Pembawa
Lentera
Gede
Prama ; Penulis
Buku Simfoni di Dalam Diri,
Fasilitator Meditasi di Bali Utara
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 24 Mei 2012
Awan gelap menutupi cahaya, itu analogi tepat
bagi sebagian kehidupan kekinian. Naiknya jumlah kasus bunuh diri adalah
indikasi ada awan gelap dalam sisi kejiwaan manusia. Keluarga diancam
keruntuhan karena maraknya perceraian, menunjukkan adanya awan penghalang dalam
hubungan antarmanusia. Lebih-lebih politik, yang gelap dibuat tambah gelap,
yang terang ditutupi agar gelap. Sebagian wakil rakyat, yang panggilan alaminya
membawa lentera, malah menimbulkan kegelapan melalui korupsi. Digabung menjadi
satu, kegelapan hadir di mana-mana, sekaligus menghadirkan kerinduan munculnya
pembawa lentera.
Salah satu simbol budaya modern adalah
pesawat jet yang memungkinkan manusia bepergian secara cepat. Ini memberi
inspirasi bahwa kehidupan didorong agar serba cepat. Sekolah cepat, bekerja
cepat. Dan manusia kemudian mengejar. Sebagian besar yang mengejar itu tidak
menjumpai apa-apa. Kalaupun ada yang dijumpai, hanya keterasingan. Sebagian
orang kaya terkemuka di Barat, seperti Bob Marley, Michael Jackson, dan Whitney
Houston, menjadi guru bahwa kekayaan materi menghasilkan keterasingan. Di
puncak keterasingan ini, badan sakit, mental tidak stabil, bahkan ada yang mati
kecanduan narkoba.
Sebagian guru meditasi di Barat yang setiap
hari bergelimang murid sakit kemudian menyebut semua tersebut tipuan budaya
modern. Dan yang paling menipu, apa lagi kalau bukan janji palsu kekayaan
materi yang seolah-olah bisa memberikan semuanya. Sheila MacLeod dalam The Art of Starvation membuka ironi
besar. Sementara di negara terbelakang seperti Afrika banyak manusia kelaparan
karena miskin, di Barat, dalam jumlah yang terus naik, manusia juga tidak bisa
makan. Terutama karena gangguan akibat paduan kompleks antara kebencian,
ketakutan, kegagalan, ketidakberdayaan, keterasingan, serta hasrat untuk
menguasai kehidupan secara berlebihan.
Pada momen seperti inilah, manusia perlu
"menemukan kembali" dirinya yang telah lama terasing. Sejumlah guru
tercerahkan bertutur, di titik ketika kilatan cahaya pencerahan menyala, para
guru "menyentuh kembali" tubuhnya. Meminjam Reginald A. Ray dalam Touching Enlightenment, pengertian tubuh
bukan hanya tubuh fisik, tapi juga mencakup tubuh interpersonal, sekaligus
tubuh kosmik. Penderitaan terjadi karena tubuh manusia didangkalkan hanya
menjadi tubuh fisik yang terasing. Tubuh kosmik yang menakutkan--tecermin dari
banyaknya kecelakaan, gempa, tsunami--adalah cermin dari tubuh interpersonal
yang penuh kekacauan. Sebagai contoh, betapa rumit membuat elite politik agar
rukun membangun negeri. Tubuh interpersonal yang kacau adalah cermin dari tubuh
personal yang terasing di tengah keadaan yang serba tidak puas.
Dengan demikian, inilah saatnya melakukan
gerakan balik berupa keterhubungan. Antropolog sosial Gregory Bateson
menyebutnya "the pattern that
connects" (pola yang menghubungkan). Fisikawan Fritjoff Capra memberi
sebutan "the hidden connections" (keterhubungan yang tersembunyi).
Fisikawan David Bohm menyebutkan bahwa health
(kesehatan) terkait erat dengan whole
(keseluruhan). Sejarawan agama terkemuka Karen Armstrong menemukan bahwa
intisari ajaran agama adalah compassion
(belas kasih). Dan Thich Nhath Hanh menyebut perlunya inter being (proses menjadi yang saling terkait). Dengan kata lain,
"menyentuh kembali" tubuh kosmik tidak hanya menjadi kearifan tua di
Timur, tapi juga menjadi kebutuhan mendesak manusia Barat sebagaimana
diwartakan ilmuwan.
Sebagai bahan untuk melangkah, meditasi
mengenal prinsip sederhana: "pikiran cepat adalah hulu penderitaan,
pikiran lambat adalah awal kesembuhan, pikiran yang hening sempurna itulah
pencapaian meditasi". Artinya, memelankan pikiran melalui meditasi adalah
langkah awal menentukan. Pengertian memelankan pikiran adalah belajar
menyaksikan setiap bentuk pikiran, bukan diseret arus pikiran. Caranya
sederhana, belajar menjadi saksi yang penuh pengertian terhadap setiap bentuk
pikiran. Awalnya sulit karena, selama berkehidupan, manusia biasa diseret arus
kuat pikiran. Ketekunan meditasi membuat manusia berenang ke pinggir sungai
pikiran, kemudian melompat ke luar menjadi saksi yang penuh pengertian.
Ciri manusia yang sudah menjadi saksi
sederhana, bisa melihat ada kebahagiaan dalam kesedihan, ada kesedihan dalam
kebahagiaan. Bukankah kesedihan yang membuat kebahagiaan jadi menawan? Bukankah
kesedihan hanya amplas yang menghaluskan? Seperti pesan puitik Kahlil Gibran:
"Tatkala manusia bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan
sedang menunggu di tempat tidur." Jadi, kesedihan bukan tamu, ia anggota
keluarga yang sama dekatnya dengan kebahagiaan. Pesannya kemudian, kesedihan
yang sering dibuang adalah awal ketidakseimbangan. Dalam bahasa Carl Jung,
semua yang dibuang akan menjadi tubuh bayangan--Sigmund Freud menyebutnya alam
bawah sadar--yang akan ikut ke mana pun kita pergi.
Lentera pencerahan mungkin menyala bila
manusia belajar memandang semuanya sebagai sebuah totalitas. Ia serupa berjumpa
gula dan garam. Tidak mungkin menyebut gula (baca: kebahagiaan) lebih baik dari
garam (kesedihan). Keduanya ada tempatnya. Gula sahabatnya teh, garam temannya
sayur. Hal serupa terjadi dengan kebahagiaan-kesedihan. Guncangan kosmik terjadi
karena manusia hanya mau kebahagiaan menendang kesedihan. Kembali ke cerita
menyentuh tubuh kosmik, lentera di dalam menyala saat manusia hidup utuh (complete, holistic, authentic) di saat
ini.
Dalam bahasa kesembuhan kejiwaan, tubuh
bayangan, alam bawah sadar yang berisi hal-hal yang ditendang, bila saatnya
matang, ia akan muncul menimbulkan ketegangan. Tapi, di tangan manusia utuh,
kesedihan diperlakukan sama dengan kebahagiaan. Akibatnya, bisa memancarkan
kasih sayang baik saat senang maupun sedih. Penghormatan dunia yang besar
kepada Muhammad Yunus, Mahatma Gandhi, Marthin Luther King Jr., Y.M. Dalai Lama
menunjukkan bahwa dunia merindukan lentera yang penuh kasih sayang. Lentera
seperti ini yang didoakan muncul nanti dalam pemilihan presiden RI tahun 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar