Kohabitasi
Pak Harto dan Om Liem
Christianto
Wibisono ; CEO
Global Nexus Institute
Sumber :
KORAN TEMPO, 26 Juni 2012
Saya baru saja menyelesaikan buku Wawancara
Imajiner dengan Bung Karno, yang membedah anatomi Presiden RI 1-6 untuk
memberi bekal kepada pemilih dan rakyat Indonesia dalam merekrut calon presiden
ketujuh agar belajar dari sejarah kegagalan dan kesuksesan masa lalu, supaya
Indonesia tidak menyia-nyiakan momentum sebagai anggota G2(0?).
Dalam dialog dengan Suryopratomo dan Pande
Raja Silalahi di Metro TV, Senin, 11 Juni 2012, saya menyatakan bahwa
wafatnya Om Liem menandai berakhirnya era Soehartonomics.
Suatu era di mana penguasa politik memberi fasilitas kepada pemain bisnis
unggulan untuk berkiprah membangun kekuatan ekonomi nasional dengan proteksi
nasionalistis.
Repressive developmentalist regime(RDR)
sukses di Korea Selatan dan Taiwan, tapi kurang berhasil di Amerika Latin.
Kohabitasi politik dan bisnis pada era Orde Baru mengandung inti “gentleman
agreement” Pak Harto sebagai penguasa tunggal politik yang memerlukan mesin
dan operator pembangunan yang tangguh untuk men-deliver pelbagai program
dan proyek yang tidak mungkin dikerjakan oleh birokrat dalam diri Om Liem dan
konglomerat lain. Soeharto meniru Park Chung Hee yang menunjuk Jenderal Park
Tae Joon menjadi Direktur Utama Pohang Steel (Posco) dengan pesan: Anda tidak
cuma berbisnis, tapi berperang untuk merebut pangsa pasar baja dunia.
Kalau chaebol Korea saja mengalami
kesulitan pada krisis moneter 1998, maka chaebol jiplakan Indonesia,
termasuk Salim Group, tidak bisa lepas dari keterpurukan sektor riil. Bahkan,
kalau melihat krisis moneter AS 2008 dan krisis Eurozone 2012, kata kunci yang
harus dihormati oleh semua penguasa politik dan kolaboratornya adalah bahwa mereka
harus men-deliver dan tidak membebani konsumen dengan high cost
economy serta pinjaman yang tidak terlindung dari fluktuasi valas global.
Kolaborasi penguasa “pribumi” Pak Harto
dengan “pengusaha non-pribumi” (Om Liem) bubar dengan tragedi Mei 1998. Salah
satu fatwa yang diucapkan Om Liem kepada saya adalah: "Chris, saya tidak takut ekstremis radikalis
(waktu itu belum ada quasi Al-Qaidah atau Taliban lokal); yang paling saya
takuti adalah kalau ABRI pecah. Dan non-pri kalau ikut pecah dan ada yang jadi
preman juga tidak kurang sadis dari pri.” Fatwa itu mengomentari Malari dan
aksi protes terhadap Soeharto pada Maret 1978 yang menuntut Soeharto berhenti
setelah dua masa jabatan (1968-1978). Dengan tangan besi menguasai ABRI dan
melengserkan para jenderal oposisi seperti dikisahkan oleh David Jenkins dalam
buku Soeharto and his Generals, Soeharto berhasil mempertahankan
kohabitasi sampai 20 tahun berikutnya.
Tapi krismon (krisis moneter) yang melanda
Asia Timur sejak medio 1997 terlalu dianggap enteng dengan slogan fundamental
ekonomi RI kuat. Pada Juli, dari Portland, AS, saya sudah menelepon Gubernur
Bank Indonesia Sudradjad Djiwandono. Mas krismon ini gawat, kenapa rupiah tidak
didevaluasi langsung menjadi Rp 5.000 dari Rp 2.250 pada medio 1997. Saya hanya
mengikuti perkembangan inflasi dan nilai tukar rupiah yang sejak 1971
didevaluasi 4 kali dari Rp 415 menjadi Rp 1.644 pada 1986, lalu merayap sesuai
dengan kemampuan ekonomi RI yang hanya berkaliber “kloter” 2 dalam formasi
angsa terbang. Kloter 1 adalah 4 macan Asia, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong
dan Singapura. Setelah 11 tahun, maka nilai tukar Rp.2.250 memang sangat overvalued,
sehingga perlu didevaluasi. Tapi Soeharto bergeming dan berharap IMF akan
menyelamatkan.
Ternyata resep IMF dungu sekali, menutup 16
bank, tanpa sadar bahwa RI belum memiliki Lembaga Penjamin Deposito. Di AS, Federal Deposits Insurance Corp (FDIC)
didirikan oleh Presiden Roosevelt setelah krisis bursa 1930-an. Kabinet dan
Soeharto baru kelabakan setelah situasi memburuk setelah penutupan 16 bank.
Steve Hanke diundang untuk menerapkan Currency
Board System (CBS) yang mematok dolar pada kurs Rp 5.000. Tapi dolar sudah
ambruk menyentuh Rp16 ribu. Telepon interlokal Presiden Clinton kepada Soeharto
tidak berhasil menyelamatkan Soeharto, tapi Harmoko tetap ngotot
mengangkat Soeharto kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-7, yang
hanya berumur 69 hari.
Kohabitasi Pak Harto dengan Om Liem runtuh,
dan Orde Reformasi mengubah drastis peta politik. Tidak ada lagi penguasa
tunggal pribumi. Setiap politikus di Indonesia dapat mengumpulkan kekuatan dana
dan memobilisasi massa secara sistematis untuk bersaing menjadi presiden. Ini
yang membedakan Orde Reformasi dengan Orde Baru. Di zaman Soeharto, Presiden
dan Golkar adalah kekuatan manunggal yang memonopoli politik dan menggerakkan
pembangunan tanpa oposisi terbuka. Walaupun tetap ada gejolak internal, konflik
di antara pelbagai jenderal bisa ditutupi.
Pada era Orde Reformasi, setiap politikus
pribumi merasa berhak menjadi calon presiden dalam persaingan bebas tanpa perlu
meminta restu dari petahana. Meskipun secara teoretis tidak ada lagi pembatasan
terhadap kiprah “keturunan” di bidang politik, jabatan presiden tampaknya malah
masih merupakan domain suku Jawa. Karena itulah Jusuf Kalla sulit mematahkan
masalah privilege Jawa ini, meskipun Habibie mematahkan mitos itu dengan
menggantikan Soeharto selama 18 bulan.
Apakah Aburizal Bakrie dengan kekuatan
finansialnya bisa merontokkan mitos domain? Apakah koalisi Jusuf Kalla, Surya
Paloh, dan Hary Tanoesoedibjo bisa menyisihkan dinasti Bakrie, dinasti Sarwo
Edhie, dan dinasti Sumitro Djojohadikusumo? Semua ini bergantung pada situasi
2012-2014. Bila petahana tidak mampu men-deliver, calon presiden yang
didukung petahana yang tidak bisa mencalonkan diri lagi pasti akan dikalahkan
oleh calon alternatif.
Dinasti politik 2012 tidak bisa memonopoli
kasir tunggal seperti Pak Harto berduet dengan Om Liem. Kasir menjadi multiple
yang ikut bermain secara aktif terbuka dalam pemilihan president secara free
for all. Selamat jalan Om Liem untuk menemui Pak Harto yang baru berulang
tahun ke-91. Era kohabitasi politik-bisnis model Pak Harto dan Om Liem telah
berlalu. Era 2012 menyajikan kompetisi multicalon yang pada akhirnya harus
menghasilkan the best untuk Indonesia. Jika tidak, maka seperti fatwa Om
Liem, Indonesia tidak perlu takut ekstremis. Yang lebih menakutkan adalah calon
presiden dan partai terpecah namun bersatu dalam korupsi berjemaah dan tidak
merasa perlu merawat negara ini seperti tragedi Mei 1998. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar