang
adalah negara yang mewarisi semangat para samurai dan ninja, maka Jepang
langsung bangkit untuk kemudian menjadi negara yang paling maju di kawasan
Asia. Kemajuan Jepang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mendorong sektor industri berkembang dengan sangat pesat.
Industri Jepang yang tangguh didorong oleh ketersediaan dan kecukupan energi
listrik.
Secara
alamiah Jepang merupakan negara dengan keterbatasan sumber daya energi. Untuk
mencukupi kebutuhan energi dalam negeri, awalnya Jepang mengandalkan impor
minyak bumi dari Timur Tengah. Di samping itu, Jepang juga banyak mengimpor
batu bara dan gas alam dari negara lain, seperti Australia dan Indonesia. Pada
awal tahun 1970-an, komposisi penggunaan energi Jepang meliputi minyak bumi
(60,8 per sen), batu bara (6,6 persen), gas alam (3,1 persen), dan sumber lain
sekitar 29,4 persen (ANRE–METI, 2010).
Krisis
minyak bumi yang menimpa dunia pada 1973 berdampak pada industri dan
pertumbuhan ekonomi Jepang karena ketergantungan yang tinggi terhadap minyak
bumi dari Timur Tengah.
Peristiwa
ini menyadarkan Jepang untuk merumuskan kembali kebijakan energi nya dengan
mengurangi ketergantungan impor sumber daya energi dari negara lain. Langkah
yang ditempuh diantaranya peningkatan penggunaan gas alam dan kebijakan go nuclear. Pada 2008 komposisi bauran
energi Jepang meliputi minyak bumi (19,5 persen), batu bara (15,7 persen), gas
alam (25,1 persen), nuklir (20,1 persen), hidro/geothermal/energi terbarukan
(8,9 persen), dan sumber lain (10,7 persen).
Kontribusi
nuklir terhadap penyediaan listrik Jepang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jepang bahkan menjadi negara terkemuka dalam penguasaan teknologi nuklir.
Hingga awal 2011, Jepang mengoperasikan sebanyak 54 PLTN dengan kapasitas
produksi energi listrik sebesar 47,5 GWe (30 persen). Kebijakan energi Jepang
yang ditetapkan pada 2010 terus mendorong peningkatan kontribusi nuklir hingga
mencapai 50 persen dari kebutuhan listrik di dalam negeri pada 2030.
Kejadian
kecelakaan nuklir yang menimpa PLTN Fukushima Daiichi akibat terjangan
gelombang tsunami pada 11 Maret 2011 merupakan tragedi kecelakaan nuklir
terparah setelah Chernobyl pada 1986.
Perisitiwa tersebut membangkitkan sentimen kelompok antinuklir di dalam negeri
Jepang yang kemudian menuntut untuk dihentikannya semua program nuklir Jepang.
Atas dorongan publik tersebut, dan rekomendasi dunia internasional (melalui International Atomic Energy Agency,
IAEA), Jepang melakukan serangkaian kajian keselamatan terhadap semua struktur,
sistem, dan komponen semua instalasi nuklir yang tengah beroperasi, dikenal
sebagai stress test.
Pascakejadian
kecelakaan Fukushima Daiichi secara
bertahap PLTN yang beroperasi di-shut
down untuk menjalani stress test.
Hingga 5 Mei 2012, 54 PLTN yang dimiliki Jepang semuanya tidak beroperasi dan
menjalani kajian mendalam terhadap sistem keselamatannya. Hal ini tentu saja
menyebabkan terjadinya pengurangan pasokan listrik yang sangat signifikan.
Kondisi ini mendorong dilakukannya langkah penghematan energi secara besar-besaran,
bahkan pernah dilakukan pemadaman secara bergilir. Kebijakan energi yang baru
tengah dirumuskan sebagai respons terhadap kejadian Fukushima Daiichi 2011. Program nuklir ke depan sangat rentan terhadap
protes dari berbagai kelompok, maupun masyarakat secara umum.
Kelompok
antinuklir mendorong aspirasi untuk mengurangi, bahkan menghentikan operasional
dan pengembangan nuklir di masa depan. Namun demikian, Pemerintah Jepang tentu
akan sangat berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dengan berbagai
pertimbangan, seperti ketersediaan pasokan listrik, dampak terhadap sektor
industri, hingga pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas politik dalam negeri.
Apakah
semua PLTN yang tidak beroperasi untuk menjalani stress test saat ini, akan seterusnya tidak dioperasikan kembali?
Pemerintah Jepang menimbang bahwa kontribusi nuklir terhadap pasokan listrik
dalam negeri tidak akan dengan mudah digantikan dengan sumber energi yang lain
dalam waktu pendek. Bahkan, atas permintaan Pemerintah Perfecture Fukui di bagian barat laut Pulau Honsyu, Perdana Menteri
Yoshihiko Noda telah memutuskan akan dioperasionalkannya kembali PLTN Oi Unit 3
dan 4 per 16 Juni 2012.
Dioperasikannya PLTN Oi Unit 3 dan 4
menunjukkan bahwa Jepang tidak akan bisa dengan mudah mengesampingkan
kontribusi energi nuklir terhadap pasokan energi listriknya. Sangat mungkin
dalam waktu dekat, PLTN-PLTN yang lain pun akan menyusul untuk dioperasikan
kembali, tentu saja setelah dipastikan bahwa sistem keselamatannya berfungsi
secara andal, bahkan di-upgrade untuk
mengantisipasi segala potensi ancaman bencana alam, seperti gempa bumi dan
tsunami yang sering terjadi di negeri Matahari Terbit tersebut. Kepercayaan
publik terhadap keandalan penggunaan teknologi nuklir di Jepang merupakan
tantangan bagi dunia industri nuklir dan para pemangku kepentingan terkait di
negara tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar