Strategi
Cybercampaign
Najmuddin
Mohammad Rasul ; Dosen Universitas Andalas,
Mahasiswa Program Ph D Komunikasi
Politik di National University of Malaysia
Sumber :
REPUBLIKA, 26 Juni 2012
Bagi
para aktor politik, pemilih pemula (young
voters) merupakan objek yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebab,
pemilih pemula termasuk kelompok undecided
voters yang belum memiliki keputusan politik dalam pemilihan umum. Kelompok
muda ini sangat rasional, kreatif, dan inovatif, terutama dalam mencari informasi
politik.
Dalam
era teknologi informasi (ICT) ini, internet telah menjadi media utama baik bagi
masyarakat maupun elite politik. Kehadiran ICT telah mengubah landscape politik di negara-negara
demokrasi. ICT dapat meningkatkan pemahaman dan kualitas warga serta
pengelolaan pemerintahan yang lebih baik.
Para
pemilih terutama generasi muda telah memanfaatkan media internet sebagai medium
marketplace of ideas, debat publik,
dan sumber informasi politik. Bagi para aktor politik, media internet dijadikan
media komunikasi politik yang efektif untuk menyampaikan ide-ide politik, janji,
dan agenda politiknya.
Kalau
diperhatikan, sejarah penggunaan internet oleh elite politik adalah berawal
dari penelitian yang dilakukan oleh Bimber dan Davis dalam pemilu Amerika pada
2000. Kajiannya menemukan bahwa komunikasi politik menggunakan internet
memiliki keunggulan dibanding media lain. Keunggulan itu antara lain, opinion reinforcement, activism, donating,
voter registration and mobilization.
Sementara
itu, menurut Bakker dan Vreese (2011), media internet untuk politik telah
digunakan pada pemilihan Presiden Amerika pada 2008. Smith & Rainie (2008)
mengatakan bahwa Presiden Obama sangat aktif berkomunikasi dengan pemilih
pemula melalui social media. Hal yang
sama menurut Eurostat (2009) juga terjadi di negara-negara Eropa Barat.
Mengenai
hubungan internet dan politik adalah sesuatu yang menarik dan perlu untuk
dikaji. Kajian tentang internet dan politik telah dilakukan oleh banyak pakar,
seperti Zafiropoulos dan Vrana (2008), Desquinabo (2008), Devereaux (2008),
Gaines dan Mondak (2008). Internet adalah sebuah media alternatif yang dapat
digunakan oleh warga untuk partaisipasi politik dalam era digital ini.
Dalam
kajian Kissane (2008) pada pemilihan umum Federal Australia menunjukkan pemilih
muda yang berumur 18-29 tahun cenderung memilih dan menyukai kandidat berusia
muda. Sedangkan, menurut Lilleker dan Jackson (2008), elite politik di Inggris
cenderung menggunakan internet untuk meraih suara. Namun sebaliknya, dalam kajian
Oates (2008) di Rusia menunjukkan bahwa internet tak berhasil mengimbangi media
tradisional yang bias.
Merujuk
pada kajian Kirk and Schill (2011) terhadap pemilihan presiden Amerika pada
2008, ternyata ICT telah membantu warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan
umum karena dengan internet warga dapat mengetahui lebih dekat sosok, latar
belakang, dan visi-misi politik para kandidat. Internet sangat berpengaruh
terhadap perilaku dan keputusan politk utamanya generasi muda.
Dalam
cyberspace ini bukan hanya orang yang
tertarik akan internet yang berubah, tetapi semua orang termasuk aktor politik
juga berubah perilaku politiknya. Yang lebih ekstrem adalah warga muda berpikir
lebih skeptis dan antipati terhadap politik (Henn, Weinstein, & Wring,
2002).
Selanjutnya,
mengikuti perspektif post-modernist,
internet telah menjadi alat komunikasi dan transformasi sosial. Sedangkan,
dalam perspektif komunikasi politik, internet akan menjadi public sphere dan medium tempat bertukar informasi yang efektif
pada abad ke-21. Bahkan, internet dapat mengonstruksi dan mendiskusikan isu-isu
sosial. Sejalan dengan padangan di atas, Habermas mengatakan bahwa internet
dapat menjadi sarana untuk mengatasi kompleksitas masyarakat modern.
Walaupun
banyak hasil peneiltian yang menunjukkan manfaat internet sebagai media
komunikasi politik yang efektif, namun banyak pula pandangan yang mengatakan
bahwa internet berbahaya untuk demokrasi, namun beberapa pakar menunjukkan
bahwa media massa termasuk internet telah menjalankan fungsinya sebagai
pendorong keterlibatan warga dalam negara demokrasi. Bahkan, internet ternyata memiliki peranan yang signifikan dalam spektrum ini.
Young voters
Generasi
muda, utamanya yang berumur 17-22 tahun, umumnya termasuk kelompok undecided voters. Jumlah mereka cukup
signifikan. Oleh sebab itu, suara mereka sangat menentukan dalam pemilu.
Memahami besarnya potensi generasi muda tersebut maka partai politik dan aktor
politik selalu menjadikannya sebagai prioritas dalam melakukan kampanye pemilu.
Kalau
diperhatikan, dalam setiap pemilihan umum telah terjadi penurunan angka
partisipasi warga muda yang signifikan. Misalnya, dalam tiga pemilu legislatif
terakhir, penurunannya sudah di atas 20 persen. Dari 93 persen pada Pemilu 1999
menjadi 70 persen dan 99 pada Pemilu 2009. Angka partisipasi pemilih dalam
pemilihan presiden (pilpres) yang untuk pertama kalinya digelar secara langsung
pada 2004 lalu, pada putaran pertama angka partisipasinya masih 79,76 persen.
Oleh
sebab itu, perlu dipahami dengan baik apa faktor yang menyebabkan terjadinya
kondisi demikian. Menurut saya, yang amat krusial adalah faktor kepercayaan
generasi muda terhadap perilaku politik dan pola rekrutmen dan pendidikan
politik oleh partai politik. Serta, sistem politik perlu diperbaiki sesuai dengan
norma-norma demokrasi yang berlaku universal.
Bisakah aktor yang berperan dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) DKI kali ini memanfaatkan media internet sebagai medium
komunikasi politik untuk meraih hasil maksimal dan sekaligus untuk meningkatkan
partisipasi pemilih khususnya pemilih pemula? Tentu kita berharap, Pilkada DKI
dapat menjadi tolok ukur pelaksanaan Pemilu 2014 nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar